Chapter 27
"Karena aku tak punya apa-apa untukmu,
Aku memberikan hatiku.
Karena aku telah menerima begitu banyak darimu"
Give You My Heart - IU
Jaehyun menepikan mobilnya di bahu jalan. Pagi ini mendung kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan jarinya mulai mengetikkan sesuatu di layar.
Jaehyun : Aku sudah sampai di depan apartemen.
Wajahnya terlihat lebih cerah dan berseri daripada hari-hari sebelumnya. Kehadiran Nana di hidupnya cukup membawa perubahan, terlebih pada setiap emosi dan perasaannya—lebih berwarna, dan menyenangkan.
"Ayah, where's Nana?" tanya Nora yang saat ini duduk di belakang.
"Sebentar lagi dia datang," ucap Jaehyun lalu melihat ke spion mobilnya berjaga-jaga menanti Nana.
Tak lama kemudian seorang wanita dengan dress berwarna biru muda, berjalan mendekati mobil Jaehyun. Penampilannya berbeda dari biasanya, lebih santai tapi tetap anggun dan elegan walau tanpa perhiasan mahal.
Jaehyun menurunkan kaca mobil, dan memberikan senyum terbaiknya untuk wanita yang baru saja menampakkan diri di depan pintu mobil.
"Good morning, ayo masuk," ucap Jaehyun.
Nana membalas sapaan manis Jaehyun dengan senyum paling percaya diri yang ia punya, kemudian masuk ke mobil.
"Maaf aku terlalu lama," ucap Nana. Tangannya memasang sabuk pengaman, dan menoleh melihat Nora yang sedang duduk manis sembari memangku tasnya. "Hai, Nora! Selamat pagi, Cantik." Nana melambaikan tangannya ke arah Nora.
Hari ini adalah jadwal Nora untuk terapi, dan ini pertama kalinya Jaehyun mengajak seseorang untuk menemaninya ke tempat terapi.
Nana melihat jam tangannya, lalu bernapas lega. "Beruntung sekali aku tidak bangun kesiangan," ucap Nana, kemudian menyandarkan kepalanya dengan nyaman.
"Kita masih ada waktu setengah jam. Sudah sarapan?" tanya Jaehyun.
Sebetulnya pria itu bangun sangat awal karena bingung ingin memakai pakaian apa hari ini, hingga akhirnya lupa membuat sarapan. Jadi, sebelum berangkat Nora dan Jaehyun hanya mengisi perut dengan sereal dan susu.
Nana menggeleng. "Belum, aku tadi harus beres-beres kamarku dulu," dusta Nana. Faktanya kamar Nana saat ini penuh dengan tumpukan baju yang dikeluarkan dari lemari hanya karena pusing memilih, dan untuk merias wajah saja Nana butuh waktu sangat lama.
"Mau beli sarapan dulu?" tanya Jaehyun.
Dengan cepat Nana menggeleng. "Tidak. Nanti kita terlambat mengantarkan Nora," ucap Nana. Lagi pula perutnya cukup kuat jika harus menahan lapar sampai siang.
Jaehyun melirik Nana, kemudian mendecak. "Padahal masih ada waktu, kalau perutmu sakit itu konsekuensi karena tidak mau makan," tegas Jaehyun.
Mendapati dirinya ditegur oleh Jaehyun, justru membuat Nana senang. Omelan yang keluar dari bibir Jaehyun kini terasa berbeda, tidak lagi menyebalkan namun menggemaskan.
Beginikah rasanya menjalin hubungan dengan pria yang jauh lebih tua? Seperti sedang bersama ayahku, terasa nyaman dan aman, batin Nana.
Jaehyun mendapati Nana yang senyum-senyum sendiri. "Kenapa?" tanya Jaehyun.
"Tidak ada." Nana menggeleng. "Hanya saja, Wakil Direktur terlihat lebih menarik hari ini," ucap Nana.
**
Seperti biasa Nora masuk ke kelas terapi, dan di sana sudah ada beberapa anak yang tengah duduk melingkar dengan rapi di kursinya masing-masing. Gadis kecil itu langsung ikut bergabung ke dalam lingkaran, dan duduk dengan tenang.
Beberapa orang tua berada di ruang tunggu, namun ada juga yang menunggu di kantin seperti yang dilakukan Nana dan Jaehyun. Kedua pasangan yang baru resmi berpacaran itu memilih sarapan bersama, sembari menunggu Nora selesai terapi.
Menu sarapan pagi ini adalah teh hangat ditemani sandwich daging ukuran sedang.
"Apakah tidak apa-apa meninggalkan Nora di sana sendiri?" tanya Nana sembari meniup uap tehnya.
"Tenang saja. Justru Nora tidak akan bisa fokus jika kita ada di sana." Jaehyun meletakkan ponselnya ke atas meja, lalu mengambil sandwich-nya.
Mendengar penjelasan singkat Jaehyun membuat Nana mengangguk paham. Sebab Nana merasa was-was bila meninggalkan Nora sendirian, karena mengingatkannya pada kejadian di saat Nana menemukan gadis kecil itu tersesat sendirian di mall.
"Pertama kali aku melihat kondisi kelas tadi, beberapa tampak seperti anak normal," ucap Nana.
Jaehyun setuju dengan ungkapan Nana, karena dulu saat pertama kali Jaehyun mengantarkan Nora terapi, hal yang sama dirasakan oleh Jaehyun.
"Jika orang melihat Nora, mungkin terlihat seperti anak normal pada umumnya. Namun, ketika ia sudah mulai mengajak Nora bicara lalu ternyata tidak ada respons yang didapat, maka Nora akan dianggap anak yang tidak sopan, dan aku—orang tuanya—akan dinilai tidak mengajarinya sopan santun." Jaehyun memakan sandwich-nya dalam gigitan yang besar. "Mungkin kau juga sempat mengira begitu, benar, 'kan?" tanya Jaehyun.
Walau Nana sudah agak lupa bagaimana kesan pertamanya saat pertama kali bertemu Nora, tapi yang jelas Nana pernah menganggap Nora anak yang pendiam atau mungkin sombong.
Jaehyun menyunggingkan senyumnya. "Aku sering terkena teguran orang di tempat umum, atau supermarket. Mereka salah sangka kepadaku karena Nora yang berlari histeris di keramaian. Mereka menganggap aku mengabaikan putriku yang nakal," ucap Jaehyun.
Ada perasaan iba, juga sedih mendengar cerita Jaehyun mengenai Nora. Kini wanita itu jadi semakin sadar, bahwa sesuatu yang dilihat belum tentu benar dengan apa yang dipikirkan.
"Maaf, awalnya aku tidak tahu kalau Nora memiliki gangguan," ucap Nana.
Jaehyun meletakkan sandwich-nya dan menatap Nana.
"Nana-ya," panggil Jaehyun.
"Iya?" sahut Nana kaku. Mendengar bagaimana Jaehyun memanggilnya dengan nada yang biasa ia pakai di kantor, sedikit membuat Nana cemas.
"Sebelum kita terlalu jauh dan semakin terikat, aku ingin kau mengetahui sesuatu." Jaehyun memandang Nana sembari memikirkan bagaimana reaksi wanita di depannya setelah mengetahui apa yang terjadi di masa lalunya. "Ini tentang bagaimana Nora bisa terlahir dengan gangguan perkembangan," ucap Jaehyun.
Bagi Jaehyun, untuk mengungkapkan ini seperti membuka ingatan lama yang menyakitkan. Bingung harus dari mana ia menceritakannya, kepalanya seakan kacau karena harus menggali ingatan yang telah lama terpendam.
Jaehyun memegangi dadanya, merasakan debaran yang menyesakkan di sana. Padahal Jaehyun belum bercerita tapi rasa tak tenang dan bayang-bayang mengerikan di masa lalu seolah datang menyelimuti nya.
Melihat bahasa tubuh Jaehyun yang berbeda, tak tenang dan sorot mata yang tak biasa Nana dapat tahu kalau pria di sampingnya sedang tidak baik-baik saja.
"Jika belum siap, tidak apa-apa. Aku akan menuggu," ucap Nana sambil menyunggingkan senyumnya. Wanita itu mendadak jadi antusias, karena dari dulu sudah penasaran tentang masa lalu Jaehyun.
Jaehyun meraih tangan Nana, dan menggenggamnya. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa setelah semuanya terungkap, maka ia dan Nana akan tetap baik-baik saja.
"Saat itu aku masih kuliah, tapi kurang dari satu tahun sebelum lulus, aku mendapat kabar bahwa kekasihku hamil. Padahal perempuan itu sedang menjadi trainee, karena mimpinya ingin menjadi idol," ucap Jaehyun.
Jaehyun melepas genggaman tangan Nana, pria itu juga tak sanggup berlama-lama menatap mata Nana. Memikirkan bagaimana nanti jika selesai cerita justru Nana akan menjauhinya, dan merasa malu. Membayangkan semua itu membuat napas Jaehyun menjadi berat.
"Kau masih ingin lanjut mendengarkan?" tanya Jaehyun kepada Nana.
Nana mengangguk cepat. "Ayo ceritakan saja, aku sungguh tidak apa-apa," ucap Nana seraya mengusap-usap punggung tangan Jaehyun agar pria di depannya sedikit tenang.
Jaehyun menarik napasnya dalam-dalam, lalu tersenyum—mencoba mengalihkan rasa gugupnya. "Saat itu ayahku menjabat sebagai dosen di kampusku, dan sangat dihormati di sana. Ia sangat marah begitu anaknya menghamili seorang perempuan." Jaehyun terkekeh, dan menggeleng tak habis pikir jika mengingat masa lalunya. "Aku bilang bahwa aku ingin bertanggung jawab, tapi ayahku menentang. Ia merasa malu, dan meminta Nora digugurkan saja. Sampai akhirnya ... tebak apa yang terjadi," ucap Jaehyun.
Nana mencoba menebak, namun hanya mendengarkan cerita Jaehyun saja sudah membuat hatinya nyeri. Nana menggeleng, ia tak sanggup membayangkannya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu," ucap Nana. Ia menggeleng sekali lagi, masih tak habis pikir dengan apa yang diceritakan Jaehyun. "Tapi yang terjadi padamu pasti berat sekali." Nana menarik napasnya dalam, rasanya ikut sesak mengetahui kisah Jaehyun.
Jaehyun menelan ludahnya, dan bersiap untuk bercerita lagi.
"Aku diusir dari rumah," ucap Jaehyun lalu menggaruk tengkuknya, malu. "Sampai detik ini, aku masih dalam masa pengusiran."
Jika diingat rasanya sedih sekali, bahkan sekarang rasanya air mata Jaehyun seperti akan tumpah.
Nana mengelus tangan Jaehyun dengan lembut. "It's okay," ucap Nana. Wanita itu menggeser kursinya menjadi lebih dekat di samping Jaehyun. "Kalau kau belum siap menceritakannya padaku, tidak apa-apa, jangan terburu-buru." Nana menatap Jaehyun, dan mencoba meyakinkannya.
Tapi Jaehyun tetaplah Jaehyun, jika melakukan sesuatu harus tuntas. Maka ia ingin menuntaskan ceritanya ini kepada Nana, agar ia merasa lega.
"Aku pikir setelah diusir dari rumah aku bisa menikahi kekasihku, tapi ternyata ia bersikeras menggugurkan Nora. Sampai akhirnya, aku dan dia sepakat untuk tidak menggugurkan kandungannya. Namun dengan catatan, perempuan itu tidak mau merawat, dan tidak mau menerima Nora setelah melahirkan." Jaehyun memberi jeda ceritanya, dan meminum tehnya. "Selama Nora di dalam kandungan, ternyata perempuan itu mengkonsumsi obat diet, dan makan sembarangan. Hingga akhirnya Nora terlahir prematur, dan berakhir memiliki gangguan perkembangan," jelas Jaehyun.
Bukan Jaehyun yang menangis, namun justru Nana yang kini matanya tergenang air. Nana membayangkan jika ia di posisi Jaehyun, mungkin wanita itu belum tentu sekuat Jaehyun.
Jaehyun yang melihat mata Nana berkaca-kaca langsung tertawa. "Kenapa jadi kau yang menangis?" tanya Jaehyun, lalu mengacak-acak rambut Nana gemas.
Tidak menjawab pertanyaan Jaehyun, hasrat ingin menangis Nana justru semakin besar hingga akhirnya air mata yang sejak tadi ditahan-tahan itu pun luruh ke pipi.
"Aku tidak suka melihatmu kesulitan," ucap Nana yang kemudian memeluk Jaehyun, dan menangis. "Aku ingin kau dipenuhi orang-orang baik, dan sayang padamu, begitu juga dengan Nora."
Jaehyun membalas pelukan Nana, dan menenangkan wanitanya di pelukannya. "Bagaimana apa kau bisa menerima masa laluku?" tanya Jaehyun.
"Tanpa perlu bertanya! Apa ini belum kurang jelas bagimu?" tanya Nana sembari mengangkat kepalanya, dan menatap Jaehyun.
Sebetulnya Jaehyun sudah tahu, hanya sedikit ingin membuatnya lebih jelas, dan mencoba jujur. Ia tahu pasti bahwa wanita di hadapannya ini sangat menyukainya dan Nora.
Jaehyun menangkup pipi Nana dan menghapus air mata wanita itu. "Kenapa masih mau menerimaku?" tanya Jaehyun, dengan menatap Nana lembut.
"Kau mau dengar jawaban jujur?" tanya Nana yang kemudian dijawab anggukan oleh Jaehyun. "Kau tampan, kau punya uang, punya anak yang lucu, dan kau sebenarnya penyayang."
Mendengar kata tampan dan uang, membuat Jaehyun tertawa. "Iya benar, aku tampan dan aku mempunyai uang. Bagaimana jika keduanya itu tidak aku milki?"
"Sudah pasti aku tidak menyukaimu, karena aku mencoba realistis." Nana tersenyum lebar.
Jaehyun menggeleng, dan mencubit kedua pipi Nana. "Tapi bagaimana jika uangku habis?" tanya Jaehyun.
"Maka, biar aku saja yang mencari uang," jawab Nana.
"Tidak. Aku tidak akan membuat orang yang aku sayangi merasa kesusahan." Jaehyun mengusap pipi Nana. "Maksudku aku tidak akan membuat Nora merasa kesusahan," sambung Jaehyun, lalu tersenyum jenaka yang tak lama kemudian dibalas dengan sebuah pukulan kecil di dadanya.
Kening Nana mengerut. "Kau tidak menyayangiku juga?" tanya Nana.
"Menurutmu aku semudah itu untuk memeluk, dan mencium wanita?" Jaehyun berbalik tanya.
Kemudian senyum di bibir Nana merekah, lalu menggelengkan kepalanya. "Terima kasih, Wakil Direktur," ucap Nana.
Honestly, I'm afraid to fall in love. But, I'm more afraid that I will losing him, batin Nana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro