Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

Hari kedua menjaga anak-anak Jayden, Summer memperhatikan mereka dengan teliti. Fino masih seperti biasa, gembira bisa diantar jemput Summer. Tidak hanya itu, siang dibawa ke salon, malam tidur ditemani, bocah itu mengoceh senang pada siapa pun yang mendengarkan kalau dia punya mama.

Fifi, gadis kecil itu tidak menangis hari ini, tapi wajahnya murung. Summer berpikir untuk mengajaknya bicara dari hati ke hati, tapi diurungkan. Ia tidak terlalu dekat dengan Fifi dan takut juga kalau niatnya akan ditolak gadis kecil itu. Padahal, ia hanya ingin tahu apa yang mengganggunya.

Saat menjemput Fifi pulang sekolah, Summer terus memperhatikan dari jok belakang. Bagaimana Fifi terlihat menahan tangis. Ia mengusap rambut Fino yang berbaring di pangkuan dan berucap pada sopir.

"Pak, mampir ke restoran depan, ya?"

"Yang mana, Nona?"

"Burger."

Fino terlonjak. "Asyiik, mau mamam bulgel."

"Fino suka?"

"Suka, Mama. Nanti Fino mau yang gedee, bulgelnya."

"Iya, tapi dihabisin makannya."

Fino mengangguk, mendekat ke arah Summer dan berbisik. "Boleh pakai es klim nggak?"

Summer mengerling, mengetuk hidung Fino dengan lembut. "Mau es krim?"

"Lasa coklat."

"Boleh, asal burgernya habis."

"Iya, Mama."

Sepanjang Summer bercakap dengan Fino, sang kakak tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Tetap diam dan duduk tegak di jok depan. Summer mulai khawatir karena tidak biasanya Fifi begitu. Gadis itu biasanya jarang sependapat dengannya dan selalu punya cara untuk mencela.

Tiba di restoran burger, Summer meninggalkan Fino dan Fifi di meja untuk memesan makanan. Dua nampan penuh berisi burger, kentang, dan minuman ia beli. Fino paling banyak bicara, mengoceh tentang hal apa pun dengan Summer yang sabar untuk mendengarkan.

"Mama, mau cuci tangan." Fino menunjukkan jarinya yang terkena saos.

Summer mengangguk. "Bisa sendiri, 'kan?"

"Bisa, Mama."

Turun dari kursi, Fino bergegas menuju wastafel pendek yang disediakan untuk anak-anak. Mata Summer tak pernah lepas mengawasi anak itu sambil makan kentang. Di depannya, Fifi menyantap burgernya dengan pelan, seolah tidak punya nafsu makan.

Selesai mencuci tangan, Fino berlari mendekat dan menabrak pelan seorang laki-laki dengan nampan di tangan. Minuman tumpah dan membasahi lantai. Summer buru-buru bangkit dari kursi.

"Finoo!"

"Mamaa."

Laki-laki yang ditabrak menatap Summer sambil berdecak. "Bu, kalau punya anak diawasi. Jangan diumbar. Lihat, lantai jadi basah."

Summer tersenyum. "Maaf, nggak sengaja tadi."

"Yah, memang nggak sengaja. Coba kalau situ ngawasin dengan bener, pasti nggak nabrak. Makanya kalau punya anak diurus, jangan main hape terus. Mama modelan apa, sih?"

"Iya, maaf."

Sepanjang laki-laki itu mengomel, Summer hanya mendengarkan dan menggumamkan kata 'maaf'. Setelah reda rasa marah dan lantai sudah dibersihkan, ia mengajak Fino kembali ke meja.

"Anak mama lain kali kalau di tempat ramai, nggak boleh lari-lari."

Fino mengangguk. "Iya, Mama."

"Mau main sebentar? Itu, ada yang kosong."

Summer menunjuk tempat bermain anak-anak yang tidak jauh dari mereka. Fino turun dari kursi dan berbaur bersama tiga anak kecil seusianya.

"Kamu bukan mama kami."

Summer menoleh, menatap Fifi yang memandang tajam padanya.

"Bukannya itu sudah jelas?" tanyanya balik.

"Memang, tapi papa selalu bilang kamu mama Fino."

"Itu hanya bercanda. Lagi pula, aku masih muda. Masa punya anak segede kalian?"

Summer tersenyum, kembali menyantap burgernya. Mata Fifi menerawang, menatap halaman restoran yang panas.

"Kata mereka, kalau anak tanpa mama itu nggak bagus."

Summer mengangkat satu alis. "Kenapa nggak bagus?"

"Nggak ada yang didik."

"Bukannya masih ada papa? Kenapa memangnya kalau nggak punya mama?"

Fifi menggigit bibir bawah. "Ka-karena, nggak utuh. Rusak kata mereka."

Summer tidak tahu, siapa mereka yang dimaksud oleh Fifi. Namun, dari omongan gadis itu sepertinya 'mereka' ini yang membuat masalah. Benar ternyata dugaan Jayden, pasti ada hubungan dengan mama.

Meneguk minuman dinginnya, Summer berucap pelan. "Apa itu rusak? Nggak berpendidikan maksudnya? Kalau kamu bilang, tanpa mama seorang anak itu rusak, sungguh kasihan mamamu yang di surga, pasti sedih sekali."

Fifi mengangkat wajah, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi ditelan kembali.

"Mamamu itu perempuan yang hebat, mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anak-anaknya. Kenapa kamu harus dengarkan omongan mereka dan akhirnya membuat kamu sedih."

Fifi menghela napas. "Kamu nggak ngerti."

"Kamu salah! Aku lebih ngerti perasaanmu dari pada orang lain. Bedanya adalah kamu ditinggal mama dan aku ditinggal papa. Apa itu berarti aku orang yang rusak?"

Fifi menggeleng. "Nggak."

"Nah, kenapa kamu harus pedulikan omongan mereka? Lagian, siapa, sih, mereka itu? Teman-teman kamu?"

"Iya."

Summer menatap gadis kecil yang kini mengunyah kentang goreng sambil menunduk. Salut dengan cara Fifi menyembunyikan kesedihan. Ia mengerti benar bagaimana rasanya diejek oleh orang yang bukan siapa-siapa.

"Fifi, kamu seorang kakak. Harus kuat biar bisa lindungi adik kamu. Lihat itu, Fino! Masih kecil. Tadi aja dimarahi orang nggak ngerti."

Fifi menatap adiknya yang bermain bola-bola kecil dengan dua anak seusianya. Lalu mendongak ke arah Summer.

"Aku nggak suka berantem."

Summer tersenyum, mengetuk nampan berisi kentang goreng. "Nggak ada yang menyuruhmu berantem. Tapi, jangan biarkan juga dirimu dibuli. Kalau kamu nggak bisa bela diri, nanti kasihan Adik Fino. Siapa yang akan menjaganya kalau bukan kamu? Papa setiap hari sibuk cari uang untuk kalian."

Fifi terdiam, menatap makanannya yang tersisa setengah. Mendengarkan perkataan Summer tanpa menyela.

Summer sendiri, merasa sudah cukup memberikan nasehat. Ia akui, tidak pandai dalam urusan perasaan yang menyangkut anak kecil. Karena dulu sudah ada pengalaman, setidaknya ia sedikit mengerti bagaimana perasaan Fifi.

Selesai makan, ia mengantar mereka pulang dan berniat kembali ke salon. Ada beberapa pelanggan yang sudah membuat janji untuk hari ini. Di depan pintu, Yanti mencegatnya dan meminta kunci rumah. Saat ia tanyakan untuk apa, jawaban Yanti membuat Summer tersenyum.

"Saya akan bawa beberapa pelayan ke rumah, Nona. Untuk bersih-bersih. Nona Summer sudah menjaga anak-anak dengan baik. Urusan rumah, biar tanggung jawab saya."

"Nggak apa-apa emangnya, Bi?"

"Nggak apa-apa, tuan juga pasti senang."

"Baiklah, makasih sebelumnya."

Summer menyerahkan kunci rumahnya sebelum melesat pergi menggunakan ojek online. Sopir ingin mengantarnya, tapi ia menolak. Naik motor jauh lebih cepat dari mobil karena bebas kemacetan.

Sampai di salon, satu pelanggan yang ingin potong rambut sudah menunggu. Summer mencuci tangan, memakai apron dengan banyak saku yang berisi sisir dan segala jenis gunting. Pelanggan yang datang seorang perempuan paruh baya dengan rambut dikuncir.

"Mau dipotong bagaimana?" tanyanya sambil menyisir rambut perempuan itu.

"Mau yang sexy."

Jawaban si pelanggan membuat Summer mengulum senyum. "Sudah lama nggak diwarnai, bukan?"

"Memang."

"Bagaimana kalau habis potong diwarnai? Moonie punya warna baru yang bagus. Seperti rambutku."

Pelanggan itu menatap Summer melalui kaca besar di depan mereka. Mengamati sesaat lalu mengangguk. "Boleh juga."

Summer tersenyum lebar. "Baiklah, kita mulai sekarang."

Setelah memotong lima rambut pelanggan, membantu merapikan alis seorang gadis SMU yang datang dengan seragamnya, serta pelanggan perempuan tua yang lebih lama curhat dari pada potong rambut. Summer menghela napas lega saat ruko ditutup. Ia sedang merokok, sementara teman-temannya membereskan peralatan.

"Hari ini ada undangan party di daerah Selatan. Pembukaan club baru, gimana? Ada yang mau pergi?" Citra bertanya pada teman-temannya.

Hayu menggeleng. "Nggak bisa, nyokap gue masih di rumah sakit."

Purnama mengangguk antusias. "Ayuk! Mumpung lagi jomlo!"

Citra menatap Summer. "Lo, gimana?"

Summer menggeleng. "Nggak bisa, harus jaga anak."

"Cih, beda yang punya anak," sindir Hayu.

Purnama mendekati Summer lalu menepuk bahunya lembut. "Sekarang lo jaga anaknya. Gue yakin bulan depan gantian lo jaga papanya."

Summer mengibaskan tangan Purnama. "Jangan ngaco!"

"Eh, siapa yang ngaco? Kalau gue jadi lo, tiap hari ketemu sama Pak Jayden yang tinggi, tampan, dan menawan, sudah pasti hati gue bakalan klepek-klepek."

"Itu lo, bukan gue."

Citra mendengkus. "Lo juga pingin sebenarnya, Summer. Cuma belum nyadar aja."

"Kalau gue suruh milih duda keren itu atau Gandhi, jelas milih Pak Duda." Hayu nimbrung percakapan teman-temannya.

Summer menggeleng, mematikan rokok dan membuang puntung ke asbak. "Kalian jangan punya pikiran macam-macam. Hubungan gue sama Pak Jayden, murni persahabatan antara tetangga."

Purnama tertawa lirih. "Gue janji bakalan nguras pantai Ancol pakai sekop kalau lo nggak pernah bayangin, gimana tubuh Pak Jayden kalau lagi nggak pakai baju."

Citra menepuk dada. "Gue bakalan jalan kaki dari salon ke Monas sambil nyanyi-nyanyi, kalau lo nggak pernah mikir gimana rasanya dicium Pak Jayden."

Summer bangkit dari kursi, wajahnya memerah. Tentu saja ia pernah membayangkan apa yang dikatakan teman-temannya, hanya saja terlalu malu untuk mengatakan.

"Tu-tunggu, kalian kenapa, sih?"

Hayu mendekat dan berbisik. "Wajahmu merah, Summer. Yang dibilang mereka berdua itu hal lumrah. Ingat, kasih tahu kami kalau kalian udah ciuman, ya?"

"Jangan lupa harus foreplay sebelum ML, jangan main serang aja. Ntar kesakitan," ucap Purnama.

Summer menutup telinga dan berlari ke pintu. "Gue pulang dulu. Lama-lama bisa sesat kalau sama kalian."

Diiringi tawa yang menggelegar dari tiga temannya, Summer berlari menyusuri halaman untuk mencari angkot. Saat melihat kemacetan di depannya, ia memutuskan untuk memesan ojek.

Tiba di rumah Jayden, Fifi dan Fino sudah menunggu untuk makan bersama. Malam ini menunya sop daging, perkedel jagung, kerupuk, dan tak lupa sambal. Fino agak rewel dan menolak makan. Sampai akhirnya Summer sendiri yang menyuapi. Rupanya, anak itu kelelahan karena tidak tidur siang. Selesai makan, ia membantu Fino mengganti baju lalu menidurkan anak itu.

Jayden menelepon saat ia ingin mandi. Ia memutuskan untuk bercakap-cakap sambil merokok di teras samping.

"Bagaimana kabar anak-anak hari ini, Mama?"

"Fino sudah tidur, siang nggak bobo kata Bi Yanti. Fifi ada di kamarnya, sepertinya sedang membaca buku."

"Berarti keadaan kondusif?"

"Yah, bisa dibilang begitu, Pak. Kecuali satu hal."

"Apa?"

"Dia masih kelihatan sedih hari ini. Sepertinya tebakan Anda benar, ada hubungannya dengan mama."

Terdengar helaan napas panjang. "Memang selalu itu masalahnya dan ini bukan pertama kalinya terjadi."

"Solusinya bagaimana?"

"Menasehati dan meminta Fifi agar lebih sabar. Saat mamanya meninggal, Fifi sudah mengerti arti kehilangan, karena itu dia yang paling terluka."

Summer mengisap rokok dan membiarkan asap berbaur dengan udara malam yang segar.

"Pak ...."

"Ya?"

"Sepertinya Anda harus menikah. Anak-anak butuh sosok seorang mama."

Terdengar tawa geli dari ujung telepon. Summer menjauhkan ponselnya, merasa aneh mendengar tawa Jayden sedangkan ia tidak merasa mengatakan sesuatu yang lucu.

"Summer, kamu tahu aku sedang apa?"

"Berbaring?"

"Bukan, meskipun kalau disuruh berbaring sekarang bersamamu, aku pasti mau."

Summer merintih dalam hati, teringat perkataan teman-temannya. Ia berdehem kecil. "Pak, kita sedang bicara serius."

"Aku jauh lebih serius dari pada kamu, Summer. Aku sekarang sedang di tempat gym, berkeringat dan merasa bugar. Saat kamu bilang tentang pernikahan, aku membayangkan kira-kira pakai adat apa, kalau nanti kita menikah."

"Pak, ke-kenapa jadi kita yang menikah?"

"Kamu melamarku."

"Kapan?"

"Baru saja."

"Yang mana, Pak?"

"Sepertinya kita harus menikah. Anak-anak butuh figure seorang mama."

"Bukan kita, Pak. Tapi, Andaaa."

Jayden tertawa terbahak-bahak. "Masa, aku salah dengar?"

"Iya, Anda benar. Memang salah dengar."

"Ups, maafkan aku, Summer. Ternyata aku yang GR, padahal aku udah mikir tentang gedung, resepsi, dan berapa undangan yang harus disebar saat kamu sebut pernikahan. Ternyata, aku salah."

"Pak, kapan pulang?"

"Besok."

Sepanjang hampir satu jam menelepon, lebih banyak Jayden yang menggodanya. Pembicaraan mereka berakhir saat laki-laki itu mengatakan ada tamu datang berkunjung ke hotel.

Summer merenung, menatap teras yang temaram. Suasana rumah sangat sunyi, hanya sesekali terdengar kendaraan yang lewat.

Ia memikirkan perkataan Jayden. Laki-laki itu selalu membahas pernikahan setiap kali mereka bicara. Sayangnya, menurut Summer Jayden tak lebih dari sekadar bercanda. Ia pun tidak akan pernah memasukkan omongan laki-laki itu ke dalam hati karena tidak mau berharap sampai akhirnya terluka.

Summer datang ke rumah ini karena Fino, jadi yang ada di pikiran dan hatinya hanya anak itu. Jayden hanya kebetulan saja lewat dan ia tidak akan pernah mengundang laki-laki itu untuk masuk dan menetap di hatinya. Ia lebih suka hatinya kosong, kecuali untuk Gandhi tentu saja.

Keesokan harinya, ia meminta izin pada teman-temannya selama satu hari untuk tidak ke salon. Tidak menerima janji temu, kecuali pelanggan bersedia digantikan orang lain. Setelah mengantar Fino, ia duduk di kantin, membaca buku sambil mendengarkan gosip para orang tua atau pengasuh yang berkumpul.

Fino keluar lebih dulu, ia memesan makanan dan minuman untuk anak itu dan menyuapinya. Jadwal Fifi keluar dari kelas adalah jam satu siang. Lima belas menit sebelumnya, ia membawa Fino ke tempat penjemputan dan menunggu.

Satu per satu para murid keluar. Summer mencari-cari sosok Fifi dan saat gadis itu keluar ia melambai. Sayangnya, Fifi justru berbelok ke arah lain bersama dua temannya. Tidak ingin ketinggalan, Summer menggandeng Fino mengikuti mereka dan mendapati ketiga gadis itu bicara di bawah pohon akasia yang berada di belakang kelas.

Summer tidak mendekat, hanya melihat dalam jarak pandang yang cukup untuk mendengar semua pembicaraan mereka.

"Ngapain lo nyuruh kita ke sini?" Seorang gadis dengan rambut ikal bertanya.

Fifi mengangkat wajah. "Gue cuma mau bilang sama kalian, jangan lagi-lagi ngomong masalah keluarga. Gue nggak senang."

"Memangnya kenapa kalau lo nggak seneng, hah? Penting gituu!" Teman satu lagi menjawab.

"Penting buat gue."

"Sayangnya, buat kami, nggak tuuh."

Fifi yang hilang sabar, menginjak salah satu kaki mereka dan membuat gadis itu menjerit.

"Sakitt, tahuu!"

"Biarin! Hati gue juga sakit kalau lo berdua ngomong masalah keluarga!"

"Dasar, resek!"

Fifi menghindar saat salah seorang ingin menjambak, gadis itu dijegal dan jatuh. Summer bersiap datang saat seorang perempuan setengah baya menghampiri sambil menjerit.

"Aaah, anak kurang ajar. Dasar anak tanpa ibu! Nggak berpendidikan!"

"Anak Tante yang kurang ajar!" Fifi berteriak dengan air mata nyaris keluar.

"Masih bantah lo, ye."

Summer menggandeng Fino, menghampiri mereka dan berteriak. "Fifiii!"

Mata Fifi melebar saat melihat Summer datang.

Perempuan setengah baya dengan dua anak di belakangnya, kini berdiri menghadap Summer, sambil berkacak pinggang.

"Siapa kamu? Tantenya?"

Summer berbisik pada Fifi. "Sana, mundur dan jaga Adik, ya?"

Fifi mengangguk, menggandeng Fino mundur lima langkah.

Menegakkan tubuh, Summer juga berkacak pinggang. "Nggak penting aku siapa. Yang aku mau bilang cuma satu, ajarin anak kalian buat sopan dan nggak suka buli orang lain."

"Siapa kamu, berani-beraninya menceramahiku?"

"Aku nggak ceramah, cuma mau bilang. Jangan sampai ulah kalian berdua ...." Summer menunjuk dua anak perempuan yang kini berdiri ketakutan. "Bikin Fifi jadi sedih."

"Oh, kamu pasti tantenya Fifi. Baru tante aja udah belagu! Emangnya kenapa kalau anakku ngomong soal keluarganya. Emang benar nggak ada ibu."

Summer merangsek maju, menepuk dada. "Eh, Nenek Peyot. Susah banget kamu diajak ngomong baik-baik. Kenalin, mama baru Fifi!"

"Apaa? Kamu mama barunya?" Perempuan itu melotot, menatap Summer dari atas ke bawah lalu mencibir. Melihat penampilan Summer dalam balutan mini dress hitam pendek dengan rambut warna warni. "Pantas saja, Fifi jadi begitu. Mama barunya aja mirip perempuan bar!"

Summer tersenyum, mengibaskan rambut ke belakang. "Nggak masalah kamu hina aku. Bebaas! Hina aja terus. Tapi, jangan sekali-kali usik Fifi. Ingat, kalau sampai aku lihat Fifi pulang nangis, aku akan buat perhitungan!"

"Eh, baru mama tiri aja udah belagu! Berani ngancam anak orang!"

"Iyalah, kalau bukan aku, siapa yang akan membela Fifi!"

Entah siapa yang memulai, kedua perempuan itu mulai saling jambak. Anak-anak berteriak untuk menghentikan. Fifi merangsek maju, berusaha melerai pertikaian tapi dia malah kena pukul. Sambil berteriak ia balas memukul.

Summer melihat Fifi dikeroyok. Ia menampar perempuan di depannya dan mendorong hingga jatuh. Lalu meraih Fifi dan mendorong ke belakang tubuh.

"Dua bocil kurang ajar! Mau dipukul, hah!"

Dua anak perempuan itu berteriak ketakutan lalu menangis. Perempuan setengah baya bangkit dari tanah, menyumpah-nyumpah lalu kembali menyerang. Suara pertengkaran mereka membuat orang-orang mendekat. Akhirnya, datang beberapa guru beserta security yang memisahkan pertarungan itu.

Summer meraup Fino yang menangis dalam pelukan, tidak melawan saat digelandang ke ruang kepala sekolah bersama Fifi dan tiga orang lainnya yang terlibat. Mereka diceramahi, diomeli, dan terakhir harus ada yang menjamin baru boleh pulang.

Jayden yang baru turun dari pesawat, menerima panggilan dari sekolah. Bersama Rexi, ia minta diantar ke sana. Kekagetan melandanya saat melihat penampilan Summer dan Fifi yang acak-acakan dengan rambut berantakan dan luka di wajah. Belum lagi teriakan perempuan setengah baya saat melihatnya.

"Lihat itu, Pa. Itu adalah papa dari si anak yang kurang ajar. Dan itu istri barunya. Keluarga yang hebat!"

Si laki-laki yang istrinya sedang meringis sambil memegang wajahnya yang berdarah, maju dan berdehem. Tinggi laki-laki itu tidak mencapai bahu Jayden, jadi dia perlu mendongak untuk bicara.

"Kami tahu, istri baru Anda masih muda. Tapi, tolong dijaga kelakuannya. Kalau nggak—"

Jayden yang tidak tahu menahu, menyahut santai. "Kalau nggak, apa? Mau kamu apakan istriku? Kenapa kamu nggak didik istrimu dulu sebelum menceramahi istri orang lain!"

Summer mengeluh dalam hati, melihat kedatangan Jayden. Perkelahian tidak hanya membuatnya malu, tapi ketahuan mengaku sebagai istri Jayden, lebih memalukan. Untunglah kepala sekolah keluar dari ruangannya dan memanggil mereka.

"Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, mari masuk ke kantor saya."

Setengah jam kemudian, Jayden membawa mereka pulang. Sepanjang jalan, dia tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada pula sapaan manis seperti yang biasa dilakukan. Hanya Fino yang dicium dan dipeluk.

Sikap dingin dan garang Jayden membuat Summer dan Fifi ketakutan. Mereka bertukar pandang dalam diam. Baru pertama kali mereka merasa takut dengan Jayden dan duduk menunduk di jok belakang dengan penampilan awut-awutan seperti maling ayam yang tertangkap basah.

**

Obrolan Hati

Fino: Papa, Fino kangen. Muach!

Fifi: Aduh, mati, deh. Pasti uang saku dipotong ini. Mana pipi perih. (Menoleh ke arah Summer yang juga sedang mengernyit, dan satu perasaan aneh menyelusup dalam dirinya. Pertama kali, merasa gembira karena ada yang membela)

Summer: Mati, deh, aku. Bisa nggak aku pura-pura pingsan, atau minta turun di tengah jalan? Malu-maluin bener, dijemput habis berantem. Mana ngaku-ngaku jadi istri.

Jayden: ......... (Penulis: Napa, Bang. Speechless, ye!)

Perempuan yang diajak ribut: Dasar perempuan sialan! Awas, kalau bikin masalah lagi. Aku jambak rambutnya sampai rontok. Tapi, ngomong-ngomong warna rambutnya bagus juga. Nyalon di mana dia?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro