Bab 6
Di pagi buta, Jayden yang baru bangun tidur menerima panggilan telepon dari mertuanya. Perempuan itu awalnya bicara baik-baik, bertanya tentang keadaan anak-anak dan sebagainya. Belakangan, ia mulai menyebut soal perempuan muda berambut merah yang sering datang ke rumah Jayden.
"Apa kamu punya kekasih baru?"
"Nggak, Ma."
"Siapa perempuan muda itu?"
Jayden menghela napas, tidak suka orang lain mencampuri urusan pribadinya. Ia yakin yang melaporkan masalah Summer pasti si suster baru.
"Tetangga sebelah."
"Oh, apakah penghuni baru? Seingatku dulu, sebelah rumahmu kosong."
"Benar, Ma."
"Kenapa dia bisa akrab dengan kamu?"
"Bukan hanya dengan aku. Lebih tepatnya dengan Fino."
Hening sesaat, tak lama suara si mertua kembali terdengar. "Sayangnya, aku lagi di luar kota. Kalau nggak, aku pasti ingin kenal Summer itu."
Perasaan Jayden tidak menentu. "Untuk apa, Ma?"
"Kenal saja, wajar bukan? Dia bergaul akrab dengan cucu-cucuku."
Menghela napas panjang, Jayden berusaha untuk menahan kesal. Meski begitu ia tetap bicara dengan sopan, menghormati perempuan yang menjadi mertuanya. Ia ingat, perempuan itu adalah orang yang mengandung dan melahirkan almarhumah istrinya. Sudah selayaknya ia bersikap hormat, tetap saja ada hal-hal tertentu yang tidak boleh dilanggar. Masalah pribadi, contohnya.
"Ma, seingatku selama lima tahun ini, meskipun Tiara sudah tiada, tapi kita selalu menjaga hubungan baik."
"Memang, Jayden."
"Kalau begitu, harusnya tetap sama sampai tahun-tahun mendatang."
Terdengar helaan napas panjang. "Maksudmu apa?"
"Jayden hanya minta, Mama mengerti. Urusan Summer adalah masalah pribadiku. Selama yang aku lakukan baik untuk anak-anak, aku nggak mau orang lain ikut campur."
"Jay, perempuan itu merokok!"
"Dari pada memata-mataiku dan Summer, kenapa Mama nggak bilang sama suster itu untuk bekerja dengan baik. Jangan sampai terjadi lagi, Fino merasa stress. Kalau nggak, aku akan memecatnya!"
Mereka memutuskan sambungan telepon dengan suasana yang kurang menyenangkan. Jayden sendiri merasa kurang nyaman karena mertuanya sudah ikut campur urusannya. Lima tahun ia menduda, tidak pernah tertarik dengan perempuan mana pun. Bahkan pilihan orang tuanya pun, ia tidak pernah turuti. Kenapa kini harus berbeda?
Keluar dari kamar, ia mendapati Fifi sarapan sendirian. Ia meletakkan tas hitam di meja dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang makan.
"Kakak, di mana adikmu?"
Fifi menatap papanya dan menghela napas dramatis. "Adik pergi ke rumah sebelah, lalu suster menyusulnya."
Bola mata Jayden melebar, ia buru-buru melangkah ke depan diikuti oleh Fifi yang meninggalkan sarapannya.
Di depan rumah Summer, terjadi perdebatan sengit dengan Fino sebagai objeknya. Si suster menatap Summer yang menggendong Fino dengan tatapan tidak suka.
"Lepaskan anak itu!"
"Siapa lo? Berani nyuruh-nyuruh."
"Aku orang yang mengasuh Fino."
Summer meringis, mengusap rambut Fino yang menggelendot di pinggangnya. "Oh, baru pengasuh, udah belagu. Kali aja lo lupa, kenalin sekali lagi, gue mamanya Fino!"
Si suster mendengkus keras. Bibirnya mencibir meremehkan. "Ngaku-ngaku. Dasar perempuan nggak tahu malu!"
"Apa lo bilang, gue ngaku-ngaku. Coba tanya sama bocahnya langsung. Kayaknya lo yang nggak paham situasi di sini."
"Aku bekerja karena Nyonya Besar."
"Gue sayang Fino nggak perlu digaji. Lagian, ya. Lo ngurus anak tapi anaknya takut sama lo. Itu pengasuh model apaan?"
Si suster berkacak pinggang, melupakan sopan santun. "Kamu orang luar, sebaiknya jangan ikut campur. Mana, serahkan Fino!"
Mengusap rambut Fino, ia bertanya dengan dengan suara keras. "Fino, Sayang. Apa kamu mau sama suster?"
Fino menggeleng. "Nggak mau, Mama."
"Tapi, harus sekolah."
"Fino maunya sama Mama."
Tusukan rasa kasihan menyentak hati Summer. Ia mengecup puncak kepala bocah di pelukannya dan mencibir pada perempuan di depannya.
"Gimana, udah denger, 'kan lo? Anak gue nggak mau sama lo!"
Si suster mengepalkan tangan, melangkah perlahan dan berniat merebut Fino dari gendongan. "Sini, Fino, Sayang. Ikut sama suster."
Fino menggeleng. "Nggak mau."
"Fino, nggak boleh nakal. Nanti kena hukum."
"Nggak mau." Fino mulai terisak.
Summer hilang sabar. Menatap si suster ia menunjuk dengan garang. "Lo berani ngerebut Fino, jangan salahin gue kalau main kasar."
"Apa? Kamu mau memukulku?"
"Wow, jelaas. Nggak cuma mukul, tapi gue mau jambak rambut lo sampai botak!"
Si suster menjerit putus asa. "Dasar perempuan bar-bar, bagaimana bisa Pak Jayden bergaul denganmu!"
"Stop! Berhenti kalian!"
Jayden datang bersama Fifi, menatap bergantian pada si suster lalu Summer yang sedang menggendong Fino. Ia sepertinya mengerti, situasi apa yang sedang terjadi sekarang.
"Pak, lihat perempuan itu. Dia menghalangi saya mengambil Fino!" Si suster berucap keras. "Padahal sekarang sudah waktunya untuk sekolah."
Summer mendengkus. "Gue nggak halangi, ya. Fino sendiri yang nggak mau sama lo."
"Kamuu!"
"Stop! Suster, kamu kembali ke rumah." Jayden memberi perintah dengan tenang.
"Tapi, Pak—"
"Apa ucapanku kurang jelas?"
Si Suster menggeleng. "Nggak, Pak. Hanya saja, sudah waktunya sekolah."
"Aku bisa mengurus anakku. Sebaiknya kamu kembali ke rumah sekarang."
Kalah oleh perintah Jayden, si suster membalikkan tubuh, dengan pandangan sinis terakhir pada Summer. Ia merasa geram, karena sudah mengadu pada Nyonya Besar tapi Summer seolah tidak tersentuh. Baru kali ini ia merasa kalah pada perempuan yang tidak ada hubungan apa-apa dengan majikannya.
Jalan sambil menunduk, pikiran si suster dipenuhi rasa kesal dan sakit hati. Dulu, suaminya jatuh cinta dan direbut seorang perempuan malam. Penampilan perempuan itu persis Summer, berambut merah dan gemar merokok. Karena itulah, ia merasa kalau Summer bukan perempuan baik-baik dan tidak akan mampu mendidik anak. Meskipun ia menentang, tetap keputusan ada di tangan Jayden.
Setelah sosok suster menghilang, Summer mengusap punggung Fino. "Sayang, suster udah nggak ada. Sana, berangkat sekolah sama papa."
Fino menggeleng. "Nggak mau."
"Tapi, Fino harus sekolah."
"Maunya sama Mama."
Summer menatap Jayden dengan tatapan tak berdaya.
"Apa kamu mau berangkat kerja juga?" Jayden memandang penampilan Summer dalam balutan mini dress batik.
"Mau ke bank dulu, Pak. Kerja siang jam 10-an."
"Pas kalau gitu. Biar aku antar kamu, sekalian kita antar anak-anak sekolah."
"Eh, nggak merepotkan?"
Jayden menggeleng. "Nggak, Fino pasti senang bisa berangkat sekolah sama mamanya."
Itu terlihat jelas saat Fino mengangkat wajah dan mengangguk sambil tersenyum lebar. Summer tidak punya pilihan selain ikut. Jayden berpamitan mengambil mobil, diikuti Fifi. Summer meletakkan Fino di kursi, berlari ke rumah untuk mengambil tas dan menyisir rambut. Saat Jayden datang, ia belum menyelesaikan make up.
Pertama kalinya, Summer keluar pagi-pagi diantar oleh Jayden. Ia memilih untuk duduk di jok belakang bersama Fino, sementara Fifi di depan menemani sang papa. Hari ini, Jayden tidak memakai sopir. Saat Summer menanyakan hal itu, Jayden menjawab santai.
"Aku kadang pakai sopir kalau mau. Kalau nggak, biasanya aku bawa sendiri. Sopir hari ini aku suruh langsung ke kantor."
Pantas saja, kadang pagi sama sopir tapi pulang bawa sendiri, pikir Summer dengan tangan memeluk Fino.
"Pa, lapar," ucap Fifi.
Jayden menatap anak perempuannya. "Tadi belum sempat sarapan, Kak?"
Fifi menggeleng. "Belum."
Jayden menatap Fino yang sedang bermain suit dengan Summer melalui spion. "Adik, udah maem belum?"
"Belum, Papa!" Fino menjawab nyaring.
Jayden menghentikan kendaraan di restoran cepat saji. Melalui layanan drive thru, mereka memesan sarapan. Burger mini untuk Fino, waffle untuk Fifi. Jayden dan Summer memesan kopi dan sandwich. Mereka makan di mobil dan saat tiba di sekolah, semua makanan sudah tandas.
"Selamat belajar, Sayang." Summer mengecup puncak kepala Fino.
"Peyuk, Mama." Fino mengulurkan lengannya.
"Aaah, anak mama tampan!"
Fifi berdiri kaku, menunggu sampai adiknya selesai berpelukan dengan Summer. Ia meraih lengan Fino dan bergumam kecil pada Summer.
"Dah, Tante."
Summer yang tercengang karena suara Fifi yang lebih lembut dari biasanya, hanya berdiri diam. Tersadar saat mendengar klakson mobil yang antri masuk area sekolah.
"Pakai sabuk pengaman." Jayden mengingatkan.
"Sudah, Pak."
Kendaraan melaju pelan, meninggalkan area sekolah.
"Apa kamu merasa aman denganku?"
Summer menoleh heran. "Maksudnya bagaimana, Pak?"
"Hanya tanya, Summer. Karena terus terang, hatiku nggak aman saat bersamamu."
Kendaraan berhenti di lampu merah, dan Jayden menatap intens pada Summer yang menunduk. Sebuah tatapan yang membuat lawan jenis mana pun jadi salah tingkah.
Menepuk dadanya perlahan, Summer merasa kalau jantungnya yang tidak aman setiap kali bersama Jayden. Sungguh, seorang duda seperti Jayden memang meresahkan.
**
Ada yang berbeda di kantor hari ini, para karyawan Jayden pun melihatnya. Sang boss yang biasa selalu angkuh dan tanpa senyum, kali ini turun dari kendaraan dan menyapa para staf yang berpapasan dengannya.
"Selamat pagi."
Tentu saja, itu sapaan yang langka. Orang-orang dalam radius sepuluh meter langsung menunduk dan membalas sapaannya secara bersamaan.
"Selamat pagi, Paak."
Jayden mengangguk, tersenyum kecil dan beberapa karyawan perempuan hampir pingsan karena melihat sosok tampan yang angkuh dan dingin itu tiba-tiba terlihat ramah.
"Anda kelihatan senang, Pak." Rexi menyambut atasnya di lobi.
"Benar, kamu memang paling mengerti diriku."
Mereka beriringan memasuki lift bersama beberapa karyawan lain yang langsung menempelkan tubuh mereka ke dinding.
"Terjadi sesuatu yang menyenangkan, Pak?"
"Ehm, soal pribadi."
"Oh, I see. Saya berdoa, apa pun itu berhubungan dengan ... hati."
Jayden tertawa terbahak-bahak bersama Rexi di sampingnya. Mereka keluar dari lift, langsung menuju ke ruangan kerja Jayden.
"Kenapa kamu bisa menebak apa yang aku pikirkan?"
"Pak, saya sudah lama ikut Anda."
"Benar, hampir tujuh tahun. Dari sebelum Fino lahir. Ngomong-ngomong, apa kita jadi keluar kota?"
Rexi mengangguk. "Jadi, Pak. Selama empat hari. Pihak klien sudah menunggu."
"Kapan?"
"Lusa berangkat."
"Baiklah."
"Anak-anak bagaimana, Pak? Aman kalau ditinggal?"
Jayden meletakkan tas di meja, berpikir sesaat tentang suster baru yang tidak akur dengan anak-anaknya. Di pikirannya terlintas sosok Summer dan ia seperti menemukan solusi.
"Aman, tenang saja. Mereka punya mama baru."
Rexi melongo, menggosok kuping karena takut salah dengar. "Siapa, Pak?"
"Mamanya Fino, lain kali kamu bisa berkenalan dengannya."
Sisa hari itu, di kantor merebak gosip kalau sang boss sedang jatuh cinta. Berawal dari staf yang secara tidak sengaja mendengar percakapan Jayden dan Rexi, lalu berlanjut dari mulut ke mulut. Semua penasaran dan ingin tahu, siapa perempuan yang berhasil menaklukan boss setan seperti Jayden.
"Pantas saja hari ini ramah dan senyum-senyum, ternyataa—"
"Jatuh cintaaa!"
"Aargh!"
Para karyawan perempuan sedikit histeris mendengar kabar itu. Kabar percintaan dan hubungan pribadi memang menarik sekali untuk bahan bergosip.
**
Summer melangkah menembus keremangan malam. Sebenarnya, ia bisa saja pulang kerja menggunakan ojek online. Lebih cepat dan tidak capek. Namun, ia merasa kalau dirinya kurang berolahraga. Setiap hari bekerja di salon membuatnya tidak banyak gerak. Karena itu, naik angkot pulang dan berjalan kaki dari pintu gerbang sampai rumahnya adalah olahraga baginya.
Sebenarnya ada plus dan minus dalam perjalanan pulang menggunakan angkot. Plusnya lebih irit ongkos, minusnya mudah terjebak dalam kemacetan. Summer sendiri merasa harus lebih banyak menabung demi membeli rumah baru. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri, selama sebulan ini belum pernah pergi ke bar atau club dan menghabiskan uang di sana. Itu adalah prestasi gemilang untuknya.
Ia bersenandung, mendengarkan musik dari earphone yang terpasang di telinga. Sesekali jarinya saling menjentik, mengikuti irama musik. Saat melewati rumah Jayden, ia mengernyit karena mobil laki-laki itu belum ada di parkiran.
"Lembur lagi, Pak?" gumamnya untuk didengar diri sendiri.
Ia membuka pagar, mencopot earphone dari telinga. Malam ini, Summer berniat mencuci karena pakaian kotornya sudah menumpuk. Kalau tidak malas, ingin menyetrika juga. Membayangkan akan melakukan pekerjaan rumah yang begitu banyak, rasa malas menguasainya lebih dulu.
Summer baru saja mencopot sepatu dan mengganti dengan sandal jepit saat terdengar teriakan dari luar.
"Tantee, tolongin adiik!"
Fifi datang sambil terengah, menatap Summer dengan wajah pucat ketakutan.
"Ada apa? Kenapa Fino?"
"Itu, adik. Dia—"
Tanpa menunggu Fifi menyelesaikan ucapannya, Summer menyambar tangan gadis kecil itu dan mereka berlari ke rumah Jayden. Fifi membawanya ke ruang makan dan tertegun di pintu.
Fino menangis, sementara si suster berdiri di belakangnya dengan tatapan galak. Yanti yang terdiam di dekat kulkas, terlihat lega saat melihat Summer.
"Kenapa nangis, Fino? Kamu lapar? Tadi, suster sudah bilang. Boleh makan kalau sudah mengerjakan PR."
Fino menggeleng. "Nggak mau PR."
"Harus, Fino nggak mau jadi anak bodoh, bukan? Kenapa rewel?"
"Fino mau mama."
"Nggak ada Mama, di sini. Cuma ada kita."
"Siapa bilang?" Summer berderap, meraup Fino dalam pelukan.
"Mamaaa!"
"Cup-cup-cup, Sayang. Jangan nangis. Fino lapar?"
"Iya, Mama."
Summer menatap suster dengan penuh kebencian. Ia belum pernah membenci seseorang, tapi sekarang ini, ingin rasanya mencabik-cabik perempuan di depannya hingga berdarah-darah. Memandang ke arah Yanti, ia memberi tanda pengasuh itu untuk mendekat.
"Bawa Fino ke teras samping, dan suapi makan, Bi."
Yanti mengangguk. "Iya, Nona."
"Nggak boleh!" Si suster berteriak. "Mendidik anak harus ada disiplin. Kalau sebagai orang tua mudah lembek dan tunduk pada kemauan anak, itu sama saja memanjakan anak! Kamu perempuan belum pernah menikah, tahu apa kamu soal parenting?"
Summer mengangkat Fino dari kursi. "Sayang, ikut Bi Yanti, ya? Maem di sana. Nanti mama nyusul."
Fino mengangguk. "Iya, Mama."
Summer beralih pada Fifi. "Kamu temani adikmu, biar tante yang hadapi suster ngesot ini!"
"Apa katamu?"
"Suster ngesot. Kenapa? Nggak senang?"
Fifi tanpa diperintah dua kali, menggandeng adiknya ke teras. Diikuti oleh Yanti yang membawa sepiring nasi dan lauk-pauk untuk Fino. Tersisa Summer dan suster yang berdiri berhadapan. Keduanya saling tatap dengan pandangan mematikan.
"Kamu orang luar, kenapa kamu selalu ikut campur urusan keluarga ini?"
Summer mengangkat bahu. "Kenapa lo nggak tanya pada anak-anak tadi. Tanya sama mereka kenapa selalu cari gue setiap kali ada masalah."
"Kamu nggak tahu diri. Mentang-mentang Tuan Jayden baik padamu, langsung bertingkah."
"Siapa yang sebenarnya nggak tahu diri di sini. Lo atau gue?"
"Aku hanya bekerja!"
"Bekerja yang melupakan hati nurani. Lo boleh bilang sudah puluhan tahun mengasuh anak. Gue nggak peduli. Yang harus lo tahu sebenarnya adalah, Fino itu anak piatu. Dia butuh kasih sayang mama. Lo harusnya jadi suster dan pengasuh dia, bisa bikin dia nyaman. Bukan malah bikin takut!"
"Siapa kamu berani mengajariku?"
"Nggak penting gue siapa, tanpa belajar pun harusnya lo tahu, gimana mengasuh anak kecil yang kesepian!"
Si suster melotot, memandang Summer dari atas ke bawah dengan meremehkan. "Kamu bisa bilang begitu sekarang. Coba lihat nanti kalau Nyonya Besar turun tangan."
Summer tertawa kecil, mengibaskan rambut ke belakang. "Gue nggak paham, siapa itu Nyonya Besar. Tapi, harusnya dia bisa mendukung tindakan gue. Setiap perempuan pasti marah kalau anaknya diperlakukan macam Fino."
"Perempuan nakal! Nggak seharusnya kamu ikut campur."
"Apa kamu bilang?"
"Kamu! Perempuan nakal. Biasanya jenis sepertimu suka merusak rumah tangga orang!"
Kemarahan menggelegak dalam diri Summer. Ia tidak terima disamakan dengan pelakor. Kesabarannya habis. Tangannya terangkat, siap untuk memukul. Sementara suster di depannya, mundur hingga membentur tembok.
"Suster, kemasi barang-barangmu sekarang. Kamu dipecat!"
Suara Jayden mengagetkan keduanya. Terlalu sibuk bertengkar hingga tidak peduli keadaan. Summer menurunkan tangan, menatap Jayden dengan tidak enak hati.
"Tuaaan, Anda harus mendengar penjelasan saya. Perempuan itu merusak semua metode pengajaran dan pengasuhan saya."
Si suster berucap sambil meremas tangan. Berharap Jayden membatalkan perintahnya. Namun, laki-laki itu menggeleng tegas.
"Metodemu tidak cocok diterapkan pada anak-anakku. Sebaiknya kamu berkemas sekarang, dan pergi malam ini juga. Aku akan memberikan gajimu."
"Tuaaan, Anda nggak adil."
Jayden menyipit, melepas dasinya perlahan. Tatapannya tajam terarah pada si suster. Tanpa senyum di wajah, sikap dingin dan tubuh menjulang tinggi, membuat siapa pun yang melihat merasa terintimidasi.
"Adil katamu? Kamu berani bilang soal adil di rumahku?" Suara Jayden terdengar menakutkan.
Si suster menatap gugup. "Anu, itu, maksud saya—"
"Kalau sampai terjadi sesuatu pada anak-anakku, bersiaplah. Aku akan menuntutmu. Sekarang, pergi dari sini!"
Tidak ada lagi perkataan, si suster melesat ke arah kamarnya. Dengan terburu-buru ia memasukkan pakaian serta barang-barangnya dalam koper. Saat keluar dari kamar, Yanti sudah menunggu dan memberikan amplop padanya.
"Dari Tuan."
Si Suster menyambar amplop dari tangan Yanti. Tanpa berpamitan meninggalkan rumah Jayden melalui pintu samping. Menarik kopernya melintasi jalanan komplek yang temaram dengan mulut menggumamkan sumpah serapah.
Badai berlalu, selesai makan, Fino dibantu oleh Summer mandi air hangat lalu tidur. Fifi, tidak mengatakan apa pun tapi wajahnya menyiratkan kepuasan. Gadis kecil itu masuk ke kamarnya dan mulai belajar.
Ditemani oleh Jayden, Summer merokok di teras samping. Ada kopi dan camilan yang dibuat Yanti untuk mereka. Menatap asap yang bergulung dalam temaram malam, Summer berdecak.
"Nggak nyangka, Pak Jayden kalau marah seram juga."
Jayden mengangkat sebelah alis. "Benarkah?"
"Iya, aku tertipu. Awalnya aku pikir kalau seorang seperti Anda itu ramah dan baik hati. Ternyataaa!"
"Hahaha. Maaf, kalau sudah membuatmu kecewa."
"Nggak masalah, Pak. Bagus malah. Jantan!"
Saat melihat tatapan Jayden yang terarah untuknya, Summer menyadari kalau dirinya salah bicara. Diam-diam ia mengutuk diri.
"Summer."
"Iya, Pak."
"Aku anggap itu pujian."
"Hehehe."
"Ngomong-ngomong soal jantan, ada banyak cara untuk membuktikan selain dengan cara marah. Mau tahu?"
Summer mengangkat tangan dan menggeleng cepat. "Nggak, Pak. Makasih."
"Jangan begitu. Ini tawaran gratis."
"Saya nggak butuh."
"Mumpung anak-anak tidur."
"Paaak, tolonglah!"
Suara tawa Jayden membelah keheningan malam. Di dalam dapur, Yanti tersenyum sambil bersenandung. Ia menyukai rumah tanpa si suster tukang perintah. Akhirnya kedamaian kembali ke rumah ini dan tawa sang tuan membuat senyumnya tambah lebar.
**
Obrolan Hati
Fino: Mama, mau bobo sama Mama.
Fifi: Aaarg, akhirnya bisa bebas tanpa jadwal ketat. Suster Ngesot sudah pergi!
Summer: Bisa-bisanya, nih, Duda, bahas soal kejantanan sama perawan. Dia nggak tahu apa, aku masih perawan. Ciuman aja baru sekali, huft!
Jayden: Menggoda orang itu nggak dosa, bahkan seorang perawan sekali pun. Menggemaskan malah.
Suster Ngesot: Tolong, ya, pada penulis cerita ini. Aku itu suster pengasuh, bukan setaaan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro