Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Beberapa hari yang lalu ....

Pada suatu hari, Andi yang marah dengan ibunya, menangis dan pergi dari rumah saat hujan. Dia terjatuh, kakinya luka dan hampir terserempet motor. Tangis Andi makin menjadi karena takut. Untunglah, ibunya datang. Membawa payung dan menghiburnya.

"Sudah, Anak tampan. Jangan menangis, ada ibu di sini."

Bukan hanya itu, sang ibu juga bicara dengan pengendara motor yang galak. Andi merasa tenang karena ada ibunya. Dia menyesal, sudah nakal dan membuat ibunya sedih. Padahal, ibunya baik, selalu punya payung kalau Andi kehujanan dan membelanya saat orang lain marah.

Andi sayang sama ibunya dan berjanji akan menjadi anak yang baik.

**

Fifi menutup buku cerita bergambar yang baru saja dibacakan untuk adiknya. Ia tersenyum saat sang adik mengernyit dan terlihat tidak puas. Sikap adiknya sangat menggemaskan.

"Kenapa? Fino nggak puas?"

Fino menggeleng. "Kak, ibu itu mama?"

"Iya, ibu itu mama."

"Mama ngasih payung saat hujan?"

"Benar."

"Malahin olang juga?"

Fifi terdiam lalu mengangguk. "Ibu marah demi membela anak."

"Gendong Fino juga?"

"Iya, memangnya Fino kenapa minta digendong?"

"Kalau jatuh dan sakit."

Wajah Fino yang mungil menatap kakaknya dengan pandangan bertanya-tanya. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan tapi tidak tahu harus bicara seperti apa.

Fifi sendiri kangen dengan keberadaan seorang mama. Sayangnya, ia tidak bisa membantu karena mama mereka sudah meninggal saat melahirkan Fino. Adiknya tidak akan mengerti tentang itu.

"Fino, tunggu di sini. Jangan ke mana-mana, kakak mau ke kamar mandi."

Fino mengangguk, menatap kepergian kakaknya. Ia duduk dengan kaki menggantung di kursi. Menatap sekeliling teras yang sepi. Satpam entah pergi ke mana. Tidak ada orang lain, dan langit mulai gerimis. Fino bangkit dari kursi, menyeberangi halaman luas dengan kaki kecilnya dan keluar dari rumah melalui pagar yang sedikit terbuka.

**

Summer melangkah cepat dengan payung di tangan. Jalanan basah dengan motor yang melaju agak cepat, sesekali mencipratinya dengan air. Ia memaki mereka, tak jarang sambil berteriak karena membuat pakaian dan tubuhnya kotor.

"Orang-orang nggak tahu diri, udah tahu lagi hujan malah naik motor kenceng-kenceng!"

Ia menggumam, sedikit menarik ujung roknya ke atas agar tidak terkena air. Ia baru pindah ke perumahan ini selama seminggu, dan dibuat bingung dengan jalanannya yang rusak. Padahal, area dalam komplek terhitung rapi.

Rumah yang ia sewa memang tidak terlalu mahal. Dengan dua kamar tidur, dapur, kamar mandi, dan ruang tamu, ia membayar cukup murah untuk rumah itu, karena pemiliknya adalah teman kuliahnya dulu. Sang teman mengatakan daripada rumah rusak, lebih bagus kalau ada yang menghuni. Tanpa banyak kata, Summer setuju. Lagi pula, keadaannya terdesak. Mau tidak mau ia harus pergi dari rumah yang selama ini ia tinggali.

Awalnya, ia kaget saat tahu rumah yang akan ditinggali berada di kawasan elit dan mewah. Namun, siapa sangka jalan masuk ke perumahan ternyata becek dan hancur. Bukan hanya sekali ia menemui kondisi jalanan depan komplek yang seperti ini. Di Jakarta rata-rata begitu. Para pengembang hanya membangun jalan untuk komplek, tidak mau repot-repot dengan jalanan umum yang dianggap sebagai kewajiban pemerintah untuk memperbaiki.

Napas Summer tersengal karena berjalan jauh. Menyesal tidak bisa naik motor dan sekarang merasa kesulitan. Dua blok berhasil ia lewati dan saat di belokan terakhir langkahnya terhenti. Seorang pengendara motor sedang memaki seorang anak kecil yang menangis di pinggir jalan. Entah apa yang terjadi dan ia tidak menyukainya.

"Bocil, hujan-hujan, tuh, di rumah. Bukannya di jalanan dan bikin repot!"

Summer menyeberangi jalan, menghampiri anak kecil itu dan menutupi tubuh bocah yang basah dengan payung dan berjongkok di hadapannya.

"Adik kecil? Kamu nggak apa-apa?"

Anak itu mendongak, wajahnya basah dan penuh lumpur. Mendadak, anak itu berteriak keras sambil menangis. "Mamaaa!"

Summer hampir terjengkang, saat dirinya dipeluk erat. Pikirannya kacau karena seorang anak tak dikenal memanggilnya mama.

"Eh, tunggu. Kamu siapa?" tanyanya bingung.

"Oh, ada mamanya. Bagaimana kerja lo jadi jadi orang tua, hah! Anak dibiarkan hujan-hujan. Lihat, nih, gue hampir jatuh karena menghindari anak itu!"

Summer tersadar, masih ada laki-laki itu di belakangnya. Ia menarik napas, berdiri dengan susah payah sementara anak kecil itu masih memegang erat kakinya. Ia berkacak pinggang, menatap laki-laki yang sekarang sedang menatap galak.

"Tadi lo bilang apa? Lo hampir jatuh?"

"Iye, mata lo bisa lihat gue lecet!"

Summer menyipit, menatap tajam pada motor si laki-laki. Ia mendekat, dan melihat kalau ban motor itu sudah gundul. Tidak heran kalau mudah jatuh. Ia terbiasa mengamati keadaan sebelum berucap tak kalah keras.

"Ada anak kecil jatuh. Lo bukannya bantu malah dimaki-maki. Sakit jiwa lo, ya?"

"Eh, Mama gila kayak lo, masih nyolot! Urus anak lo yang bener."

Summer yang kehilangan kesabaran, menutup payung. Membiarkan air membasahi tubuh dan bajunya. Ia menunjuk laki-laki itu dengan ujung payung dan kembali berteriak. "Jangan dikira, gue akan diam aja lo aniaya anak ini. Sini lo maju, gue gebok!" Ia mengayunkan payung dan berniat memukul laki-laki itu, sebelum akhirnya mendengar starter dinyalakan.

"Perempuan gila!"

Makian laki-laki itu masih sempat terdengar sebelum sosoknya menghilang. Summer menghela napas panjang, menunduk dan menatap anak laki-laki yang masih memeluk kakinya. Ia tersenyum, mengusap rambut anak itu.

"Teman kecil, di mana rumahmu?"

Anak itu menunjuk ke arah yang sama dengan rumahnya.

"Ayo, tante antar kamu pulang."

Anak itu mengangguk. "Mama ...."

"Tante, aku ini tante bukan mama."

"Nggak, kamu Mama."

Summer menghela napas, menyadari tidak ada gunanya berdebat dengan anak kecil. Dengan perlahan, ia melepaskan pegangan anak itu di kakinya dan mengembangkan payung. "Ayo, aku antar pulang."

Baru beberapa langkah, mereka terhenti. Summer menyadari kalau anak yang di gandengannya terluka, dan jalannya pincang. Ia memeriksa kaki dan mendapati ada banyak lecet di betis dan dengkul kanan. Menghela napas, ia berjongkok.

"Kakimu sakit?"

Si anak mengangguk. "Iyaa."

"Kasihan." Summer mengambil selembar tisu dari dalam tas yang dibawa dan mengusap lecet-lecet di tubuh anak itu. "Sampai rumah langsung pakai obat."

"Terima kasih, Mama."

Summer tersenyum kecut. "Ayo, naik punggungku. Kakimu luka."

Wajah anak itu tersenyum cerah, mengalungkan lengannya yang mungil ke leher Summer dan membiarkan dirinya digendong.

"Kasih tahu, di mana rumahmu."

"Di sana." Anak itu menunjuk arah depan.

"Kebetulan, rumah tante di sana juga. Rumahmu nomor berapa?"

"Dua belas."

"Hah, kita bertetangga. Rumahku nomor tiga belas."

Mendadak Summer teringat sesuatu dan menoleh. "Rumahmu yang pagar putih?"

Bocah itu mengangguk.

"Besar dan luas itu?"

Lagi-lagi si bocah mengangguk. Summer mengeluh dalam hati, bagaimana mungkin anak dari orang kaya bisa berkeliaran di jalanan saat hujan. Ke mana orang tuanya dan kenapa anak yang ada di punggungnya sekarang, memanggilnya mama. Kepalanya penuh dengan pertanyaan.

Dengan anak kecil di punggungnya, langkah Summer semakin melambat. Agak terengah karena hujan dan satu tangan memegang payung serta tas. Tangan lain berada di pinggul si bocah, memastikan anak itu tidak jatuh. Di dekat rumah besar itu, ia melihat perempuan, satu laki-laki dan seorang anak perempuan, berteriak di tengah hujan.

"Kakaaak!"

Saat mendengar teriakan si bocah, orang-orang di depan menghampiri Summer dan berucap histeris.

"Finooo, kamu ke mana aja, Sayang? Ditinggal sebentar malah hilang!"

Perempuan yang lebih tua menyambut mereka dan berniat menggendong anak kecil itu, sayangnya ditolak.

"Nggak mau, Fino mau sama mama." Ia meringkuk di punggung Summer dan membuat orang-orang yang melihat tercengang.

"Kalian keluarga anak ini?" tanya Summer.

"Aku kakaknya!" Si anak perempuan berteriak lantang. "Turunkan adikku!"

Summer tidak menyukai sikap si anak perempuan yang ketus dan tukang perintah. Perempuan yang lebih tua mendekat. "Maaf, Nona. Saya Yanti. Penjaga rumah ini. Karena Fino nggak mau turun, bisakah Nona mengantarnya ke dalam? Maaf, merepotkan."

Mendengar permintaan sopan dari perempuan itu, Summer mengangguk. Diikuti yang lain, ia masuk ke rumah besar dengan halaman cukup luas. Sesampainya di teras dengan sebuah sofa panjang dan beberapa kursi rotan, ia menurunkan anak dari punggungnya. Dibantu Yanti, mendudukkan anak itu ke sofa.

Summer tersenyum, mengusap rambut anak itu. "Namamu siapa, Sayang?"

"Fino."

"Fino anak baik, lain kali nggak boleh keluar lagi saat hujan atau juga sendirian, bahaya!"

Fino mengangguk. "Iya, Mama."

"Dia bukan mama kita, Fino!" Si anak perempuan berucap ketus, menarik lengan adiknya dan menatap galak pada Summer.

"Ups, nggak ada yang mau ambil adikmu jadi anak. Tenaaang." Summer berucap sambil tersenyum. "Aku masih terlalu muda buat jadi mama anak sebesar kalian. Daah, Fino. Sampai ketemu lain kali. Rumah tante di samping, nomor 13."

Summer membalikkan tubuh, melangkah ke halaman. Tugasnya sudah selesai. Namun, lengkingan dari belakang membuatnya menghela napas panjang.

"Mamaaa! Fino mau mama."

"Finoo, dia bukan mama kita. Dia orang lain."

"Mamaa!"

Sebuah tangan yang kecil kembali merangkul kakinya. Summer terdiam, menatap langit mendung dengan hujan yang telah berhenti. Di belakangnya, terdengar banyak bujukan dari orang-orang pada Fino, sayangnya anak kecil itu tidak mau melepaskan kakinya. Akhirnya, ia mengalah. Mencoba berpikir realistis kalau melakukan semua ini demi kemanusiaan. Fino sedang membutuhkan bantuan dan ia tidak mungkin tinggal diam.

"Baiklah, aku antarkan ke dalam. Fino mandi dan ganti baju, obati luka-lukanya."

Summer meraih tubuh anak itu dan menggendongnya masuk. Ia tidak menyangka kalau pertolongannya pada bocah yang hampir ditabrak motor, membawa banyak dampak dalam kehidupannya. Saat kakinya menginjak karpet ruang tamu, Summer tidak menyadari kalau nasib dan takdirnya sudah ditentukan.

Setelah hari itu, Fino benar-benar menganggapnya seorang mama. Anak itu mendatangi rumahnya bersama si pengasuh, meminta nomor ponselnya dan setiap malam akan melakukan panggilan video. Summer tidak tahu siapa orang tua mereka. Ia hanya mendengar dari Yanti kalau sang mama sudah meninggal, dan sang papa sedang bekerja di luar kota.

Tidak peduli meski sang kakak melarang, Fino terus mencari Summer, dengan lantang memanggilnya mama.

**

Suara-suara percakapan mengusik tidur Summer. Ia menggeliat, mengusap air liur yang menetes dari mulut. Menggerakkan tangan, kaki, dan bahu yang terasa ngilu. Entah siapa orang-orang yang berani mengganggu tidurnya. Kepalanya masih berat, matanya enggan untuk terbuka, tapi percakapan yang masuk ke telinga, membuatnya terjaga.

"Berisik banget, sih!" Ia berteriak dengan suara serak. Membalikkan tubuh, tidak sadar gerakannya membuat selimut tersingkap dan rok naik hingga ke paha. Menunjukkan pemandangan betis dan pahanya yang putih jenjang.

Suara-suara itu terhenti. Summer mendesah dan kembali terlelap sampai terdengar suara melengking.

"Mama, sudah bangun!"

Sebuah tangan yang mungil mengusap pundaknya. Summer mengerang, tidurnya terganggu. Ia merasa di rumahnya tidak ada anak kecil dan siapa pula yang memanggilnya mama? Sepertinya ia sedang mimpi.

"Mama, papa sudah pulang."

Mama? Papa? Orang tua siapa yang sudah pulang? Kesadaran secara perlahan menghinggapi Summer. Ia membuka mata, menatap langit-langit kamar yang asing. Memalingkan wajah dan menatap Fino yang tersenyum di sampingnya.

"Aku di mana?" tanyanya parau.

"Di rumah kami!"

Kali ini suara anak perempuan terdengar, Summer akhirnya menyadari keberadaannya. Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur, merapikan gaunnya dan duduk tertegun di pinggir ranjang. Di depannya, berdiri seorang laki-laki asing yang tinggi, tampan, dengan rahang persegi ditumbuhi bulu tipis. Kalau itu belum cukup, alis laki-laki itu yang nyaris menyatu, membuat pandangannya menjadi sangat tajam. Summer mengerjap beberapa kali.

"Mamaaa, itu papa!" Fino berteriak, menunjuk laki-laki itu. Teriakannya terdengar nyaring dan gembira, seolah-olah mengatakan pada dunia kalau dia punya papa dan mama.

Summer menoleh pada Fino dan bertanya. "Papamu?"

Fino mengangguk. "Iya, Ma."

"Selamat pagi."

Suara laki-laki itu terdengar bagaikan ledakan bom di telinga Summer. Ia buru-buru bangkit dari ranjang dan berdiri goyah. Merapikan gaunnya yang naik hingga ke paha, berusaha untuk tetap tenang meski sudah kepergok tidur di kamar orang.

"Pa-pagi, Pak." Ia menjawab gugup. Mengerang dalam hati karena penampilannya yang bisa dikatakan kacau balau saat ini.

Jayden tidak menjawab, tetap memandang Summer dari atas ke bawah. Ia tidak salah mengenali aroma alkohol dan rokok yang menguar dari tubuh perempuan itu. Rambut kusut, make up yang memudar, dan wajah menunduk malu, entah kenapa bagi Jayden terlihat sangat menggemaskan. Ia memandang geli pada perempuan yang terlihat malu.

"Pak, se-semua bisa saya jelaskan. Anu, semalam, itu."

Summer menggigit bibir, mendadak kehabisan kata untuk bicara. Tenggorokannya juga kering, ingin minum.

Jayden tersenyum. "Aku tunggu di ruang makan. Silakan bersih-bersih di kamar mandi dulu."

Summer mengangguk kikuk. "Maaf."

"Kenapa minta maaf?"

"Ka-karena masuk rumah tanpa izin." Summer menahan rasa ingin amblas ke dalam bumi.

Jayden tersenyum. "Kita bicarakan nanti. Silakan mengambil waktu pribadi. Kamar mandi di sebelah sana, ada handuk baru untuk kamu pakai. Ayo, kita ke ruang makan." Jayden meraih tangan kedua anaknya dan melangkah ke pintu.

Fino melambaikan tangan. "Mamaa, Fino tunggu, ya! Jangan lama-lama!"

"Finoo! Dia bukan mama kita," sergah Fifi.

"Mama Summel, Fino suka."

"Tuh, Pa. Adik agak linglung."

"Sudah, ayo, ke meja makan."

Summer menghela napas panjang, menatap kepergian ayah dan dua anaknya itu. Mendengar percakapan mereka. Ia menepuk dadanya yang berdebar tak karuan. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa tertidur di kamar orang lain. Ia begitu mabuk semalam, sampai tidak sadar. Sekarang sudah terlambat untuk menyesali diri.

Setelah buang air kecil dan mencuci muka, Summer menyadari kalau gaunnya yang berlengan mini dengan panjang di pertengahan paha, sungguh bukan pakaian pantas untuk berbicara dengan anak-anak. Apalagi sekarang ada sang papa yang menurutnya bukan laki-laki biasa. Mana ada papa dua anak tapi begitu tampan dan menggoda. Summer memukul jidatnya. Sedikit mengernyit karena nyeri di lutut. Semalam tanpa pikir panjang ia melompati pagar dan jatuh. Kini terasa sakit kedua kakinya.

"Eh, Summer. Tahu diri lo. Udah sembarangan masuk ke rumah orang, pakai tidur di ranjangnya lagi. Sekarang, malah kagum sama wajah tampannya."

Summer bicara cukup keras di depan cermin. Menyadari kalau sekarang tidak ada jalan lain, ia harus menemui laki-laki itu dan keluarganya sebelum pulang. Entah kenapa ia seperti masuk dalam ruang pengadilan.

Setelah merasa penampilannya sudah cukup pantas, ia keluar dari kamar. Celingak-celinguk sebentar, timbul niat untuk langsung berlari pulang. Akhirnya menyadari kalau tindakannya akan sangat konyol. Dengan berat hati, ia menuju ruang makan. Saat melihatnya, Fino yang sudah rapi dalam balutan seragam Paud, bangkit dari kursi dan menubruknya. "Mama sudah bangun. Fino mau disuapi."

"Finoo! Biar kakak yang suapi!" teriak Fifi.

Fino menggeleng. "Nggak mau. Fino maunya sama Mama. Ayo, Ma. Kita duduk."

Jayden tidak mengatakan apa pun, menatap tajam bercampur rasa ingin tahu saat melihat interaksi anak bungsunya bersama Summer. Perempuan itu duduk dengan grogi, terlihat tidak nyaman. Meski begitu, tetap meraih sendok dan mangkok dari meja dan menyuapi makan anaknya.

"Namamu Summer?" tanya Jayden, setelah jeda keheningan.

Summer mengangguk, menolak untuk menatap mata laki-laki di depannya. "Iya, Pak."

"Kita belum berkenalan. Namaku Jayden, dan ini anak tertua Fifi, anak bungsu Fino."

"Saya sudah kenal mereka," sahutnya cepat.

"Baguslah. Aku senang ada orang yang bisa akrab dengan anakku."

Summer tersenyum kikuk, terus menatap Fino dan berkonsentrasi pada bubur yang dimakan anak itu. Ia sedikit bingung dengan situasi yang dihadapinya sekarang. Dalam keadaan kepala pusing karena baru mabuk, dan kini terdampar di ruang keluarga rumah tetangga. Untungnya duda.

"Aku sudah tahu apa yang terjadi semalam. Sebelumnya mau bilang, terima kasih sudah menolong anakku." Jayden tersenyum tulus. "Aku juga lihat dengkulmu lecet. Pasti melompat dari tembok."

Summer tercengang, menatap Jayden. "Kok tahu?"

"Ada rekaman CCTV." Jayden mengusap rambut Fifi yang duduk di sebelahnya. "Kamu sudah bilang terima kasih apa belum? Sudah ditolong semalam."

Fifi menggeleng, wajahnya menunjukkan rasa malu dan campuran kebingungan.

"Anak papa mengerti bagaimana harus menghargai orang, bukan?"

Menggigit bibir bawah, Fifi mengangguk. "Te-terima kasih, Tante," ucapnya pelan.

Summer tertegun, tanpa sadar mengangkat wajah. Merasa heran karena anak perempuan yang biasanya selalu bersikap ketus padanya, kini mendadak ramah. Ia curiga, ada hubungannya dengan sang papa. Anak yang pintar bersandiwara, pikirnya muram.

"Bagus, sekarang kamu bisa berangkat."

Fifi bangkit dari kursi, berpamitan untuk sekolah. Gadis kecil itu mengajak sang adik tapi Fino menolak.

"Mau sekolah sama mama."

Dengan wajah masam, Fifi berangkat lebih dulu. Di ruang makan tersisa mereka bertiga, dengan Summer menyuapi Fino makan bubur.

"Aku sudah memecat pengasuh Fino. Semalam dia pergi untuk berkencan dan pulang Subuh."

Summer mengangguk. Merasa kalau ini bukan urusannya tapi ia ingin tahu. "Ke mana Bi Yanti?"

"Bi Yanti sakit. Semalam dia minum obat yang membuatnya tertidur sepanjang malam. Saat tahu kalau Fifi demam dan di rumah nggak ada yang jaga, Bi Yanti menangis dan merasa bersalah pagi ini."

"Begitu. Pantas saja."

"Sebenarnya, ini salahku juga. Meninggalkan anak-anak hanya di bawah pengawasan pengasuh selama berhari-hari. Untung, Fino ada Mama, ya?"

Summer tercengang sementara Fino mengangguk antusias. Ma-maa? Siapa yang dikatakan mama di sini? Akuu? Summer bergumam dalam hati, menatap tidak percaya pada duda tampan yang sepertinya sedang menggodanya.

"Silakan dicoba buburnya. Enak." Jayden menunjuk mangkuk di depan Summer. Mengabaikan wajah Summer yang tercengang, Jayden tetap tersenyum. Perempuan itu akhirnya mengangguk. Mulai mencicipi bubur dengan topping daging ayam, kacang, dan cakwe. "Jadi, kapan kita menikah, Mama?"

Summer tersedak bubur dan batuk dengan tak terkendali. Fino menatapnya dengan bingung. Meraih tisu untuk mengelap mulut, dari ujung matanya Summer melihat Jayden tersenyum dengan mata tertuju ke arahnya. Summer menyadari satu hal, kalau hidupnya tidak lagi mudah, karena sang duda bermata tajam yang tinggal di sebelah rumahnya.

**

Obrolan Hati

Summer: Tunggu, apa dia bilang? Menikaah? Si-siapa yang mau nikah sama siapa? Tampan, sih? Sayangnya, ngaco!

Fifi: Perempuan itu aneh, tapi baik.

Fino: Mama Summel, aaa!

Jayden: Dia pasti bingung. Matanya yang indah itu melotot kaget. Pagi yang lumayan menarik.

Baby Sitter yang dipecat: Ayaaank! Aku rela dipecat demi Ayaaank!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro