Bab 5
Babysitter baru sudah datang, itu yang didengar Summer dari Yanti saat perempuan setengah baya itu ke warung dan tanpa sengaja berpapasan dengannya. Summer lega mendengarnya karena anak-anak ada yang menjaga, tapi perkataan Yanti membuatnya mengernyit.
"Suasana rumah jadi kaku. Anak-anak sepertinya tersiksa karena peraturan yang ketat."
"Peraturan bagaimana, Bi?"
"Banyak, Nona. Dari mulai bangun pukul berapa, duduk harus tegak, makan nggak boleh berisik apalagi sampai alat makan bunyi."
"Bukannya itu bagus? Anak-anak jadi disiplin?"
"Memang, tapi sedikit menyiksa mereka. Nona Fifi jadi makin murung dan Fino, kasihan anak itu. Nangis melulu karena ingin main. Si suster nggak izinin ini dan itu, selama beberapa hari ini hanya makan, tidur, dan belajar."
"Sebegitu menakutkan?"
Summer tercengang, hingga tak mampu berkata-kata. Ia tidak dapat membayangkan kalau Fino yang masih kecil begitu dididik secara ketat. Namun, bagaimana pun juga itu bukan urusannya. Selama Jayden tidak merespon apa pun, ia tidak boleh ikut campur.
"Fino kangen sama Nona Summer. Manggil-manggil terus, tapi nggak boleh keluar."
"Alasannya apa?"
"Di luar banyak virus, banyak orang jahat, dan Nona Summer orang luar. Nggak boleh sering-sering bergaul sama orang luar."
Summer menghela napas panjang. "Mungkin untuk kebaikan anak-anak. Lagi pula, suster itu katanya orang yang sangat berpengalaman?"
"Rekomendasi dari nyonya besar."
"Ya sudah, semoga anak-anak baik-baik saja."
Setelah bicara dengan Yanti, pikiran Summer berkecamuk tentang Fino. Memang beberapa hari ini ia tidak bertemu anak itu karena terlampau sibuk. Salon ramai hingga nyaris tengah malam. Banyak pelanggan datang di luar jam kerja. Teman-temannya juga mengajak ke beberapa pesta dan Summer pulang nyaris mendekati pagi. Jayden pun sama sibuknya. Mereka jarang bertukar kabar, dan karena Fino tidak pernah menelepon, Summer mengira kalau anak itu baik-baik saja dengan suster baru.
"Kenapa lo murung?" tanya Citra, menatap Summer yang merokok dengan pandangan menerawang.
"Kangen sama anak gue," jawab Summer.
"Bukannya tetangga sebelah?"
"Iya."
"Tinggal aja datang ke sana."
"Nggak semudah itu."
"Kenapa?"
"Karena kondisi kami berbeda."
"Berbeda kayak gimana?" Purnama masuk, menyalakan rokok dan duduk di sebelah Summer.
Summer menggaruk telinga, meniup asap di udara. "Status. Jadi nggak enak kalau gue sembarangan ke sana."
"Status gimana? Nggak bisa apa lo ngomong langsung?" celetuk Citra.
"Eh, papa si anak-anak duda. Jadi—"
"Wow, Summer! Tangkapan bagus!" Citra tertawa.
"Jangan-jangan itu laki-laki yang jemput lo?" tanya Purnama.
"Yah, dia. Papanya Fino."
"Kaaan, papanya Fino. Terus lo sekarang kangen sama Fino. Besok-besok?" Purnama mengerling jahil.
"Kangen papanya doong," sahut Citra.
Keduanya terbahak-bahak, menggoda Summer tanpa ampun. Ruangan istirahat penuh dengan tawa mereka.
"Ngapain kangen papanya? Kalian lupa gue naksir Gandhi?" jawab Summer dengan wajah masam.
Purnama mengibaskan tangan. "Gandhi, mah, anak kemarin sore. Duda itu lebih matang dan berpengalaman. Rasanya? Pasti lebih legit."
"Kalaaah kuee."
"Hei, bisa nggak kalian diam!" tegur Summer.
"Gue, kalau dapat duda apalagi yang kaya, mau aja." Citra menggoyangkan tubuh.
Summer dengan gemas mencubitnya. "Itu, karena lo belum kenal anak-anaknya. Fino memang bocah baik, tapi kakaknya? Ampuuun. Lihat gue berasa lihat setan!"
"Summer, anak kecil akan luluh kalau diperhatiin, diperlakukan dengan tulus. Kalau anak-anaknya sudah cinta sama lo, tinggal—"
"Papanyaaa ... aaah! Jadi mau, sama duda." Citra menyahut omongan Purnama.
Pembicaraan mereka tentang duda berakhir saat beberapa pelanggan datang. Summer yang jago dalam memotong dan memangkas rambut, mendapatkan dua pelanggan baru. Purnama menangani pewarnaan, dan Citra ahli di seluk beluk wajah. Hayu, bisa dikatakan bisa semuanya.
Hari ini, salon tidak ada pelanggan setelah jam enam sore. Tidak ada pesta juga yang bisa dihadiri. Summer memutuskan untuk pulang.
Di pintu gerbang masuk komplek, Summer membeli nasi goreng untuk makan malam. Menentengnya di tangan kanan dan melangkah santai menyusuri jalanan yang menggelap. Lampu-lampu berpendar di sisi jalan, tapi tidak sepenuhnya mampu mengusir kelam. Meski begitu, cukup untuk menuntun langkahnya agar tidak tersesat dalam malam.
Summer melewati rumah Jayden, mengernyit saat melihat pagar sedikit terbuka. Mobil Jayden tidak ada di parkiran, yang menandakan laki-laki itu belum pulang kerja. Ia berpikir, barangkali Yanti ke warung untuk membeli sesuatu dan lupa menutup pintu. Ia meneruskan langkah, tiba di depan pagar rumahnya yang pendek, sebuah suara terdengar dari kegelapan.
"Mama ...."
Summer mengerjap, menatap sosok kecil di depan pagarnya.
"Fino, Sayaang. Ngapain kamu malam-malam di sini?"
"Kangen Mama." Fino mengulurkan tangan. Summer membungkuk, meraih anak itu dalam pelukannya dan membelai punggungnya dengan lembut.
"Finoo, malam begini keluar sendirian bahaya. Di mana sustermu?"
Fino menggeleng, memeluk lengan Summer dengan erat.
"Aku antar pulang."
"Nggak mau, Mama. Maunya sama Mama."
"Nggak boleh, ini sudah malam. Nanti dicariin."
Meskipun tidak tega melihat Fino yang sepertinya enggan, Summer tetap menggendong anak itu dan membawanya pulang.
"Mamaa ...."
"Iya, Sayang."
"Nggak mau pulang."
"Cup ... cup ... cup, ada mama."
Sebenarnya, Summer merasa enggan memanggil diri sendiri mama. Namun, ia bisa merasakan dari tubuh Fino yang meringkuk seolah ketakutan. Ia tidak tahu apa yang terjadi, kenapa Fino jadi takut.
Menggeser pagar terbuka, Summer masuk dan berhadapan dengan Fifi yang berdiri di dekat teras.
"Adiik!"
Fifi bergegas menghampiri, mengulurkan lengan untuk mengambil alih Fino tapi anak itu menggeleng.
"Ikut kakak, Sayang," bisik Summer. "Sana, masuk!"
Fino menggeleng. "Nggak mau."
"Kenapa?"
"Maunya sama Mama."
"Adik, ayo, bobo sama kakak." Fifi meraih tangan Fino.
Fino tidak menjawab, membenamkan wajahnya ke lekukan bahu Summer dan menolak untuk turun. Menghela napas panjang, Summer menatap ruang tamu yang benderang.
"Ayo, kita masuk saja. Antar Fino ke kamar."
"Ada apa ini ribut-ribut, Fifi, Fino?"
Seorang perempuan berumur empat puluhan dengan seragam hitam, berdiri di depan pintu. Perempuan itu menatap Fino yang merangkul Summer dan mengernyit.
"Fino, kamu manja sama siapa? Sini, turun."
Fino menggeleng. "Nggak mauu!"
"Fino, ingat peraturan nomor sepuluh, Sayang. Jadi anak nggak boleh manja, harus mandiri."
"Nggak."
Fifi maju selangkah. "Bu Suster, adikku lagi nggak mood. Bisa nggak malam ini libur belajar."'
Suster itu tersenyum, menatap Fifi. "Kamu itu seorang kakak, Fifi. Harus memberikan contoh yang baik pada adikmu. Bagaimana harus patuh sama peraturan."
"Tapi, kasihan adik Fino."
"Kenapa kasihan? Dia nggak sakit." Si suster terus mendekat, mengulurkan tangan pada Summer. "Fino, ayo, turun!"
Fino mempererat pelukan, membuat Summer meringis karena lehernya tercekik. Di depannya, si suster menurunkan tangan karena tertolak dan menatap Summer dengan pandangan bertanya-tanya.
"Kamu siapa?"
Summer menghela napas, mencoba melonggarkan sedikit cengkeraman Fino di lehernya. "Aku, tetangga sebelah. Aku akan bawa Fino ke kamarnya."
Si suster menggeleng. "Turunkan saja dia, biar aku yang bawa. Lagi pula, dia masih harus belajar."
Summer mengernyit. "Eh, kamu nggak lihat anak ini lagi ketakutan? Masa disuruh belajar?"
"Fino hanya manja. Biasa itu. Peraturan dalam belajar, tepat waktu, itu penting!"
"Shit!" Summer memaki dan menutup mulut saat melihat Fifi menatapnya. Ia harus menjaga kata-kata saat ada di depan anak-anak.
Si suster menyipit, bersedekap dengan angkuh. "Perempuan seperti kamu, yang terbiasa berkata kasar, tidak seharusnya dekat dengan anak-anak. Akan mempengaruhi pola pikir mereka."
Summer mendengkus keras. "Eh, lo, dari tadi diajak ngomong sopan kagak bisa. Siapa lo, berani-beraninya nilai gue?"
"Aku suster penjaga anak-anak ini, sudah seharusnya bersikap tegas untuk melindungi mereka."
"Melindungi? Dari apa? Dari siapa? Jangan-jangan dari lo sendiri? Kenapa bisa Fino ketakutan?"
"Sudah aku bilang, dia hanya manja!"
"Justru itu, bocah lagi manja harusnya disayang, dikasih pengertian, bukan disuruh belajar!"
"Kamu hanya tetangga, jangan mengatur-aturku yang jelas kerja di sini?"
"Siapa bilang aku hanya tetangga?" Summer tersenyum tipis.
"Apa maksudmu."
Summer membelai punggung Fino dengan lembut, disertai bisikan. "Sayang, mama janji akan temani kamu bobo. Sekarang, turun dulu, ya?"
Fino mendongak. "Beneran, Mama?"
"Iya, Sayang. Mama janji."
Tanpa berpikir dua kali, Fino turun dari pelukan Summer. Berdiri dengan mencengkeram tangan Summer. Fifi terdiam, menatap adiknya yang tidak mau lepas dari Summer.
Summer mengangkat dagu, tersenyum ke arah suster. "Tahu, 'kan? Aku siapa? Mama Fino! Sekarang, kamu minggir! Aku mau temani anakku."
Si suster menatap bingung, pada Summer lalu beralih ke Fifi. "Tunggu, aku jelas tahu kalau pemilik rumah ini, Tuan Jayden adalah duda. Ba-bagaimana mungkin ada mama Fino?"
"Memang begitu," celetuk Fifi tak acuh. "Kamu bingung, 'kan, Sus? Sama, aku juga."
Merasa dipermainkan si suster merentangkan tangan di depan pintu. "Tinggalkan Fino di sini, biar aku saja yang bawa masuk. Kamu, pulang!"
Summer mendengkus, memegang erat tangan Fino. Sudah terlanjur masuk dalam peperangan, pantang untuk mundur. "Kalau gue nggak mau gimana?"
Mereka berdiri berhadapan dengan sangat dekat. Si suster mengendus udara lalu berucap mengejek. "Perokok ternyata. Jangan-jangan tukang mabok juga. Perempuan sepertimu, nggak layak mengasuh anak apalagi menyebut mama Fino!"
Tangan Summer yang bebas mengepal. Ia berniat melayangkan pukulan saat pintu gerbang membuka dan kendaraan Jayden masuk. Ketegangan makin bertambah, kala laki-laki itu turun dari mobil, mendekat dengan satu alis terangkat.
"Ada apa ini? Summer, kamu di sini?"
Mereka menatap Jayden secara bersamaan. Fifi maju, menyambut sang papa dan berujar pelan.
"Pa, mereka ribut."
"Mereka siapa?" Jayden menoleh pada anaknya.
"Suster sama tante, mereka rebutan Fino."
Jayden menyerahkan tas yang dibawa pada anak perempuannya. "Bantu papa. Bawa tas ke ruang kerja, ya?"
Fifi mengangguk, dengan tas di tangan berlari masuk. Jayden mendekati Summer, menatap anak laki-lakinya yang memeluk pinggang perempuan itu.
"Fino, Sayang. Sini, peluk papa."
Fino beralih, dari Summer ke Jayden dan naik ke gendongan. "Papa, Fino mau sama mama."
"Iya, Sayang."
"Mama nggak boleh pulang."
"Nanti kita bilang sama mama."
Jayden melirik Summer yang masih berdiri tegang lalu menatap suster yang memblokir jalan. "Suster, apa aku juga nggak boleh masuk?" tegurnya.
Si suster minggir. "Silakan, Pak. Tapi, sebaiknya perempuan ini jangan."
"Kenapa? Summer sudah biasa ke sini."
"Dia ikut campur dalam pekerjaan saya. Memanjakan terlalu berlebihan dan membuat anak jadi tidak mandiri."
"Hei, lo, ya. Ngadu-ngadu nggak bener!" Summer menyela keras.
"Nah, 'kan, Pak? Ucapannya juga kasar dan dia perokok. Akan sangat tidak baik untuk perkembangan anak."
Summer kehilangan sabar. Merangsek maju tanpa mempedulikan Jayden yang menggendong Fino, ia berucap tegas di depan suster.
"Gue kasih tahu lo, ya? Fino ngerasa nyaman sama gue. Lo nggak dengar dia malah mau tidur sama gue? Kalau memang metode pengajaran lo bagus? Nggak bakalan dia lari ke rumah gue dalam keadaan takut!"
"Bagaimana pun juga, kamu hanya tetangga. Semua keputusan ada di tangan Tuan Jayden."
Jayden berdehem, menghentikan perdebatan dua perempuan di depannya. Ia mengusap rambut sang anak dan bertanya lirih.
"Fino, mau sama mama?"
Fino mengangguk. "Iya, Papa."
"Baiklah, kita ajak mama masuk." Jayden tersenyum ke arah Summer. "Mama Summer, masuk saja sama Fino."
Fino melompat turun dari gendongan papanya. Meraih tangan Summer dan menyeret masuk. "Asyik! Ayo, Mama."
Summer tidak berdaya, mengikuti langkah Fino dan melemparkan tatapan tajam pada si suster sebelum hilang ke dalam rumah. Tersisa si suster yang terperangah, mengawasi punggung Summer lalu mendongak ke arah Jayden.
"Pak, bukankah dalam kontrak tertera kalau Anda seorang single parent?"
Jayden mengangguk. "Benar."
"Kalau begitu, siapa perempuan tadi? Bukankah dia hanya tetangga."
"Benar juga."
"Kenapa diperbolehkan masuk dan bergaul dengan anak-anak? Apa Anda tidak tahu kalau—"
Jayden mengangkat tangan, menghentikan perkataan si suster. "Suster, tugasmu di sini hanya mengasuh anak-anakku, tidak untuk mengomentari apalagi mengatur dengan siapa anak-anakku bergaul. Sebelum kamu datang, Fino sudah akrab dengan Summer."
"Tapi, Tuan. Yang saya lakukan untuk kebaikan anak-anak. Kalau terlalu dimanja oleh perempuan itu, saya takut jadinya akan lain."
Jayden tersenyum, melangkah melewati samping si suster. "Aku lebih tahu apa yang dibutuhkan anak-anakku dari pada siapa pun. Tidak terkecuali kamu. Tugas utamamu hanya menjaga mereka, bukan mengatur hidup anak-anak. Camkan itu, Suster!"
Si suster merasa amat marah, baru pertama kali ia merasakan penghinaan seperti ini. Sudah hampir 20 tahun ia bekerja, dan tidak pernah sekalipun bermasalah dengan majikan. Kali ini, bukan majikan yang membuatnya kesal melainkan tetangga.
Masuk ke rumah, ia melangkah ke kamarnya. Melewati Yanti yang sedang duduk di dekat dapur menonton TV. Ia diam saat si pengurus rumah tersenyum padanya. Derajatnya lebih tinggi, tidak selayaknya bergaul apalagi menonton TV bersama pembantu.
Merogoh ponsel, ia menelepon nyonya besar yang memberinya kesempatan bekerja di sini. Ia yakin, kalau si nyonya belum tahu ada perempuan lain di sini. Panggilan diangkat pada dering ketiga. Memasang wajah tersenyum, ia menyapa.
"Selamat malam, Nyonya. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Bukan tentang anak-anak tapi hal lain."
**
Summer membantu Fino mencuci kaki, tangan, lalu muka. Tidak lupa mengganti pakaian. Jam delapan malam belum waktunya tidur, tapi anak itu seakan-akan tidak mau lepas dari Summer. Memeluk erat Summer sambil berbaring di ranjang.
Summer hanya merangkul sambil mengusap rambut Fino, tidak mengerti apa yang telah dialami anak ini sampai begitu ketakutan untuk ditinggal sendiri. Ia berniat bicara dengan Jayden, kalau Fino sudah tenang.
"Sayang, kamu lapar nggak?" Saat bertanya begitu, perut Summer berkriuk. Ia teringat nasi gorengnya yang tergeletak di meja dan belum tersentuh.
"Nggak, Mama."
Suara Fino teredam lengan Summer. Anak itu makin mempererat pelukannya.
"Bagaimana kalau mama bacain dongeng? Mau?
Sejujurnya, Summer merasa malu menyebut dirinya sendiri 'mama' tapi sudah terlanjur. Lagi pula, semua ia lakukan demi Fino semata. Bukan hal lain.
"Mau."
"Tunggu, di mana buku dongengmu?"
Tangan mungil Fino menunjuk rak buku mungil di samping meja. Summer melepaskan pelukan Fino dan bergegas mengambil buku cerita. Ia kembali berbaring di samping anak itu dan mulai membaca.
Beruang dan Madu
Suatu hari, seekor beruang tengah menjelajahi hutan untuk mencari buah-buahan. Di tengah pencarian, ia menemukan pohon tumbang di mana terdapat sarang lebah menyimpan madu.
Summer membaca dengan perlahan, sementara Fino yang awalnya terjaga, makin lama makin mengantuk. Mata anak itu bergetar menutup pada saat Summer hampir menyelesaikan ceritanya.
Ia mengusap rambut Fino, turun ke bahu dan menepuk perlahan punggung anak itu. Perasaan aneh menyelusup dalam dirinya. Seumur hidup, ia tidak pernah dekat dengan anak kecil mana pun. Tidak tertarik untuk berdekatan apalagi mengasuh anak, tapi Fino memberikan hal yang berbeda untuknya. Fino masuk ke hidupnya dengan tersenyum, menyentuh hatinya yang terdalam dan menumbuhkan perasaan sayang. Summer mengecup kening anak itu, membisikkan ucapan selamat malam.
Ia bangkit dari ranjang, menyelimuti tubuh Fino dan menyambar barang-barangnya, termasuk nasi goreng. Summer berniat langsung pulang untuk makan, teringat pula rumahnya yang kotor dan belum dibersihkan. Saat membuka pintu, ia dibuat tertegun.
"Pak, ada apa?"
Jayden berdiri menatapnya. Laki-laki itu sudah mengganti setelan kerjanya dengan kaos dan celana katun.
"Fino sudah tidur?"
Summer mengangguk. "Sudah, Pak. Ehm, saya pamit pulang."
"Jangan, Bi Yanti sudah menyiapkan makan malam untuk kita."
"Tapi—"
"Summer, jangan menolak. Kasihan Bi Yanti masak dan nggak ada yang makan."
Summer mengusap perutnya yang berasa lapar. Mengangguk kecil dan mengikuti langkah Jayden ke ruang makan. Di sana sudah ada Fifi dan gadis kecil itu duduk diam dengan pose tegak.
"Ayo, duduk." Jayden menarik kursi untuk Summer.
Summer menatap hidangan melimpah di meja, sayangnya nafsu makannya justru tidak tergugah.
"Kamu pulang kerja langsung kemari?" Jayden membuka percakapan.
"Iya, Pak. Kaget karena ada Fino di depan pagar. Untung saya pulang cepat, kalau nggak—"
Jayden menatap Fifi. "Kakak, apa yang terjadi sama adikmu? Kenapa malam-malam dia keluar?"
Fifi yang sedang menyuap, meletakkan sendoknya dan menunduk. "Adik bandel, Papa. Suster marah."
"Bandel kenapa?"
"Nggak tahu, adik nangis-nangis. Nggak mau belajar, nggak mau dengerin dongeng, maunya keluar."
Jayden mengernyit. "Apa Fino sakit?"
Summer menggeleng. "Bukan, dia hanya ngantuk dan capek. Makanya rewel."
"Bukankah suster harusnya tahu kondisi anak?"
"Ah, kurang tahu."
Summer menutup mulut, tidak mau ikut campur dengan cara Jayden mendidik anak. Meskipun ia tidak suka dengan si suster, tapi bukan kapasitasnya untuk mengomentari. Biarlah itu menjadi urusan Jayden dan anaknya.
"Kakak, selesai makan mau ngapain?" tanya Jayden pada anaknya yang sedang minum.
"Belajar, Pa," jawab Fifi.
"Bukannya biasa bikin PR saat siang?"
"Iya, Papa. Ini untuk ujian."
"Baiklah, papa ngerti."
Fifi bangkit dari kursi lebih dulu, meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Tertinggal Jayden dan Summer yang sekarang berpindah ke teras depan. Rupanya, Jayden sedang ingin ditemani mengobrol dan Summer tidak enak untuk menolak.
"Selesai makan, kamu nggak mau merokok?"
Summer hampir menjatuhkan tasnya saat mendengar perkataan Jayden. "Eh, memang boleh, Pak?"
"Boleh saja, kenapa nggak? Toh, kita di luar dan nggak ada anak-anak."
Summer menggigit bibir, tercabik antara ingin merokok dan menjaga image. Akhirnya, ia kalah dengan kebutuhannya. Merogoh rokok dalam tas, ia menyulut api dan mengisapnya. Aroma tembakau menguar di udara.
"Pak Jayden nggak merokok?" tanya Summer.
Jayden tersenyum. "Sesekali, kalau sedang menemani klien. Hari-hari biasa sangat jarang."
"Wow, gaya hidup yang sehat."
"Harus itu, Summer. Demi kamu."
Summer mendongak. "Kok demi saya?"
"Iya, kalau badanku sehat, sudah pasti akan membuatmu bangga."
"Maksudnya, Pak?" Ia bertanya kebingungan.
"Summer, kamu mamanya Fino. Aku, papanya Fino. Bukankah papa yang sehat akan membuat mama senang?"
Summer tersedak rokok, sedangkan Jayden tertawa keras. Mereka tidak menyadari ada seseorang yang sedang memfoto dari balik gorden yang tersingkap. Mengabadikan setiap tindakan Summer dan Jayden dari kegelapan.
**
Obrolan Hati
Fino: Mamaa ... Mamaa. Mau peluk Mama. (Puk-puk-puk, Fino lagi ngigau)
Fifi: Sebenarnya, aku capek belajar terus. Tapi, suster baru itu beneran bikin kesel -__-
Jayden: Baru kali ini aku lihat seorang perempuan yang sedang merokok itu sexy. Bibirnya ... ehm. (Kontrol pikiran, Bang! Dosa lo, bulan puasa!)
Summer: Tubuh papa yang sehat untuk membuat mama bahagia? Apa itu artinya? Aduuh. (Dalam bayangan Summer ada gambaran ranjang, bunga-bunga, dan Jayden polos tanpa pakaian. Ini berdua sama aja, piktor!)
Suster kejam: Kalian, mau mesra-mesraan di rumah ini? Nggak bisa, Saaay! (Dasar cepu!)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro