Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15

"Unexpectedly, I can't control my heart's rhythm."

Let Me Love U - WayV

---

Nana mengambil cangkir berisi teh, kemudian meminumnya ketika dirasa tidak panas lagi. Beberapa hari ini syaraf di kepalanya seakan kencang, dikarenakan pekerjaannya yang menggunung.

Wanita itu menyandarkan punggungnya yang lelah pada dinding, dan menikmati tehnya lagi. Hingga beberapa saat kemudian, Yeji masuk ke pantry dan membuat Nana menegakkan tubuhnya lagi.

"Selamat pagi, Nana-si." Yeji menyapa Nana, sembari tangannya membuka mesin pendingin kemudian menutupnya kembali setelah mengambil sebotol air dingin.

Nana tersenyum. "Sudah hampir siang, Yeji-si." Nana meminum tehnya lagi hingga tandas. "Ah—aku dengar, wakil direktur tidak datang. Benarkah?" tanya Nana.

Tangannya meletakan cangkir kosong di wastafel, lalu membasuh tangannya seraya menunggu jawaban dari Yeji.

"Hm, benar ... anaknya sakit, dan dia tidak tega jika meninggalkannya di rumah dan dititipkan ke pengasuh." Yeji meneguk air di botol, dan melepas dahaganya. "Tapi, izin di hari ini sepertinya adalah pilihan yang kurang tepat."

Nana semakin penasaran, wanita itu pun mengurungkan niatnya untuk kembali ke ruangannya, dan memilih mendengarkan Yeji. "Mengapa kau bilang itu kurang tepat?" tanya Nana.

Yeji meletakkan minumannya di meja, dan angannya dilipat di depan dada. Raut wajahnya kini berubah jadi murung. "Ah bagaimana ini? Ada banyak pekerjaan wakil direktur di sini, bahkan ada setumpuk laporan yang butuh dikoreksi dan ditanda tangani. Belum lagi, ada laporan keuangan yang sekarang ini diperlukan tapi berada di rumahnya." Yeji memijat keningnya. "Masalah besarnya bukan itu, tapi ... aku harus mengantarkan semua pekerjaan wakil direktur ke rumahnya."

Bukannya seorang sekretaris sudah biasa melakukan hal semacam itu? Lalu, kenapa menurut Yeji berat? Pertanyaan itu muncul di kepala Nana, begitu mendengar penjelasan Yeji. "Memangnya apa masalahnya jika kau harus mengantarkannya ke rumah wakil direktur?"

Yeji menggigit kuku ibu jarinya, dan menatap Nana murung. "Aku tidak bisa menyetir mobil. Tapi, aku harus mengantarkannya.

Nana terkekeh mendengar pengakuan Yeji. "Jadi karena itu masalahnya? Astaga, kau bisa naik taksi atau bus kalau mau." Nana geleng-geleng.

"Bukan begitu. Mobil wakil direktur ada di sini. Ia sengaja meninggalkannya di kantor, karena kemarin ia mengantuk sekali. Wakil direktur paling tidak bisa menyetir mobil, ketika ia sudah merasa dirinya mengantuk. Jadi kemarin, ia memilih naik taksi." Yeji mengehela napasnya gusar. "Aku harus membawa mobilnya pulang, bersama pekerjaannya di sini. Bagaimana ini Nana-si?"

Seoul adalah kota yang sudah maju, ada banyak sekali jenis pekerjaan—salah satunya jasa sewa sopir pengganti. Kenapa tak memanggil sopir pengganti, dan justru meninggalkannya di kantor? Nana benar-benar bingung, ada orang yang sekompleks itu.

"Ada-ada saja ...." Nana menaikkan sebelah alisnya, dan menatap Yeji serius. "Pekerjaanku sudah selesai, semoga saja tidak akan bertambah hari ini. Aku bisa membantumu," ucap Nana dengan yakin.

Sebenarnya ada hal lain selain membantu Yeji—menjenguk Nora dan ingin tahu di mana rumah Jaehyun. Kesempatan tidak datang dua kali, rasa penasaran Nana terhadap Jaehyun semakin hari bertambah besar.

Nana tersenyum ke arah Yeji, hingga si sekretaris itu berubah jadi canggung. "Aku takut merepotkanmu—"

Belum selesai Yeji bicara, Nana langsung memegang tangan Yeji hingga wanita itu terperanjat. "Tidak! Sama sekali tidak merepotkan." Nana melebarkan senyumnya, hingga gigi rapihnya terlihat.

"Tapi Nana-si."

Nana menggeleng cepat. "Tidak ada tapi-tapi. Daripada pekerjaan wakil direktur berantakan, dan kau kena marah. Aku bersedia membantumu, aku ahli dalam menyetir mobil. Tenang saja." Nana melepaskan genggaman tangannya pada Yeji, lalu menyelipkan rambutnya ke balik telinga.

Ah sudahlah, terima saja. Lagi pula kapan lagi aku bisa memanfaatkan kesempatan ini?! Nana mengigit bibir bawahnya, dan sesekali tersenyum kepada Yeji.

Karena terhimpit keadaan, Yeji akhirnya menyetujui tawaran Nana. Lagi pula ada benarnya perkataan Nana. Yeji tidak ingin kena marah karena membuat pekerjaan Jaehyun kacau. "Terima kasih, Nana-si. Kau baik sekali," ucap Yeji, sangat bersyukur kini satu-persatu masalahnya dapat terselesaikan.

Jangan lupakan Nana, kini di dalam hati wanita itu, tengah terjadi sebuah letusan kebahagiaan. Benar-benar sangat senang, padahal hanya sekadar untuk mengetahui rumah Jaehyun saja. Ternyata dengan menyukai orang mampu membuat bahagia, walau dengan hal sepele sekali pun itu.

**

Hal yang paling memusingkan selain memikirkan pekerjaan menumpuk adalah, merawat anak yang sedang sakit. Merengek sejak pagi, dan tidak mau makan. Sakit radang memang menyebalkan, badan panas dan belum lagi merasa sakit di sekujur tubuh dan kerongkongan.

Sudah berapa kali Jaehyun membujuk Nora untuk makan, tapi gadis cilik itu justru marah-marah dengan menangis kencang dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Jaehyun tau jika untuk menelan, pasti Nora merasakan sakit di pangkal kerongkongannya. Namun, jika terus saja menolak makanan maka Nora tidak bisa minum obat.

"Nora, harus mau makan ya," ucap Jaehyun untuk kesekian kalinya. Jawaban yang diberikan Nora adalah sebuah gelengan kepala. Kalau sudah begini, Jaehyun ikut pusing, sedih, dan bingung bercampur jadi satu.

Jaehyun duduk berhadapan dengan Nora di meja makan, pria itu memperhatikan putrinya yang sesenggukan. "Sudah ya, jangan menangis lagi, nanti semakin sakit Sayang." Jaehyun menghapus air mata yang mengalir di pipi Nora. "Nora mau sup tidak?" tanya Jaehyun.

"Nora, tidak suka sup!" Nora menangis lagi, dan kini semakin kencang.

Jaehyun memilih diam saja, dan tidak akan membahas makanan lagi di depan Nora. Jika Nora masih saja merengek, dan tidak mau makan. Mungkin, nanti malam Jaehyun akan membawa anaknya ke rumah sakit. Jaehyun takut Nora justru semakin lemas.

Tangan Jaehyun terulur dan meraih tubuh Nora, kemudian merengkuhnya ke dalam pelukan. Pria itu mendekap, dan mengusap punggung putrinya yang tengah menangis. Satu tangan Jaehyun mengambil gelas yang sebelumnya sudah terisi air, dan memberikannya kepada Nora.

"Minum saja, mau ya?" Jaehyun mengusap pipi Nora lembut, dan menyunggingkan senyumnya.

Kemudian Nora pun mau menerima minum pemberian Jaehyun, dan meminumnya pelan-pelan. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya hanya untuk menelan air putih saja Nora cukup menderita.

"Pintarnya anak ayah." Jaehyun mengusap puncal kepala Nora.

Sementara itu tidak lama kemudian terdengar suara bel. Jaehyun menebak pasti sekretarisnya yang datang mengantarkan pekerjaannya ke rumah. Akhirnya Jaehyun meninggalkan Nora sendirian di meja makan, untuk membukakan pintu.

Dari luar sendiri Yeji dan Nana terlihat membawa paper bag berisi pekerjaan Jaehyun. Nana berdiri di belakang Yeji, gadis itu menahan senyumnya mati-matian- menyembunyikan rasa senang di hatinya.

Tak lama suara pintu terbuka, bersamaan dengan itu ritme jantung Nana semakin cepat. Apalagi mendengar suara baritone yang amat ia rindukan semalaman.

"Silakan masuk Yeji-si, ah—ada Nana-si juga rupanya," ucap Jaehyun yang kini berdiri di depan pintu.

Nana membungkukan tubuhnya. "Selamat siang, Wakil Direktur. Aku bisa di sini berkat membantu Yeji-si agar dapat mengantarkan mobilmu." Nana tersenyum tipis.

Wanita itu kini justru mengalihkan fokusnya pada penampilan Jaehyun. Pria berstatus wakil direktur keuangan yang terkenal di kantor dengan penampilan rapi dengan setelan jasnya, kini Nana bisa melihat penampilan Jaehyun di luar kantor. Kesan wibawa di diri Jaehyun masih setia menempel walaupun hanya memakai t-shirt hitam dan celana panjang berbahan katun.

Jaehyun mengernyitkan keningnya. Bingung dengan alasan Nana. "Aku masih belum mengerti," ucap Jaehyun.

Yeji mengeluarkan cengirannya. "Begini Wakil Direktur, aku tidak bisa menyetir mobil. Tapi karena Nana bisa menyetir, jadi kami bisa sampai di sini dengan selamat."

Seketika Jaehyun menggaruk keningnya, ia baru ingat kalau sekretaris lamanya yang bisa menyetir, dan bukan Yeji. Jaehyun lupa kalau sekretarisnya sudah ganti. "Astaga, aku baru ingat. Maaf—"

Ucapan Jaehyun terputus ketika terdengar suara teriakan Nora, dan disusul dengan suara benda yang pecah. Dengan cepat tanpa pikir panjang, Jaehyun langsung berlari menuju ke dalam begitu juga Yeji dan Nana yang refleks berlari di belakang Jaehyun.

Terkejutnya Jaehyun begitu melihat gelas yang tadi ia berikan kepada Nora, kini sudah pecah di lantat. Ternyata gadis cilik itu marah lagi. Jaehyun berbalik badan dan menatap dua wanita yang kini wajahnya ikut panik.

"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Banyak pecahan kaca, aku bersihkan dulu." Jaehyun menatap Yeji dan Nana bergantian.

Jaehyun pun berjalan mendekati Nora yang sedang menangis histeris di kursi. Pria itu takut jika nanti Nora turun dari kursi dan kakinya justru menginjak serpihan kaca. Nana melihat kondisi rumah Jaehyun yang kini tengah kacau, karena pecahan gelas berserakan di lantai. Sebuah ide muncul, Nana berinisiatif membantu Jaehyun untuk membersihkan kaca-kaca itu. Namun, dengan segera Yeji mencegah Nana.

"Nana-si, lebih baik kau di sini saja." Yeji menahan tangan Nana.

"Memangnya kenapa?" tanya Nana, wanita itu melihat tangannya yang kini ditahan oleh Yeji. "Aku hanya mau membantu membersihkan kacanya saja."

Yeji dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Jangan. Sudah kau turuti saja ucapan wakil direktur tadi." Yeji bersikeras melarang Nana si kepala batu.

Wajah Nana murung, akhirnya wanita itu memilih menurut dan mengalah dengan perkataan Yeji. Sampai akhirnya pandangan mata Nana teralihkan pada Jaehyun yang kini tengah berjalan, sembari menggendong Nora—membawa putrinya masuk ke kamar.

"Wakil Direktur awas di dekat kakimu ada kaca!" Nana berjalan lurus begitu saja tanpa berhati-hati dengan langkahnya, lupa bahwa di sekelilingnya banyak serpihan kaca.

Melihat itu sontak Yeji menahan napasnya, dan melotot melihat perilaku Nana yang ceroboh. Benar saja, begitu Nana berjalan dengan tidak hati-hati, kakinya tak sengaja menginjak kaca dan kini tergores.

"Ah!" Nana merintih ketika kakinya mulai terasa perih. Nana meringis miris, setelah melihat Jaehyun dan Yeji yang kini sedang menatap ke arahnya.

Tamatlah riwayatmu, Nana, batin Nana.

Jaehyun berjalan meninggalkan Nana, dan segera memasukan Nora ke dalam kamarnya. "Nana-si tetap di sana! Kalau kau melanggar ucapanku lagi, maka kakimu akan tergores lagi!" ucap Jaehyun dengan lantang, dari dalam kamar.

Nana menghela napasnya. Ia menatap Yeji, dengan setumpuk penyesalan di raut wajahnya. "Maaf," ucap Nana dengan pelan ke arah Yeji.

Melihat Nana yang kini mematung, dengan satu kaki yang sudah diangkat, membuat Yeji geleng-geleng tak habis pikir. Itulah akibat si ceroboh yang keras kepala.

Tak lama setelah itu, Jaehyun kembali menghampiri Nana dan Yeji. Jaehyun memperhatikan telapak kaki Nana yang sudah berdarah dan kacanya masih setia menempel di sana. "Yeji-si, maaf aku merepotkanmu lagi. Tolong belikan perban di apotek atau mini market dekat sini," pinta Jaehyun.

"Baik, Wakil Direktur," ucap Yeji, kemudian meninggalkan apartemen Jaehyun.

Jaehyun menatap Nana dingin. "Ini akibatnya kalau kau tidak menurut."

"Tapi, tadi di dekat kaki Wakil Direktur ada kaca. Mungkin tadi aku hanya refleks. Maaf," ucap Nana, kemudian menundukkan kepalanya. Kini bukan hanya rasa perih yang dirasakan kaki Nana, tapi juga rasa penyesalan.

"Jangan meminta maaf. Ini bukan salahmu," Jaehyun berjalan mendekati Nana. Lalu mengambil tangan Nana dan meletakannya di pundak. "Tolong setelah ini menurut padaku, jangan melakukan hal yang ceroboh lagi," ucap Jaehyun, kemudian menggendong Nana.

Nana terkejut bukan main akibat Jaehyun yang tiba-tiba menggendongnya, seperti adegan di dalam film romantis. Wanita mana yang pikirannya tidak melayang jika diperlakukan semacam ini. Jantungnya berdebar kencang, bahkan Nana seolah bisa mendengar suara detaknya. Wanita itu cemas kalau nanti, Jaehyun bisa ikut mendengar suara debaran jantungnya.

"Wakil Direktur," panggil Nana.

"Ya?"

Jaehyun berjalan membawa Nana masuk ke dalam kamar Nora, tempat di mana kotak obat berada.

"Aku bisa jalan sendiri," ucap Nana.

Jaehyun menatap Nana. Jarak wajah mereka kini jauh lebih dekat. "Aku tidak percaya denganmu."

Nana menatap kedua netra coklat Jaehyun. Dipandang Jaehyun dari jarak sedekat ini, adalah hal yang tak terbayangkan. Wangi parfum yang selama ini hanya bisa ia rasakan dari kejauhan, kini bisa tercium sangat dekat. Nana hampir dibuat gila, di dalam perutnya sekarang seperti muncul gejolak. Merasakan di pinggangnya saat ini ada tangan Jaehyun, wanita itu semakin tak kuasa menahan malunya.

Jaehyun mendudukkan Nana di sofa. Tak jauh dari sana, Nana melihat Nora yang kini sedang duduk tenang sembari memainkan rubik. Gadis kecil itu jauh lebih tenang saat di hadapkan dengan mainannya.

"Duduk diam di sini. Jangan ke mana-mana!" Jaehyun memperingatkan Nana sebelum pria itu pergi mengambil kotak P3K.

Nana menyunggingkan senyumnya ketika melihat Nora di atas tempat tidurnya. Mata wanita itu memperhatikan tiap sudut kamar Nora yang bernuansa soft pink. "Hai, Nora!" sapa Nana, ketika tatapan mata mereka bertemu. Namun, yang didapat Nana hanya didiamkan oleh Nora.

Jaehyun kembali masuk ke kamar Nora dengan membawa kotak P3K. Pria itu kemudian menghampiri Nana, dan duduk melantai di depan Nana yang berada di sofa. Luka di telapak kaki Nana tidak begitu dalam, hanya saja goresannya terlihat sedikit panjang. Jaehyun mengawali dengan membersihkannya dengan cairan pembersih luka, dan kain kasa.

"Ini akibatnya kalau kau tidak menuruti perkataanku," ucap Jaehyun. Pria itu membersihkan luka Nana sembari sesekali meniup kaki Nana.

Mendengar ucapan dan mendapat perhatian Jaehyun, justru membuat pikiran Nana melayang tinggi. Wanita itu membayangkan yang sedang mengoceh, dan mengobati lukanya sekarang ini adalah kekasihnya.

"Kenapa kau senyum-senyum?" tanya Jaehyun, meruntuhkan fantasi Nana.

"Ah, Nora terlihat lucu sekali," ucap Nana berdusta.

Jaehyun menyunggingkan senyumnya mendengar alasan Nana. "Dia memang menggemaskan, bukan?" tanya Jaehyun, lalu dijawab anggukan oleh Nana. "Aku senang ada orang yang memandang anakku seperti anak normal pada umumnya."

Dahi Nana mengernyit, alisnya nyaris menyatu. Apakah aku tak salah dengar? Apa maksud dari ucapannya?

"Aku tidak mengerti, Wakil Direktur." Nana melihat Jaehyun dan Nora bergantian.

Jaehyun membuang kain kasa bekas di tempat sampah terdekat, dan duduk di samping Nana. "Di usiaku yang sangat muda, aku mengetahui bahwa anakku yang saat itu berusia tiga tahun memiliki gangguan perkembangan." Jaehyun menatap Nana yang kini perhatiannya hanya tertuju pada Nora. "Kelihatannya seperti anak normal. Tapi, Nora memiliki syndrome asperger. Dia asyik dengan dunianya, tidak tertarik dengan orang lain, sulit bersosialisasi. Dengan kata lain, anakku autis."

Nana beralih menatap Jaehyun. Tatapan matanya menyiratkan ketidak percayaan atas fakta yang disampaikan Jaehyun baru saja. "Aku tidak menyangka."

Jaehyun mengangguk pelan. "Reaksimu sama sepertiku dulu." Jaehyun menyunggingkan senyumnya. "Maka dari itu jika kau memanggil namanya, dia hanya diam saja. Nora hanya merespons orang yang familiar saja dengannya, tapi terkadang aku sendiri juga masih suka diabaikan," ucap Jaehyun lalu terkekeh.

"Ibu Nora di mana, Wakil Direktur?" tanya Nana. Pertanyaan yang sekian lama ditahan-tahan akhirnya keluar juga.

"Dia meninggal setelah melahirkan Nora," jawab Jaehyun. Bagi pria itu, wanita yang dulu dicintainya dengan amat sangat, kini sudah mati. Mati terkubur di ingatannya.

Mungkin dulu, saat menyebut Rose telah meninggal adalah hal yang sangat sulit. Namun sekarang, itu sudah tidak ada artinya lagi. Jaehyun sudah mati rasa dengan Rose.

Nana memegang tangan Jaehyun, lalu menepuk punggung tangannya pelan. "Wakil Direktur, kau ayah yang hebat." Seolah ada panggilan dalam diri Nana, mengetahui orang yang disukainya selama ini telah melewati banyak hal yang tak mudah. Rasanya Nana ingin memeluk Jaehyun, namun itu mustahil untuk dilakukan.

Seketika Jaehyun terdiam, setelah tangannya digenggam dan mendapatkan pujian dari Nana. Jaehyun menatap Nana lekat, lalu kemudian tanpa sadar, pria itu tersenyum tipis.

"Terima kasih sudah bertahan sampai detik ini untuk Nora, Wakil Direktur." Kemudian Nana mengakhiri ucapannya dengan senyuman manis.

Jaehyun mengangguk pelan, menyembunyikan wajah malunya—sebab baru kali ini mendapatkan ucapan semacam itu. Jaehyun akui, dua kalimat yang disampaikan oleh Nana mampu membuat hatinya lebih tenang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro