Chapter 19
"Bisakah aku menahan perasaan ini?
Aku menyembunyikan perasaanku untukmu."
Because I Only See You - Kim Na Young
***
Satu kata yang Jaehyun pikirkan saat ini, mengantuk. Iya, pria itu kurang istirahat dan kantung matanya terlihat jelas di wajah. Jaehyun menguap, dan ini sudah ke lima kalinya.
Kain gorden yang menggantung itu ditarik oleh Jaehyun, dan memperlihatkan pemandangan Seoul pagi ini. Matanya mengerjap beberapa kali, dan sedikit menyipit akibat terpapar sinar matahari yang menyilaukan.
Pria itu dapat melihat pantulan dirinya di kaca, dan memperhatikan wajah serta penampilannya sendiri. Kacau, sebuah kata yang melintas di benak Jaehyun usai melihat dirinya sendiri. Tangannya bergerak membetulkan posisi dasi, dan kerah kemejanya.
Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu, dan membuat Jaehyun menoleh. "Silakan masuk," ucap Jaehyun.
Pria itu menghela napasnya, sebelum akhirnya kembali ke meja kerja. Setelah pintu terbuka, dengan diiringi suara stiletto heels dan aroma americano yang khas, membuat Jaehyun memfokuskan pandangan ke wanita yang baru saja masuk ke ruangannya. Siapa lagi kalau bukan Nana. Pandangan Jaehyun langsung tertuju pada sebuah cup kopi, yang kini sedang dipegang oleh Nana.
Kopi lagi ..., batin Jaehyun.
"Nana-si, bukannya aku sudah mengatakan padamu, bahwa aku sudah disediakan kopi oleh sekretarisku." Jaehyun enggan berbasa-basi, dan langsung mengutarakan isi kepalanya tanpa menunggu penjelasan tujuan Nana ke ruangannya.
Tidak tersingung, atau kecewa seperti tempo hari. Justru sebaliknya, Nana tersenyum dengan santai membawa minuman kopi itu, dan meletakkannya di meja Jaehyun. "Wakil Direktur, sepertinya kau tidak punya kopi pagi ini, jadi karena itu aku membelikanmu kopi."
Jaehyun mengernyit, mencerna ucapan Nana. Hingga tak lama kemudian, pintu ruangan Jaehyun terbuka dan Yeji masuk sembari membawa secangkir kopi panas.
"Kau lihat sendiri, bukan? Aku sudah memiliki kopi untukku sendiri." Jaehyun menatap Nana, dan Yeji yang saat ini berjalan ke arahnya.
Nana menoleh ke belakang dan melihat cangkir di tangan Yeji.
"Mengkonsumsi kopi instan terus, sangat tidak baik untuk kesehatan, Wakil Direktur." Nana beralasan.
Jaehyun mendecih. "Teori dari mana itu?" tanya Jaehyun, dengan nada bicara remeh. Ia melihat Yeji yang meletakkan kopi di mejanya, lalu tersenyum. "Terima kasih, sekretaris Hwang."
Menyaksikan itu membuat Nana kesal. Tapi kemudian ia menemukan ide gila. Nana tidak mau kopi yang ia belikan sia-sia, jadi ia pun mencari cara bagaimana kopinya tetap diterima.
"Sekretaris Hwang, terima kasih kopinya!" Nana tersenyum manis ke arah Yeji, dan melihat kopi yang sekarang ada di meja Jaehyun. Terpampang jelas kopi itu masih mengeluarkan uap.
Jaehyun duduk di meja kerjanya, memperhatikan gerak-gerik Nana, dan melirik Yeji sesekali memberi isyarat agar sekretarisnya itu segera meninggalkan ruangannya.
"Kalau begitu aku permisi dulu," ucap Yeji yang kemudian berjalan meninggalkan Nana dan Jaehyun.
Kini di ruangan hanya tinggal Nana dan Jaehyun. Nana masih terus menatap kopi di cangkir yang baru saja diantar oleh Yeji. Sedangkan Jaehyun sibuk menatap Nana, seolah menunggu akan ada hal apa lagi yang dilakukan wanita di hadapannya itu.
Tangan Nana terulur, dan mengambil cangkir kopi di meja. "Kopi ini milikku sekarang," ucap Nana.
Mendengar itu membuat Jaehyun bingung. Satu alisnya terangkat, dan tangannya dilipat di depan dada. "Apa maksudmu?" tanya Jaehyun.
Bukannya menjawab pertanyaan Jaehyun, hal yang dilakukan Nana adalah justru meminum kopi tersebut. Nana seperti orang yang sedang kehausan, padahal kopi itu masih panas. Tapi, wanita itu meneguk kopi itu tanpa ragu-ragu, sampai membuat Jaehyun tersentak dan bangkit dari duduknya.
Jaehyun memegang pergelangan tangan Nana. "Kau sudah gila?!" sentak pria itu.
Dalam waktu singkat, kopi panas di cangkir habis diteguk Nana. Alhasil lidahnya kini kaku, dan mati rasa. Nana mencoba menahan ekspresi wajahnya, enggan menunjukkan bahwa kini lidahnya sedang tidak baik-baik saja.
Tatapan Jaehyun kini seolah menusuk wajah Nana. Pria itu marah karena Nana melakukan hal yang konyol, dan bodoh. "Kewarasanmu sudah hilang ya?!"
Nana mengerjapkan matanya beberapa kali, ini baru pertama kalinya ia melihat Jaehyun membentak. Raut wajah pria di depannya itu sangat menyeramkan jika marah, kening yang mengerut, kedua alis yang menukik tajam, dan kini tangan Jaehyun sedang mencengkram kuat lengan Nana.
"Kenapa kau melakukan hal bodoh semacam itu? Jawab atau—"
"Atau apa? Kau mau memakiku lagi, atau mau mematahkan lenganku?" Nana memotong ucapan Jaehyun. Nana menegakkan pundaknya, dan mengangkat kepalanya sedikit lebih tinggi.
Jaehyun menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia menatap kedua bola mata Nana, dan perlahan melepaskan genggaman tangannya di lengan wanita itu.
"Jean Nakamoto," panggil Jaehyun.
Perlahan kaki Jaehyun maju selangkah demi selangkah, dan refleks membuat Nana berjalan mundur. Karena hal itu, akhirnya Nana menjadi terpojok ke dinding. Jarak antara dirinya dan Jaehyun pun hanya sejengkal saja. Debaran yang saat ini ia rasakan sangat tak terkendali, kakinya lemas, tubuhnya menegang. Peristiwa semacam ini, Nana sudah sering melihatnya di film dan drama, dan sekarang ia bisa merasakannya sendiri.
Kedua tangan Jaehyun dimasukkan ke dalam saku celana. "Apa kau tahu, kau ini merepotkan," ucap Jaehyun tepat di depan wajah Nana.
"Apa maksud Wakil Direktur?" tanya Nana dengan nada bicara yang rendah. Ditatap Jaehyun dari jarak sedekat ini, sungguh membuat Nana frustrasi. Di sisi lain ada rasa ingin melarikan diri, tapi ada juga rasa penasaran akan hal yang terjadi selanjutnya.
Jaehyun menatap kedua bola mata Nana. Seperti pernah melihat bola mata itu, tapi entah di mana. "Aku penasaran, Nana-si," ucap Jaehyun tanpa mengalihkan pandangannya.
Nana bisa merasakan kini punggungnya benar-benar sudah menempel pada dinding, dan kini rasanya sudah terlambat untuk melarikan diri. "Penasaran akan hal apa?" tanya Nana.
Telapak tangan Jaehyun menempel di dinding. Pria itu kini bisa sangat jelas melihat wajah Nana yang sedang salah tingkah. "Kenapa kau meminjamkanku payung saat hujan sedang deras-derasnya, selalu mempersilakanku masuk ke lift lebih dulu, menawarkanku kopi, mengajakku makan siang, memberikanku kue sebagai ucapan ulang tahun, dan sekarang dengan bodohnya meminum kopi panas agar aku mau menerima kopi pemberianmu. Kenapa, Nana-si?" tanya Jaehyun.
Sementara itu Nana tak langsung menjawab, padahal sudah jelas sekali ada jawaban di dalam hatinya. Ingin sekali mengutarakannya, menjawab pertanyaan Jaehyun dengan jujur tanpa ragu. Tapi, lagi-lagi logika di kepalanya bertentangan dengan kemauan hati—itu cukup membuat kacau perasaan Nana saat ini.
"Kau menyukaiku Nana-si?"
Sebuah kalimat dilontarkan Jaehyun, membuat jantung wanita di depannya itu nyaris berhenti.
Jaehyun meninggikan satu alisnya, dan semakin mendekatkan wajahnya ke sisi samping kepala Nana. "Benar, bukan? Kau melakukan semuanya itu karena kau menyukaiku," ucap Jaehyun.
Beberapa detik Nana menahan napasnya, merasakan jantungnya yang berdetak semakin cepat.
"Diam artinya iya." Jaehyun menjauhkan wajahnya, dan melangkah mundur. Ia melihat Nana yang kini tak mengeluarkan ekspresi apa pun, selain ekspresi yang datar. "Kau menyukai orang yang salah Nana-si. Tidak seharusnya kau menyukaiku, dan semua apa yang kau lakukan untukku—sebenarnya, aku tidak butuh semua itu," ucap Jaehyun.
Tangan Nana mengepal kuat, ia menahan keras agar tidak ada setetes air mata yang menetes di pipinya.
"Jadi aku mohon, cukup sampai di sini usahamu untuk mendekatiku. Karena semakin keras kau mencoba, justru akan semakin menyakitkan untukmu sendiri." Jaehyun meraih kopi pemberian Nana, kemudian meminumnya. "Kopi ini enak. Lain kali aku akan beli sendiri, terima kasih atas referensi kedai kopinya."
"Wakil direktur Jung, apa aku salah jika menyukai seseorang?" tanya Nana.
Jaehyun menggeleng sembari meminum kopinya. "Kau hanya menyukai orang yang salah, bukan berarti menyukai seseorang itu adalah hal yang salah."
Nana menarik napasnya lalu memutar bola matanya ke atas, berharap agar genangan air di matanya tidak semakin meluap. "Salah atau tidak, dan tentang siapa yang aku suka, kau tidak berhak menilainya, Wakil Direktur," jelas Nana.
Mendengar pernyataan Nana, Jaehyun tersenyum miring lalu menggeleng kepala—heran dengan ucapan Nana.
"Aku hanya memberikan saran yang terbaik untuk kita." Jaehyun meletakkan kopinya di meja, dan melipat tangannya di depan dada. "Itu juga karena aku peduli," sambung Jaehyun.
Sakit di lidahnya tidak ada apa-apanya dibanding sakit di hatinya. Lagi-lagi wanita itu terluka.
"Terima kasih atas sarannya, Wakil Direktur. Pasti akan aku pertimbangkan, tapi aku juga berhak untuk menurutinya atau tidak—karena saran itu terdengar bukan sebab kau peduli denganku, melainkan pada dirimu sendiri."
Jaehyun terdiam sejenak, menatap raut kecewa Nana. "Nana-si, dengarkan aku. Aku tak pernah melarang orang untuk menyukaiku, dan—"
"Ucapan dan tindakanmu itu jelas berbeda. Kau jelas mendorongku menjauh dengan menolakku, aku sudah tahu itu. Tolong jangan berbicara bijak tentang perasaanku, karena itu menyakitkan." Nana buru-buru menghapus genangan air yang ada di pelupuk matanya.
Jaehyun mengangguk pelan. "Oke, aku akan diam saja."
"Terima kasih, Wakil Direktur," ucap Nana. Wanita itu membungkukan tubuhnya sebelum bersiap meninggalkan ruangan Jaehyun.
"Kenapa kau berterima kasih?" tanya Jaehyun.
Nana menoleh kebelakang, dan melirik ke arah Jaehyun. "Terima kasih sudah mau menerima, dan meminum kopi pemberianku," jawab Nana. Kemudian tangannya meraih gagang pintu, dan keluar dari ruangan Jaehyun.
Dengan langkah terburu-buru Nana menuju ke ruangan kerjanya. Rambutnya yang sejak tadi diikat itu kemudian digerai, berharap bisa menutupi sebagian wajahnya. Kini tangisnya tak terbendung lagi, dan tetesan air mata perlahan menghujani pipinya.
"Nana-si, kau dari mana saja?" tanya Jisoo yang melihat Nana baru saja duduk di kursinya.
Bukannya menjawab, yang dilakukan Nana justru meletakkan kepalanya di atas meja dan menutup kepalanya dengan map. Wanita itu menangis di meja kerjanya, menumpahkan kekesalan, dan kesedihannya di sana.
Jisoo melihat Nana yang datang-datang sudah menangis itu pun panik. Ia celingukan mengamati keadaan, melihat apakah ada orang di ruangan selain dirinya dan Nana.
"Nana-si, ada apa? Kenapa kau menangis?"
Nana menggeleng, ia masih tidak ingin mengangkat kepalanya dan menatap Jisoo untuk bicara.
"Kau habis dari mana? Siapa yang membuatmu menangis?" tanya Jisoo, belum mau menyerah.
"Kopi!" Nana menjerit, kemudian mengangkat kepalanya, dan berani menatap Jisoo.
Jisoo mengernyitkan kening, ia menatap Nana bingung. "Kenapa dengan kopi?" tanya Jisoo. "Kenapa kopi bisa membuatmu menangis seperti ini Nana-si?" Jisoo yang sedikit bingung dan panik itu pun mengambil kotak tisu miliknya, dan menyerahkannya pada Nana.
"Aku meminum kopi panas, dan itu sangat menyakitkan. Perih sekali!" Nana menangis sesenggukan, sembari menghapus jejak air matanya di pipi dengan tisu. "Aku tidak akan menyukai kopi lagi," ucap Nana.
Jisoo berusaha menenangkan Nana dengan cara menepuk serta mengusap punggung Nana dengan penuh perhatian. "Sudah, setelah ini jika jam istirahat kita beli sesuatu yang manis untuk menetralisir lidahmu," ucap Jisoo yang kemudian dijawab anggukan oleh Nana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro