Bab 4
Sesekali makan santai sambil mengobrol, bagi Summer yang jarang sekali ada di rumah saat begini, ternyata menyenangkan. Matahari tenggelam, digantikan sepenuhnya oleh gulita malam. Lampu-lampu mulai dinyalakan, untuk menerangi teras tempat mereka berkumpul.
Fifi dan Fino main kartu di meja samping, tertinggal Jayden mengobrol dengan Summer, yang terus-menerus memegang perut karena kekenyangan.
"Pak, udah cari pengasuh baru?"
Jayden menggeleng. "Belum, masih mikir mau pakai pengasuh atau nggak."
"Lah, nanti nggak keurus anak-anak."
"Ada kamu."
Summer mendengkus. "Pak, saya bukan babysitter."
"Benar juga, kamu mamanya Fino."
"Pak ...."
"Iya."
"Saya, Summer."
Jayden menelengkan kepala, menatap Summer dengan tatapan intens. "Ah, bukan Selena Gomez? Dengan rambut barumu, kamu secantik dia."
"Terima kasih, tapi saya nggak akan muji kamu seperti Justin. Karena memang beda."
Jayden tertawa terbahak-bahak, bangkit dari tempat duduk dan pamit menyingkir untuk menerima telepon.
Summer mengipasi wajahnya yang panas karena rayuan Jayden. Ia tak habis pikir, baru bertemu beberapa hari sudah dipuji habis-habisan oleh Jayden. Apakah laki-laki itu memang biasa semanis ini mulutnya? Bayangkan gadis-gadis lugu yang baru pertama mengenal cinta, pasti akan kelepek-kelepek mendengar rayuan Jayden. Summer pun mengakui kalau hatinya juga tergetar.
Ia mendesah, seandainya saja bisa punya pasangan seperti Jayden, hidup pasti lebih menyenangkan. Sayangnya, ia tidak tertarik dengan laki-laki yang berorientasi pernikahan. Tidak ingin terikat dengan sesuatu yang membuatnya harus egois. Karena itulah yang diajarkan ibunya, kalau menikah dan jadi istri orang, maka keluarga yang utama. Summer tidak akan pernah menjadi dirinya sendiri kalau menikah dan itu menakutkan.
"Ehm ...."
Summer menoleh, menatap Fifi yang berpindah duduk ke sampignya. Gadis kecil itu menatap tajam dengan binar penuh tuduhan. Si kecil Fino entah ke mana.
"Aku kurang suka sama cewek-cewek yang deket sama papa."
Ucapan Fifi membuat Summer mengangkat sebelah alis. "Kenapa?"
"Mereka sok baik kalau depan papa, suka muji kami, anak baiklah, anak pintarlah. Tapi, pas papa pergi mereka asyik sama hape. Adik Fino haus pingin minum aja nggak digubris."
"Begitu." Summer mengangguk. "Kasihan sekali kalian."
Fifi menyipit. "Cewek-cewek itu juga suka dandan."
"Well, itu normal. Aku pun suka."
"Mereka juga pakai baju sexy-sexy."
"Itu wajar juga, namanya juga cewek. Tapii, satu hal yang kamu harus tahu, Fifi." Summer menatap Fifi dengan intens, memberi penekanan pada setiap kata. "Aku, nggak ada hubungan apa-apa sama papamu. Nggak pingin jadi pengganti mama kalian juga. Nggak usah khawatir." Ia memelankan suara. "Aku sudah naksir cowok, tapi bukan papamu."
Fifi terdiam, menatap Summer yang kini mengibaskan rambut ke belakang. Sebenarnya, ia sangat menyukai warna baru rambut perempuan itu, tapi ia harus menjaga harga dirinya.
"Mama Summel!"
Fino berteriak, memegang gelas berisi jus. Summer melotot saat melihat cairan di lantai dekat panggangan. Benar dugaannya, Fino terpeleset dan nyaris jatuh kalau bukan karena dirinya yang bergerak cepat dan menyambar tubuh bocah itu.
"Aduuh!" Dengan Fino dalam dekapannya, Summer tergeletak di lantai. Ujung kakinya menyenggol panggangan dan benda itu jatuh dengan suara nyaring.
"Summer! Finoo!"
Jayden berlari mendatangi mereka, mengangkat Fino dari dekapan Summer dan membantu perempuan itu berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?"
Summer mengangguk, sedikit meringis karena sepertinya kakinya keseleo. Ia menyumpah dalam hati, karena selalu terjatuh setiap kali dekat Fino.
"Ada yang luka?" Jayden membantunya berdiri.
"Nggak ada, Pak. Keseleo dikit."
"Mana ada keseleo itu dikit. Duduk, biar dipijat Bi Yanti."
"Tapi—"
"Duduk aja. Aku nggak bisa pijit tapi Bi Yanti, bisa."
Yanti datang membawa minyak untuk dibalurkan ke kaki Summer. Ia melakukan itu sambil meminta maaf karena tidak bersih dalam mengepel. Summer tersenyum, mengatakan kalau dirinya baik-baik saja.
"Aku antar pulang." Jayden meraih lengan Summer dan membimbingnya.
"Nggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri."
"Summer, kamu terluka karena anakku. Biarkan aku jadi papa yang bertanggung jawab."
Summer mengangkat bahu, menyerah pada keinginan Jayden. Ia mengusap rambut Fino yang sedang menangis karena melihatnya kesakitan.
"Fino, anak baik. Jangan nangis."
"Mamaaa ...."
"Besok kita ketemu lagi. Aku pulang dulu."
"Jalan pelan-pelan."
Fifi terdiam, dengan Fino dalam rangkulannya. Menatap Summer yang melangkah tertatih dibimbing sang papa. Hatinya sedikit berubah, tapi belum siap untuk melembut.
"Pak, sudah. Sampai sini aja, saya bisa sendiri."
"Aku antar sampai rumah."
"Paak, rumah saya kecil."
"Memangnya kenapa? Aku nggak mau jual rumahmu."
Summer merasa capek berdebat dengan Jayden karena ujung-ujungnya dia juga yang kalah. Ia membiarkan laki-laki itu menyangga tubuhnya, membantu membuka pagar dan pintu.
"Maaf, kecil rumahnya."
Jayden tersenyum, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang mungil. Tidak banyak perabot di sini karena Summer memang tidak berniat tinggal selamanya di sini.
"Kamu sewa di sini?"
Summer mengangguk. "Iya, Pak."
"Rumah yang cantik."
"Dari dulu sudah begini."
"Boleh aku minta nomor ponselmu, Summer."
"Eh, untuk apa, Pak?"
"Mengecek keadaanmu. Mungkin saja kamu butuh bantuan."
Summer menyebutkan angka-angka dan Jayden mencatat di ponselnya. Ia menatap Summer yang duduk di kursi, mengamati bagaimana perempuan itu terlihat tidak nyaman. Bisa jadi kehadirannya di sini, memang dianggap pengganggu.
"Summer, terima kasih sekali lagi sudah menolong anakku."
Summer mendongak, pandangan mereka bertemu dan ia tersenyum. "Pak, itu reflek saja."
"Reflekmu bagus. Semoga, suatu hari nanti kalau hatiku yang jatuh, reflekmu sebagus sekarang. Selamat malam, Summer."
Jayden pergi dengan menyisakan tanda tanya di benak Summer. Tentang reflek dan hati yang jatuh. Ia merasa, makin sering bicara dengan jayden makin bingung dibuatnya. Laki-laki itu kadang terlalu berterus terang hingga membuatnya sering tercengang.
**
Setelah memastikan anak-anaknya sekolah, dan menelepon Summer untuk memastikan keadaan perempuan itu baik-baik saja, Jayden berangkat ke kantor agak telat. Fino rewel, ingin bertemu Summer dan nyaris mogok sekolah, untunglah ia bisa menenangkan. Jayden berpikir untuk secepatnya mencari baby sitter baru agar anak-anaknya ada yang menjaga.
Tiba di halaman kantor, ia turun dari jok belakang dan sopir membawa kendaraan ke parkiran. Berhenti di tangga karena ada yang menelepon. Tidak menyadari bisik-bisik dari beberapa pegawai yang melihatnya.
"Pak Jayden tampan, sayangnya galak." Seorang gadis berambut pendek berbisik pada temannya.
"Iya, ih. Kata orang-orang dia kalau marah bikin takut." Si teman mengangguk.
"Denger-denger, dia nggak segan-segan pecat orang kalau salah."
"Pantas aja duda lama. Pada takut cewek yang mau deketin."
Mereka tidak salah, di perusahaan memang Jayden terkenal sebagai boss yang angkuh, dingin, dan galak. Ketegasannya membuat banyak orang enggan mendekat. Selain itu, Jayden juga terkenal kejam pada anak buah. Banyak kabar yang beredar kalau laki-laki itu tanpa sungkan akan menghabisi siapapun yang menghalangi langkah, yang tidak selaras dengan jalan pikirannya, ataupun yang membuatnya merasa tidak nyaman. Bagi kebanyakan pegawai, sosok Jayden ibarat setan dari neraka.
"Selamat pagi, Pak."
Seorang laki-laki berambut klimis dengan jas abu-abu menghampiri Jayden dan menyapa ramah.
"Rexi, kamu sudah memeriksa jadwalku?"
Rexi mengangguk. "Sudah, Pak. Tidak ada rapat hari ini."
"Bagus. Bagaimana dengan pertemuan untuk investor baru?"
"Mungkin lusa. Mereka memerlukan perpanjangan waktu untuk meninjau."
Jayden mengangguk, melangkah beriringan melewati lobi bersama sekretarisnya. Orang-orang yang berpapasan menyingkir, tidak ingin berada dalam jarak pandang Jayden. Mereka takut akan mendapat masalah kalau tanpa sengaja membuat laki-laki itu marah atau tidak senang.
"Kopi, Pak?" tanya Rexi.
Jayden menggeleng. "Nanti dulu. Kamu bantu aku mencari baby sitter untuk anakku. Yang terakhir aku pecat. Cari dari agen lain."
Rexi mengangguk. "Baik, Pak."
Jayden sedang membaca laporan saat menerima panggilan di ponsel. Ia menghela napas panjang, saat membaca nama penelepon.
"Iya, Ma."
"Jayden, dengar dari Bi Yanti, kamu pecat babysitter lagi?"
"Benar."
"Ckckck, ini yang keberapa, Jayden? Sepertinya setiap bulan kamu ganti orang."
"Terpaksa, Ma. Nggak ada satu pun yang benar."
Hening sesaat, lalu kembali terdengar suara. "Nggak usah cari baby sitter baru. Mama punya kenalan, dan dijamin pasti bagus kerjanya."
"Ma, nggak usah repot-repot."
"Jangan membantah, ini demi kebaikan cucu-cucuku."
Jayden menghela napas. "Baiklah, Ma."
"Satu lagi, kamu ingat Sandriana? Sepupu Tiara? Yang tinggal di Inggris?"
Jayden berusaha mengingat tentang nama yang disebutkan mertua perempuannya. Nama itu terdengar tidak asing tapi lupa dimana bertemu.
"Ma, aku lupa."
"Sudahlah, Minggu depan dia akan pulang. Nanti kamu ajak anak-anak untuk makan bersama."
"Baik, Ma."
Jayden mengakhiri panggilan dengan mertuanya dengan kepala berdenyut sakit. Dari dulu, mertuanya memang suka sekali memerintah dengan alasan untuk kebaikan bersama. Padahal, banyak hal yang kini tak sesuai dengan keinginannya. Ia tidak membantah karena menghormati orang tua.
"Pak, sudah dapat babysitter baru. Mau kerja mulai kapan?" Rexi memberi kabar.
Jayden melambaikan tangan. "Nggak jadi, batalkan saja. Mertuaku sudah dapat baby sitter baru."
"Baik, Pak."
"Kopi Rexi, aku sedang butuh penyegaran."
Ternyata, meskipun sekretarisnya mengatakan tidak ada rapat, tamu yang datang tidak sedikit, dari mulai supplierbarang sampai beberapa orang yang mengajak kerja sama. Belum lagi diselingi dengan telepon dari anak-anaknya, Jayden merasa hari ini berlalu sangat padat.
Satu pegawai, mengimput data penjualan yang salah. Membuat Jayden malu pada tamunya karena memberikan data yang salah. Saat si tamu pulang, Jayden pergi ke ruangan pegawai. Ia menunjuk perempuan itu dengan tatapan dingin.
"Ini hari terakhir kamu kerja!"
Jayden tidak peduli, meski pegawai itu menangis. Berbuat kesalahan harus berani bertanggung jawab dan ia orang yang tidak suka berbasa-basi apalagi bersikap manis.
**
"Lo kenapa, sih? Perasaan jadi sering jatuh?"
Hayu bertanya pada Summer yang meringis kesakitan. Salon tidak terlalu ramai hari ini, ada kesempatan bagi Summer untuk beristirahat. Kakinya yang keseleo, meskipun tidak terlalu menyakitkan tetap saja nyeri.
"Namanya juga emak-emak. Kalau nggak luka karena anak, apalagi?"
"Siapa yang punya anak?"
"Gue."
"Kapan adopsi lo?"
"Baru beberapa hari lalu. Adopsi anak, bonus bapak."
"Ngaco!"
Summer tersenyum, mengisap rokoknya. Teman-temannya tidak ada yang percaya kalau ia sudah punya anak karena belum pernah bertemu Fino. Bocah laki-laki yang menggemaskan itu, membuntutinya ke mana-mana dan memanggil 'mama' dengan nada yang manja. Summer sendiri, tidak kuasa menolak pesona Fino.
Bisa dikatakan, ia tidak terlalu menyukai anak kecil. Bukan benci juga, hanya tidak terbiasa. Fino bisa dikatakan berbeda, di hari ia menolong bocah itu saat hampir terserempet motor, hatinya sudah terpikat. Kenyataan kalau ternyata Fino punya papa yang luar biasa tampan, anggap saja sebagai bonus.
Ponsel berdering, Summer mengangkat tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Halo."
"Summer."
Suara bariton Jayden membuat Summer tersentak dan tersedak asap rokok. Ia batuk-batuk tak berhenti.
"Summer, ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, Pak. Kaget aja."
"Baru juga telepon, kamu sudah kaget. Bagaimana kalau aku melamarmu?"
Summer merintih dalam hati. "Pak Jayden."
"Iya, Summer."
"Telepon ada apa?"
"Sore nanti aku akan menjemputmu pulang. Berikan alamat salonmu."
"Pak, nggak usah."
"Kakimu sakit.
"Memang, tapi saya nggak mau merepotkan."
"Nggak ada yang repot. Berikan alamatmu sekarang dan tunggu aku jemput kamu."
Jayden memutuskan sambungan tanpa memberinya kesempatan untuk menolak. Dengan terpaksa Summer memberikan alamat salonnya. Ia tahu, maksud laki-laki itu baik, tetapi tetap saja membuatnya kikuk.
Summer berpikir, sepertinya sudah lama sekali seseorang tidak memperlakukannya dengan baik, seperti Jayden. Setelah perpisahan orang tuanya, ia dipaksa hidup sendiri, mandiri, dan tidak mengharapkan belas kasihan orang lain. Ia menolak setiap perhatian yang diberikan untuknya, karena menganggap semua itu ada pamrihnya. Hingga lama kelamaan, ia tidak ada kedekatan dengan orang lain.
Pintu menjeplak terbuka, Purnama menyerbu masuk. "Summer, ada saudara lo datang!"
Summer bangkit dari kursi. "Shit! Kok dia bisa masuk?"
"Lagi pada sibuk, dia nyelonong aja."
"Dasar resek!"
"Siapa yang lo bilang resek?"
April muncul dalam balutan kaos dan celana panjang. Gadis itu berkacak pinggang di pintu, menatap galak bergantian pada Purnama dan Summer.
"Udah gue bilang, mau ke ujung dunia juga bakalan gue kejar lo!"
Summer mendengkus, memberi tanda pada Purnama untuk pergi. "Cinta banget lo sama gue, sampai ke mana-mana harus ngikut?"
"GR banget lo! Gue cuma mau sampein pesen mama kalau rumah itu—"
"Bakalan jadi rebutan! Yap, gue paham," sela Summer keras.
"Nah, lo paham. Minggu depan bakalan ada pengacara yang hubungi lo."
Summer mengangkat sebelah alis. "Trus?"
April tersenyum sinis. "Kita lihat, apa lo masih bisa ketawa kayak gini kalau kalah di pengadilan."
Summer menghela napas panjang, menatap saudara tirinya. Ia merasa heran, karena meski berbagi darah dari seorang ayah yang sama tapi sifat mereka sangat berbeda satu sama lain. Ia ingat, dari kecil sudah tidak akur dengan mereka. Ibu tiri dan anak-anaknya selalu berusaha untuk menindasnya. Semua soal rumah yang menjadi akar masalah.
Bangkit dari kursi, Summer berdiri menantang di depan April. "Lo jual gue beli!"
"Sombong! Suatu saat nanti, pasti lo bakalan nyesel udah nentang kita!"
"Gue bakalan lebih nyesel kalau nurut gitu aja dikibulin sama kalian!"
April berdecak, membalikkan tubuh dan keluar dari salon tanpa pamit. Summer menatap punggung gadis itu hingga menghilang ke balik pintu. Matanya bertemu dengan tatapan khawatir teman-temannya. Ia menggeleng, memberi tanda pada mereka kalau dirinya baik-baik saja. Secara fisik ia memang sehat tapi jiwanya sakit karena amarah.
Jayden menelepon saat tiba di gerbang ruko. Ia sengaja meminta laki-laki itu tidak usah masuk ke area ruko tapi tidak diindahkan.
"Aku tunggu kamu di halaman parkir."
Jayden mengirim pesan. Summer menyambar tas dan berpamitan pada teman-temannya. Ia mencari mobil Audi SUV milik Jayden dan menemukannya tak jauh dari depan salon.
"Pak, repot-repot aja," ucap Summer sambil tersenyum saat Jayden turun dan membantunya membuka pintu. Tindakan laki-laki itu sangat menyentuh hatinya.
"Santai saja, Summer."
Jayden membawa kendaraan keluar dari halaman parkir, tidak menyadari tatapan teman-teman Summer dari pintu salon. Mereka penasaran, siapa yang menjemput Summer dan kaget saat melihat Jayden. Meski dari kejauhan tetap saja sosok Jayden yang tinggi dan tampan, sangat menonjol. Purnama setuju, akan menginterogasi Summer saat kerja besok.
"Bagaimana kakimu?"
"Udah mendingan, Pak."
"Perlu ke dokter?"
"Nggak, ih. Paling baluri minyak aja."
"Yakin?"
"Iya, Pak."
Mereka berhenti bercakap-cakap saat kendaraan mencapai lampu merah. Laju mobil melambat dan berhenti bersama kendaraan yang lain. Jam pulang kerja, jalanan padat oleh kendaraan.
Summer merasa sangat santai. Biasanya ia pulang kerja menaiki ojek, tapi hari ini berbeda. Naik mobil mewah, bersama laki-laki tampan yang menjemputnya, adalah kebanggaan tersendiri.
"Apa Fino hari ini meneleponmu?" tanya Jayden, menoleh pada Summer yang menyandarkan kepala pada kursi.
"Sepertinya tiga kali," jawab Summer.
"Kamu nggak terganggu?"
"Nggak, sih, Pak. Biasa aja. Kami mengobrol juga nggak lama. Sepertinya anak itu merasa kesepian, mungkin karena di rumah hanya ada kakaknya."
Jayden mengangguk. "Memang, Fifi juga nggak bisa nemenin adiknya setiap saat. Wajar kalau Fino kesepian."
"Sudah mencari baby sitter baru?"
"Sudah, mertuaku yang mendapatkan."
Summer tersenyum mendengar kata 'mertua', rupanya hubungan Jayden dengan keluarga almarhumah istrinya masih baik. Meskipun sang istri sudah meninggal tapi Jayden masih menjalin hubungan kekeluargaan dengan mertuanya. Tidak banyak orang yang bisa melakukan itu, karena biasanya setelah salah satu pasangan tiada, maka hubungan keluarga akan merenggang.
"Mau makan sesuatu sebelum pulang?"
"Nggak, Pak. Kasihan Fino."
"Benar juga, lebih baik kita makan di rumahku."
"Eh, apa nggak ngrepotin."
"Nggak, sih, harusnya. Kamu suka masakan apa? Atau kamu mau masak?"
"Satu-satunya yang saya bisa cuma bikin nasi goreng."
"Bagus itu! Malam ini, kita makan nasi goreng."
Belum sempat Summer menyanggah perkataan, Jayden menelepon Yanti dan mengatakan pada perempuan itu untuk tidak memasak. Cukup menyiapkan nasi putih dan bumbu-bumbu yang diperlukan.
Summer menghela napas panjang, mengacak rambut dan berpikir, kalau selalu kalah dalam setiap obrolan dengan Jayden. Laki-laki itu bisa memaksa tanpa terlalu kentara. Kalau menginginkan sesuatu, bisa sangat mendesak hingga lawan tak ada kesempatan untuk mengelak. Itu yang sekarang sedang terjadi padanya.
Tiba di rumah, mereka disambut oleh teriakan nyaring Fino. Bocah itu tertawa gembira melihat Summer. Fifi, seperti biasa memasang wajah cemberut dan tak peduli. Summer merasa geli dengan diri sendiri, karena apa yang terlihat sekarang seperti pasangan suami istri pulang kerja dan disambut anak-anak mereka.
Setelah mencuci tangan Summer bergegas ke dapur untuk memasak nasi goreng, dibantu Yanti. Nasi goreng sederhana dengan telur dan bumbu seadanya. Summer menambahkan sosis goreng, telur ceplok, dan kerupuk untuk pelengkap.
Saat dihidangkan ke meja, yang pertama kali berteriak enak adalah Fino. Bocah itu seperti supporter utama Summer.
"Mama, enaaak!"
"Pintar! Mamam sendiri, jangan disuapin, ya?"
"Iya, Mama."
Fifi makan meskipun terlihat enggan awalnya. Pada akhirnya satu piring tandas tak tersisa, begitu pula Jayden.
"Masakanmu enak," puji Jayden.
Summer tersenyum, menepuk dada dengan bangga. "Iya, dong. Siapa dulu orangnya."
"Mamanya Fino."
Keduanya berpandangan lalu bertukar senyum. Begitulah, kebersamaan malam itu diawali dengan sepiring nasi goreng dan diakhiri dengan Summer yang kelelahan tertidur di sofa ruang tengah. Tidak ada yang membangunkannya. Fino bahkan mengambil selimut untuk menutupi tubuh Summer.
"Gud nite, Mama."
Bocah itu mengecup kening Summer, di bawah tatapan sang papa yang tidak terbaca.
**
Obrolan hati
Fifi: Perempuan itu tidur di sini lagi. Yang senang nggak cuma Fino tapi juga Papa. Aneh, apa, sih menariknya perempuan itu? Kecuali, rambutnya yang bagus. Yah, rambutnya emang keren.
Fino: Mama, Fino sayang ^o^
Summer: Aku di mana? Ngantuk banget. Kenapa hangat? (Kembali tertidur dan tidak menyadari sebuah kecupan mendarat di dahinya)
Jayden: Tidur yang nyenyak, Summer. Barangkali, esok akan jadi hari yang berat untukmu. (Merasa puas pada diri sendiri setelah mencuri satu kecupan)
Pegawai kantor yang terpecat: Dasar duda kejam! Nggak berperasaan. Pantas saja nggak ada perempuan yang mau jadi istrinya. Aku kutuk jadi duda selamanya! Biar mampus!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro