Chapter 21
"It's my fate, but I want to struggle."
BTS - Awake (JIN)
Belajar sembari ditemani segelas coklat panas, dan semangkuk berondong jagung asin, yang belakangan ini menjadi snack favorit Nora semenjak pertemuannya dengan Nana di mall. Gadis kecil itu kini sedang belajar di kamarnya dengan penerangan yang cukup, dan tidak lupa suasana belajar yang dibuat senyaman mungkin agar Nora bisa konsentrasi.
Jaehyun yang baru selesai membersihkan kamar Nora itu langsung menghampiri putrinya, yang sejak tadi hanya duduk diam di depan meja sembari menatap kertas kosong.
Sebuah kacamata baca diambil Jaehyun dari meja, lalu kemudian pria itu memakainya dengan nyaman. "Mari kita lihat kali ini Nora harus belajar apa," ucap Jaehyun.
Pria itu lalu mengambil sebuah buku yang merupakan buku untuk mencatat tugas sekolah. "Buatlah sebuah surat untuk ibu di rumah." Jaehyun membaca tulisan Nora di buku tugasnya.
Sejenak pria itu terdiam. Pantas saja Nora tak segera mengerjakan tugasnya, ternyata tugas yang diberikan adalah hal yang selama ini membuat Nora bingung.
"Jadi, Nora tidak bisa membuat tugas," ucap Nora. Gadis kecil itu memainkan pensil di tangannya. "Karena tidak ada ibu di rumah." Nora meletakkan kepalanya di meja dengan beralaskan buku.
Jaehyun meletakkan buku Nora di meja. Pria itu duduk di samping Nora dan merangkul pundak putrinya. "Tidak ada ibu di rumah, Nora tetap bisa mengerjakan tugas," ucap Jaehyun. Ia mencoba tersenyum manis di depan Nora, menyembunyikan rasa pilu hatinya.
"Tapi, Ayah, aku tidak tahu ibu," ucap Nora. Gadis itu masih setia bermalasan di meja belajarnya. "Teman laki-laki di kelas membuat surat untuk ayah, dan perempuan untuk ibu."
Mendengar itu Jaehyun berpikir sejenak, barang kali ada sebuah ide yang hinggap di kepalanya.
"Jika Nora membuat surat untuk Ayah saja, bagaimana?" Jaehyun menatap Nora, tersirat harap bahwa putrinya mengiakan idenya.
Nora melihat tangan Jaehyun yang tergeletak di meja, dan melihat sebuah luka di telunjuk Jaehyun. "Jarimu terluka, Ayah." Nora mengangkat kepalanya, dan mulai mencoba memperhatikan luka Jaehyun.
Sebetulnya saat menyiapkan makan malam tadi, Jaehyun sedang memotong sayur, namun karena kurang hati-hati ujung jari pria itu jadi sedikit teriris pisau.
"Sakit sekali ya?" tanya Nora.
Gadis cilik itu mengambil tangan Jaehyun lalu mendekatkan bibirnya, dan kemudian meniup luka di telunjuk Jaehyun.
"Masih sakit, Ayah?" tanya Nora.
Jaehyun terkekeh, kemudian mengangguk. "Mungkin kalau dicium sudah tidak sakit lagi," ucap Jaehyun.
Sementara itu Nora langsung menuruti ucapan ayahnya, mencium telunjuk Jaehyun. "Tidak apa-apa, sebentar lagi sembuh."
Mendapatkan perhatian dari Nora membuat Jaehyun mendadak haru, namun juga gemas. Di kepalanya ia bertanya-tanya dari mana Nora belajar semua itu.
"Siapa yang mengajarkanmu bicara seperti itu, Nora?" tanya Jaehyun. Tangan pria itu mengusap lembut puncak kepala Nora, mencurahkan segala rasa sayang ke putrinya tanpa tanggung.
"Dari Ayah," jawab Nora.
Jaehyun mengernyitkan kening—mencoba mengingat-ingat. "Ayah lupa." Jaehyun tersenyum lebar yang kemudian diikuti dengan tawa. "Baiklah nanti ayah akan mencoba mengingatnya sendiri. Sekarang kita harus segera menyelesaikan tugas ini, oke?"
Nora mengambil peralatan tulisnya. "Ayah boleh pakai pensil warna?" tanya Nora yang kini sudah memegang kotak pensil warna.
Jaehyun mengguk. "Sure," jawab Jaehyun lembut.
Kemudian gadis kecil itu mulai mengeluarkan pensil warna dari tempatnya, dan mengambil pensil berwarna merah muda. "Pakai warna merah muda boleh?" tanya Nora, yang kemudian dihadiahi anggukan dari Jaehyun.
Nora sudah siap dengan selembar kertas, dan pensil di tangannya. Tapi gadis kecil itu masih saja tetap merasa kesulitan. Nora kesulitan bagaimana mengekspresikan perasaannya dalam sebuah tulisan.
"Kau butuh bantuan?" tanya Jaehyun yang sadar bahwa putrinya kesulitan.
"Mengapa menulis surat itu sulit? Nora tidak suka." Nora melemparkan pensilnya ke meja, dan raut wajahnya berubah menjadi murung.
Jaehyun buru-buru mengambil pensil yang dilemparkan Nora tadi, agar tidak menggelinding dan jatuh. Pria itu mengambil minuman coklat Nora yang sudah tidak panas lagi.
"Minumlah dulu, Tuan Putri," ucap Jaehyun sembari menyodorkan gelas ke hadapan Nora. "Nora bisa, dan ada ayah yang membantu."
Jaehyun masih terus mencoba membujuk Nora dengan minuman coklat, dan berondong jagung. Membujuk Nora bisa dikatakan sebagai hal yang sulit, namun terkadang mudah juga—tergantung bagaimana situasi dan kondisinya.
Jaehyun memberikan kembali pensil Nora, dan kini pria itu mulai mencoba menuntun Nora untuk menulis.
"Ayo tuliskan hal-hal yang Nora suka dari ayah," ucap Jaehyun.
Tak ada jawaban dari Nora, Jaehyun belum mau berhenti. "Ayah sayang Nora, ayah suka membelikan Nora pizza, ayo apalagi, Sayang?" tanya Jaehyun, lalu membiarkan Nora untuk berpikir lagi.
"Ayah tampan, Ayah baik, makanan buatan Ayah enak, Ayah pintar," ucap Nora dengan ragu-ragu. Gadis kecil itu berpikir sangat keras demi mengutarakan apa yang dirasakannya.
Jaehyun mengangguk senang. "Betul sekali, pintar Nora. Ayo apa lagi, Sayang?" tanya Jaehyun.
Selagi Nora sedang menuangkan pikirannya dalam sebuah tulisan, Jaehyun yang tadi sibuk memperhatikan tiba-tiba pikirannya terbawa ke masa lalu. Masih teringat betul bagaimana kejadiaan saat itu—ketika ayahnya mengusir Jaehyun dari rumah untuk kedua kalinya.
Kala itu tepat di musim gugur, tiga tahun lalu. Jaehyun kembali ke rumah ayahnya setelah kejadian pengusiran yang membuatnya hidup dengan bayang-bayang penyesalan dan penuh kecemasan. Atas permintaan kakak perempuannya, Krystal. Jaehyun akhirnya mau untuk pulang ke rumah, setelah berkali-kali dibujuk.
Krystal memberi kabar bahwa ayahnya jatuh sakit di rumah, dan Jaehyun harus pulang. Dengan sekuat tenaga Jaehyun menggali keberaniannya yang selama ini ia pendam agar bisa muncul di hadapan ayahnya.
Jaehyun belum memiliki jabatan tinggi di kantornya. Pria itu masih berstatus sebagai manajer dengan gaji yang serba kurang karena harus membiayai terapi, dan konseling yang tak murah untuk Nora. Bahkan Jaehyun pada saat itu belum memiliki mobil, dan masih menggunakan transportasi umum untuk bepergian.
Menempuh perjalanan menggunakan bus selama hampir satu jam untuk pulang ke rumah, ternyata tak membuat Jaehyun dapat sambutan yang baik oleh Yunho. Pria yang dikabarkan sedang sakit di rumah itu, rupanya masih memiliki tenaga untuk memarahi dan mengusir Jaehyun.
"Aku tidak punya anak laki-laki di rumah ini!" bentak Yunho.
Semula Yunho yang hanya bisa tidur di kamar itu, kini bisa berdiri tegap di hadapan Jaehyun. Rupanya kobaran api kemarahan Yunho belum padam juga setelah tiga tahun lamanya.
Hanya dengan melihat wajah Jaehyun saja, Yunho bisa marah semarah-marahnya. Apalagi ditambah melihat ada gadis kecil yang sedang bersembunyi di balik kaki Jaehyun—rasanya semakin mengobarkan amarahnya menjadi semakin besar.
"Pergi dari sini! Anakku sudah lama mati, dan aku tidak mengenalmu. Jadi, jika tidak ada kepentingan di sini, silakan pergi dari rumah ini," ucap Yunho dengan penuh penekanan.
Mendapat perlakuan semacam itu membuat hati Jaehyun hancur, ia paham bahwa kesalahannya memang tak mudah untuk dimaafkan. Bahkan dirinya sendri belum sepenuhnya menerima keadaan diri sendiri. Melihat Yunho yang meneriaki, dan mengusirnya semacam ini—hanya menambah rasa bersalahnya semakin besar.
"Ayah jangan bicara seperti itu!" Krystal menatap Yunho dan Jaehyun bergantian. "Jaehyun memang salah, tapi lihatlah ini sudah empat tahun lamanya. Ayah tidak lihat Jaehyun yang sekarang ini? Ayah bahkan tidak datang ke upacara kelulusannya. Jaehyun jadi salah satu lulusan terbaik di kampus. Jaehyun juga sekarang bekerja di tempat yang bagus. Lihatlah! Anak laki-lakimu ini bisa mandiri!" ucap Krystal, emosional.
Wanita itu sudah lelah hidup di tengah perang dingin antara Jaehyun dan Yunho. Ia hanya ingin sebuah keluarga yang tetap utuh, walau di tengah masalah. Ia hanya ingin ayahnya menurunkan ego, dan Jaehyun bisa pulang ke rumah. Tapi yang didapatinya selama ini, nihil. Jaehyun berjuang hidup sendiri, dan Yunho berjuang mempertahankan gengsinya.
Jaehyun menggandeng tangan Nora. Ia tak berani menatap langsung mata Yunho. Ia terus diliputi perasaan bersalah ketika melihat Yunho, dan itu menyakitkan.
"Tidak apa-apa, Kak. Aku memang sudah tidak ada kepentingan di sini," ucap Jaehyun.
Krystal menahan tangan Jaehyun. "Tidak, jangan pulang dulu! Ayo kita makan siang bersama di rumah, ya? Nora pasti lapar, Jaehyun-a." Krystal menatap Jaehyun dengan penuh harap, kalau adiknya mau menurutinya. Namun, harapannya pupus saat Jaehyun tidak merespons dan langsung berbalik punggung.
"Ayah sudah!" seru Nora. Gadis cilik itu berteriak sembari mengangkat kertasnya.
Mendadak Jaehyun terbangun dari lamunan, dan tak sadar bahwa kini matanya sudah tergenang. Buru-buru pria itu menghapus air matanya, dan tersenyum menatap Nora.
"Coba ayah lihat," ucap Jaehyun, lalu mengambil kertas yang dibawa Nora.
"Ayah baik,
Ayah tampan,
Ayah suka membelikan Nora makanan enak,
Ayah juga suka bekerja,
Ayah sayang Nora.
Nora juga sayang ayah. Terima kasih ayah."
Jaehyun tersenyum haru melihat tulisan Nora. Kali ini air matanya benar-benar tidak tertahan lagi, apalagi setelah membaca kalimat terakhir yang benar-benar sangat menyentuh hatinya. Andai saja dulu, Jaehyun juga melakukan hal yang sama ke pada Yunho, mungkin hubungan mereka bisa dekat—tak sebatas hubungan biologis saja.
"Terima kasih juga, Sayang. Ayah senang punya Nora di sini," ucap Jaehyun, lalu memeluk putrinya dengan erat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro