Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12

"Oh let the bullets fly, oh let them rain.

My life, my love, my drive, it come from pain."

Believer - Imagine Dragons

---

"Astaga hujan," gumam Nana.

Nana melihat hujan di luar yang begitu deras, padahal seharian cuacanya cerah dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Tapi, Nana beruntung karena kebiasaannya yang selalu membawa payung lipat di tas tidak sia-sia sekarang.

Terdapat beberapa orang berkumpul di lobby, sepertinya mereka terjebak hujan dan terpaksa harus menunggu reda. Nana mengeluarkan payung birunya dari tas. Kakinya melangkah sampai tiba di depan pintu keluar, di sana barulah Nana mengembangkan payungnya.

"Sudah mau pulang, Nana-si?"

Suara baritone itu membuat Nana menoleh, kemudian mengangguk begitu matanya bertemu pandang dengan Jaehyun. "Iya Wakil Direktur," jawab Nana.

Tak sengaja Nana melihat sepatu Jaehyun yang terkena percikan hujan. "Kalau Wakil Direktur sendiri, sudah mau pulang?" tanya Nana, yang lalu dibalas gelengan oleh Jaehyun.

"Aku masih harus datang ke acara makan malam dengan dewan direksi." Jaehyun tersenyum tipis. "Hujannya deras sekali, hati-hati di jalan Nana-si."

Nana hanya diam. Matanya melihat jalan besar di depannya. Halte bus tujuannya tepat di seberang sana, tidak begitu jauh. Lalu terlintas sebuah ide, melihat Jaehyun yang terjebak hujan dan tahu ia akan menghadiri makan malam, Nana ingin menyerahkan payungnya. Karena sepertinya Jaehyun lebih membutuhkan payung itu.

"Wakil Direktur, kau bisa memakai payungku jika mau. Sepertinya butuh waktu lama hujannya untuk reda." Nana menyodorkan gagang payungnya. "Tenang saja, aku hanya berjalan sampai halte di depan sana. Tidak apa-apa," imbuhnya, ketika melihat sorot mata Jaehyun yang datar.

Beberapa detik keduanya diam saling beradu pandang, dan hanya terdengar tetesan hujan yang deras. Jaehyun memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana, lalu menatap Nana. Pria itu seperti ingin mengutarakan sesuatu, namun menunggu waktu yang tepat.

Merasa aneh karena terus ditatap seperti itu oleh Jaehyun, Nana pun jadi salah tingkah. Tatapan Jaehyun sekarang ini selalu muncul saat Nana melakukan kesalahan, maka dari itu Nana bertanya-tanya kesalahan apa lagi yang ia perbuat di mata atasannya ini.

"Aku meminjamkan payung ini dengan senang hati, jadi tidak apa-apa bila kau pakai, karena sepertinya Wakil Direktur lebih membutuhkan ini sekarang," ucap Nana dengan hati-hati, takut bila salah bicara.

Jaehyun tidak menjawab, dan justru memperhatikan jam tangannya. Tak berselang lama, Yeji datang dan menghampiri Jaehyun. Terlihat di tangan sekretaris Jaehyun membawa payung lipat.

Pantas saja dia tidak menerima payungku, ternyata membawa sendiri. Tapi kenapa tidak langsung menolaknya, dan diam saja. Buat orang memikirkan yang tidak-tidak, batin Nana

"Ini Wakil Direktur payungnya yang tertinggal." Yeji menyerahkan payung itu ke tangan Jaehyun, lalu meninggalkan Jaehyun dan kembali ke dalam gedung.

Jaehyun menatap payung lipat di genggamannya. "Nana-si," panggil Jaehyun, lalu menatap Nana. "Kenapa kau selalu menempatkan dirimu sendiri di kerugian?"

Kerutan di dahi Nana semakin dalam, dan kedua alis wanita itu saling bertemu. "Permisi, maksud Wakil Direktur apa?"

Payung yang di genggaman Jaehyun itu lalu dikembangkan. Sebuah raut wajah remeh ditampakkan kepada Nana. "Aku tidak melarangmu berbuat kebaikan, tapi bukankah jika itu membuat diri sendiri rugi tidak baik jika dibiasakan, betul bukan Nana-si?" Jaehyun memperhatikan Nana yang kini mematung di hadapannya. "Kau menyerahkan payungmu kepadaku, lalu membiarkan dirimu sendiri basah terkena hujan. Bukankah itu termasuk merugikan diri sendiri?"

Nana termenung. Ia tak menyangka ada manusia yang jalan pikirannya semacam itu. Bagaimana bisa tindakan ikhlas membantu, justru disalah artikan sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri?

"Tapi aku dengan senang hati melakukannya, selagi itu didasari dengan hati yang ikhlas, tidak bisa disebut merugikan diri sendiri, Wakil Direktur Jung." Nana membalas perkataan Jaehyun dengan percaya diri. Wanita itu jelas tidak terima bila kemurahan hatinya disalah artikan.

Sebelah sudut bibir Jaehyun terangkat, ia menggeleng takjub mendengarkan ucapan Nana. "Kalau begitu, kau mengasihaniku sekarang ini?"

"Tidak, bukan seperti itu Wakil Direktur."

Di situasi seperti ini Jaehyun yang sangat dihormati para rekan kerjanya itu, terlihat sangat menyebalkan. Nana meremas tangannya sendiri, menahan emosinya agar tetap terkendali. Jika saja yang di hadapannya ini bukanlah seorang wakil direktur, mungkin Nana sudah menghujaninya dengan makian.

"Kau tahu, di dunia ini semakin banyak orang yang tidak tahu diri. Jadi, berhenti mencemaskan dan memikirkan orang lain, belum tentu mereka berlaku sama. Memiliki hati yang terlalu baik di dunia ini sangatlah berbahaya, Nana-si."

Tanpa mengucap salam dan permisi, Jaehyun berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan Nana yang membeku di tempat.

Nana paling tidak bisa diperlakukan kasar, mendapatkan ucapan yang menyakitkan dari mulut Jaehyun seperti ini saja mampu mengundang air mata. Lagi pula apa salahnya menjadi orang baik di tengah dunia yang penuh manusia tidak tahu diri? Apakah saat ini menjadi murah hati justru dipandang rendah?

"Wakil Direktur Jung!" panggil Nana. Air mata gadis itu menumpuk di pelupuk matanya, mungkin sebentar lagi akan luruh.

Jaehyun menghentikan langkahnya, kemudian berbalik badan. Pria itu melihat Nana yang kini berjalan ke arahnya dengan pipi yang sudah basah.

Dia menangis? Batin Jaehyun saat melihat jejak air mata di pipi Nana.

"Apakah menerima kebaikan dari orang lain akan membuatmu merasa rendah? Jika kau tidak mau menerima kebaikan yang orang berikan, maka abaikan saja, atau menolaknya dengan manusiawi. Jangan bertindak seperti seseorang yang berengsek." Nana mengabaikan pandangan orang-orang terhadapnya saat ini. Orang semacam Jaehyun harus diberi pelajaran.

"Seseorang yang berengsek?" Jaehyun menyunggingkan bibirnya. Ia menatap tajam Nana. "Permisi Nana-si, lihatlah lawan bicaramu, perhatikan ucapanmu itu."

Nana memberikan senyum angkuhnya tepat di depan Jaehyun, walau bibirnya sedikit gemetar karena menahan air matanya agar tidak terlalu deras. "Aku tahu kau siapa, aku mengerti aku ini tidak ada apa-apanya dibanding denganmu di sini. Tapi kita sama-sama manusia, dan jika kau ingin dipandang selayaknya orang terhormat—bertingkah lakulah seperti orang yang memang pantas dihormati, Wakil Direktur Jung Jaehyun."

Nana pergi meninggalkan Jaehyun begitu saja, karena sudah sangat marah dan kesal. Air mata yang dikeluarkannya saat ini adalah bentuk luapan emosinya terhadap Jaehyun. Nana tak menghiraukan sepatunya yang kemasukan air, atau rok yang dipakainya basah terkena cipratan hujan—karena yang dirasakan wanita itu hanya kecewa, dan sakit hati.

Nana menghapus air matanya cepat-cepat dengan tangan. Air matanya terlalu berharga untuk orang yang tidak punya hati seperti Jaehyun. Samar-samar dari jauh, Nana melihat mobil yang biasa dikendarai Jaehyun lewat begitu saja.

"Hati manusia itu terbuat dari apa sebenarnya? Kenapa bisa setajam itu ucapannya." Nana duduk di halte dengan mata yang sembab.

Harga diri Nana seperti dipatahkan hanya karena perihal meminjamkan payung. Konyol memang jika dipikir, bisa-bisanya berbuat kebaikan untuk orang lain disebut merugikan diri.

Nana menutup payungnya, kemudian meletakkan payung tersebut di kursi kosong. "Aku tidak mau memakaimu lagi." Nana mengusap pipinya, dan bangkit dari kursi begitu bus yang ia tunggu-tunggu datang.

**

"Apakah menerima kebaikan dari orang lain akan membuatmu merasa rendah?"

Ucapan Nana seperti sebuah kaset rusak yang terus saja berputar di lirik yang sama. Suara Nana terasa nyata, mengusik isi kepalanya. Jaehyun mengendarai mobilnya, menembus jalan yang diguyur hujan lebat. Suara radio pun kalah dengan suara hujan di luar.

Kilat di langit menyambar, dan langit nampak sangat gelap. Jaehyun memilh mematikan radionya, dan membiarkan gendang telinganya mendapatkan asupan irama hujan sore ini.

"Merasa rendah," Jaehyun tersenyum pedih. Mendadak ingatan masa lalunya terputar kembali. Jaehyun sangat membenci situasi semacam ini—saat ia teringat dengan sesuatu yang tidak ingin ia ingat.

Perkataan Nana benar, menerima kebaikan seseorang dengan cuma-cuma, membuat Jaehyun merasa rendah. Pasalnya Jaehyun terbiasa mendapatkan sesuatu dengan upaya dan kerja keras, hingga suatu saat ia mendapatkan hal secara cuma-cuma justru membuat Jaehyun merasa rendah diri. Karena Jaehyun terbiasa hidup keras dan penuh perjuangan, ia tidak suka dikasihani.

"Sepertinya aku sudah keterlaluan."

Jaehyun mengingat Nana yang menangis, dan ucapan Nana tentang seseorang yang berengsek. Sepertinya kali ini Jaehyun benar-benar melakukan kesalahan.

"Astaga Jaehyun-a, dia itu wanita, Nora, Krystal, dan ibumu juga wanita. Kenapa tidak berpikir dulu sebelum bicara." Jaehyun mengendurkan dasinya lalu menyisir rambutnya ke belakang.

Apakah aku terbang telalu tinggi? Sepertinya aku melupakan daratan.

Author Note :

Terbang tinggi melihat langit memang indah, papa ....

Tapi apa yang lebih indah dari langit? Senyumanmu. AHAY hahahaha

Papa ga boleh galak-galak, nanti makin ganteng.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro