Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Summer menyilangkan kaki, menatap perempuan yang datang bersama di depannya. Sepasang laki-laki dan perempuan, berusia sekitar 18 tahun dan 20 tahun. Ia berdecak kesal, menatap mereka bertiga bergantian.

Saat ini salon sedang ramai pelanggan, dan ia kehilangan banyak waktu karena mereka. Sebenarnya, bisa saja Summer mengabaikan perempuan itu dan dua anaknya. Sayangnya, ia tidak suka ada keributan.

"Mana kunci!" Si perempuan tua, menengadah. "Rumah itu sudah kosong. Harusnya kunci diserahkan ke kami."

Summer mengangkat bahu. "Nggak tahu."

"Apa?" Perempuan itu melotot. "Ingat, ya! Rumah itu sudah sah menjadi milik kami. Kalian nggak ada hak lagi!"

Summer bangkit dari kursi dan berkacak pinggang. "Gue nggak peduli kalian mau ngomong apa. Rumah itu dibeli patungan bokap gue yang brengsek, sama nyokap gue. Kalian mau rumah itu? Fine! Tunggu sampai laku. Karena lagi gue jual!"

"Hah, emang bener, ya, gosip. Kalau perempuan kerja di salon, emang suka jelek sikap sama sifat. Buktinya sekarang! Jelas-jelas kami anak sah atas rumah itu. Masih nggak mau terima!" Si anak perempuan berkata lantang.

Summer tersenyum kecil, mengabaikan hinaan itu. Ia sudah terbiasa diperlakukan kasar setiap kali bertemu mereka. Selama ini, ia selalu sabar karena Mamanya yang meminta. Kini, ia sendirian dan tidak akan menyerah begitu saja.

"Bokap lo, bokap gue juga. Dia masih jadi bokap gue, pas nyokap lo datang. Tahu-tahu, mereka nikah dan, baaang! Nyokap gue dibuang! Jadi, salah siapa?" Summer berteriak. Mereka terdiam tapi tidak ada yang beranjak. "Selama puluhan tahun ini, nyokap gue berjuang sendirian tanpa suami. Kalian hidup enak sama bokap. Sekarang, usaha bangkrut, jatuh miskin, mau minta rumah? Ngimpi aja kalian!"

Si anak laki-laki yang semula terdiam, berdehem dan maju. "Kak, jangan emosi. Coba dipikir."

"Fanan! Ngomong apa, lo. Dia lagi ngehina-hina kita, lo malah manggil dia, Kak." Si anak perempuan menarik lengan kemeja adiknya. "Mundur, biar gue yang hadapi."

Dua gadis berdiri berhadapan, Summer menolak untuk tunduk. Rumah itu adalah rumahnya. Ia tidak menempatinya sekarang karena ingin dijual, tapi tidak akan pernah memberikan sepersen pun pada orang-orang yang sudah menghancurkan keluarganya.

"Mau apa, lo? Ngajak ribut?" Ia meraih pergelangan tangan dan mengikat rambutnya. "Sebaiknya, kalian pergi sebelum temen-temen gue datang!"

"Gue nggak takut!"

"April! Tahan diri!"

Sang ibu maju, menarik anak perempuannya dan berdiri berhadapan dengan Summer. Perempuan itu tersenyum mengejek.

"Lo tahu nggak, bokap lo bilang apa soal lo? Katanya, lo anak haram yang nggak diakui! Lo nggak tahu itu, 'kan? Nyokap lo kawin sama laki gue, saat udah hamil. Siapa yang menghamili? Nggak ada yang tahu. Jadi, lo masih bilang kalau kami nggak ada hak buat rumah itu? Lo salah!"

Summer mengepalkan tangan, merasa geram. Tidak masalah mereka mau menghinanya soal apa, tapi ia tidak akan terima kalau menyangkut Mamanya.

"Keluar kalian dari sini, atau gue hajar!"

"Lo berani sama kami!" April berteriak.

"Kenapa nggak? Maju barengan, biar sekalian bonyoknya!" Summer menekuk kaki, siap-siap untuk memukul.

Pintu ruangan terbuka, seorang laki-laki berambut merah datang dan menatap mereka dengan menaikkan sebelah alis.

"Kalian berisik banget, udah tahu di luar lagi banyak pelanggan. Summer, gue dah panggil security, mereka otewe."

"Maa, kita pulang." Fanan menarik tangan mamanya. "Jangan sampai kita dibawa ke kantor polisi lagi. Ayo!"

Indah menggeram marah, menatap Summer penuh dendam. "Gue bakalan datang lagi, sampai dapat rumah itu! Camkan itu, Jalang!"

Summer melotot. "Gue nggak akan kalah sama tukang ribut macam kalian!"

Fanan menarik tangan mama dan kakaknya. Masih menggumamkan sumpah serapah, mereka meninggalkan salon. Sepeninggal mereka, Summer terduduk di sofa dan mengusap wajah.

"Udah tahu bakalan berantem. Ngapain ditemuin?" ucap si laki-laki berambut merah.

"Gue juga nggak tahu bakalan gini. Sial! Mereka bilang gue anak haram lagi."

"Lo percaya?"

Summer menatap laki-laki itu lalu mengangkat bahu. "Nggak ngerti, tapi kenyataannya emang nyokap gue hamil duluan sebelum nikah. Gue butuh rokok." Ia meraih rokok di dalam laci, bangkit dari sofa untuk membuka jendela dan menyulut api. Mengisap rokok dan membiarkan udara beraroma tembakau.

Laki-laki itu menghampiri Summer dan berucap lirih. "Jangan sedih. Lo nggak cocok kalau jadi orang sedih begini. Ngomong-ngomong, ntar malam ada pesta. Di bar Honey Love. Biasa, ada temen ulang tahun."

Summer menoleh. "Perasaan tiap hari ada yang ultah, siapa lagi kali ini?"

"Temen, Ciin. Anak orang kaya, malam ini dia traktir. Kita tinggal datang buat seneng-seneng. Hayu dan Citra juga mau ikut. Cowok yang ngundang gue, udah tampan, tajir pula. Mereka mau kenalan."

Summer mengangguk, mengisap rokoknya sampai habis lalu keluar dari ruangan untuk menyapa para langganan. Di salonnya sedang ramai dan ia malah menyibukkan diri dengan para pecundang. Ia tidak akan membiarkan mood-nya rusak karena mereka.

Sayangnya, niat tidak sejalan dengan kenyataan. Ucapan Indah, sang ibu tiri yang mengatakan kalau dirinya anak haram, benar-benar membuatnya sakit hati dan sedih secara bersamaan. Ia tidak tahu, harus ke mana mencari kebenarannya, karena sang mama juga bungkam. Untunglah, masih ada pesta malam ini untuk didatangi. Ia bersiap mabuk sampai pagi.

Bersama Hayu, Citra, dan Purnama, tiga sahabat sekaligus partner yang juga sama-sama mengelola salon, mereka menuju bar dengan mobil milik Citra. Sesampainya di sana, Summer dikejutkan dengan banyaknya orang yang datang.

Purnama berteriak di dekat meja panjang paling belakang yang merupakan ruangan VIP, dan seorang laki-laki muda dengan pakaian modis menghampiri mereka.

"Selamat datang di pestaku. Kenalin, aku Vikal."

Mereka menyalami laki-laki itu satu per satu dan saat tiba giliran Summer, tangannya dijabat lebih lama. Tiga sahabatnya sudah membaur bersama yang lain. Tertinggal ia sendiri bicara dengan Vikal.

"Nama yang unik, Summer. Kayak nama orang barat," ucap Vikal.

Summer meringis. "Dulu, pas hamil aku itu cuaca lagi panaaas, tanpa angin, tanpa hujan. Kata orang-orang kayak musim panas di luar, makanya namaku Summer."

Vikal tertawa. "Masuk akal. Boleh juga penjelasannya. Ayo, duduk dan buatlah kalian nyaman!"

"Thanks!"

"Kalau boleh tahu, apa kamu sudah punya pacar?" tanya Vikal.

Summer menggeleng, kagum dengan keterusterangan Vikal. "Nggak ada yang mau sama aku."

"Kenapa? Kamu cantik banget dan sexy." Vikal menatap Summer dari atas ke bawah yang terlihat molek dalam gaun mini hitam.

"Itu karena tipeku agak aneh."

"Maksudnya?"

"Aku hanya tertarik sama duda dan sekarang lagi nunggu duda kaya raya yang mau sama aku. Syukur-syukur sudah tua. Hahaha!"

"Hahaha. Summer kamu lucu! Aku sapa yang lain dulu."

Summer mendengkus dalam hati, mengenyakkan diri di sofa. Bukan pertama kalinya para laki-laki menanyakan soal pacar atau status. Mereka mengira, karena di bar bisa menggodanya. Mereka salah, ia tidak pernah tertarik pada laki-laki, karena sudah lama hatinya mati.

Tidak ada yang duduk tegak setelah minuman dikeluarkan. Berkaleng-kaleng bir hitam, alkohol dalam teko kaca yang ludes seketika, dan masih banyak minuman lain dipesan.

Musik menghentak dalam ruangan yang penuh dengan lautan manusia. Tubuh meliuk bercampur dengan keringat, aroma tembakau, dan alkohol.

Summer, yang merasa pikirannya tertekan, minum tanpa malu-malu. Bisa dikatakan, daya tubuhnya terhadap alkohol sangat tinggi. Ia tidak mudah mabuk, meski sudah minum bergelas-gelas. Malam ini ternyata tubuhnya tak sekuat itu. Dalam keadaan mabuk dan rokok terselip di bibir, ia naik ke atas meja dan menari mengikuti irama musik yang menghentak. Teman-temannya tertawa saat ia mengangkat ujung gaun hitamnya dan bergoyang lebih sensual. Rasa malunya hilang ke dasar bumi. Ia tidak peduli, yang terpenting kesedihannya menghilang.

"Summer, ada telepon!"

"Hah!"

"Ada telepon!" Citra yang setengah mabuk, menarik tangan Summer dan menyorongkan ponsel yang berbunyi.

Summer mengedip, matanya buram. Ia berusaha menarik kesadarannya kembali. Meraih ponsel dari tangan Citra dan sempoyongan menuju toilet. Ia tidak tahu siapa yang menelepon, tapi karena berbunyi tiada henti, ia berniat untuk mengangkatnya.

Tubuh Summer limbung, beberapa kali hampir terjatuh. Tiba di toilet, ia berdecak kesal karena antri.

"Ponsel sialan! Siapa, sih, yang telepon gue malam begini?" gerutu Summer sambil mengetuk layar ponselnya. "Eh, gue bakalan angkat telepon lo. Awas kalau nggak penting!"

Saat bilik kedua kosong, ia masuk dan mengangkat panggilan. "Halo!"

"Mama ...."

"Hah, halo?"

"Mama, kakak sakit."

Summer mengetuk sisi kepalanya, untuk menghilangkan pusing. Sejak kapan ia punya anak, sedangkan menikah saja belum? Tidak mungkin ia tidak ingat kalau sudah melahirkan.

"Sorry, salah sambung," ucapnya parau.

Jeritan di ujung telepon membuatnya terdiam.

"Mama Summel, Kak Fifi sakit. Finoo atuut, Mamaaa!"

Fifi, Fino, perlahan-lahan, nama-nama itu masuk ke dalam otaknya. Ia memaki keras, membuka bilik toilet dan berseru.

"Fino, Sayaang. Jangan nangis, aku pulang sekarang!"

Mematikan sambungan, ia membasuh wajah di wastafel. Mengeluarkan pil penghilang mabuk dan menelannya, tidak peduli kalau meminum air kran. Setengah berlari menuju meja teman-temannya, menyambar tas dari sofa dan pamit pulang.

"Summer! Lo mau ke mana?"

"Pulaang!"

"Bisa-bisanya lo!" Citra berteriak. "Masa ninggalin kami!"

"Kalian rame-rame, 'kan?"

"Summer, balik sini." Kali ini suara Purnama yang terdengar.

Summer tidak peduli dengan protes teman-temannya. Ia bergegas ke pintu keluar, menuju taksi yang sudah standby di depan bar. Masuk dan mengatakan alamatnya.

"Ngebut, Bang!" perintahnya. Mengabaikan nyeri yang menyerang kepala, ia menyandarkan tubuh ke kursi. Tidak peduli pada taksi yang melaju gila-gilaan di jalan raya. Kekhawatirannya akan bocah yang tinggal di sebelah rumah, mengalahkan ketakutannya.

Tidak sampai setengah jam, ia sudah tiba di depan rumah berpagar putih. Suasana yang sepi membuatnya bertanya-tanya, apa benar menerima panggilan dari Fino. Untuk memastikan, ia memencet bel pagar. Tidak ada yang membuka pintu, ia kembali memencet bel, hingga pintu rumah terbuka dan Fino berlari keluar dalam balutan baju tidur dan boneka beruang di tangannya.

"Mamaa!" teriaknya.

Summer tersenyum. "Siapa yang sakit?"

"Kak Fifi."

"Kalau begitu, kamu bisa buka pagar? Mana kuncinya?"

Fino menggeleng. "Fino nggak tahu, Mama. Kakak sakit."

"Iya, kakak sakit. Sabar."

Summer menyumpah dalam hati, mendapati pagar terkunci sedangkan ia harus masuk. Ia mengedarkan pandangan pada sekeliling yang sepi dan gelap. Menyadari tidak akan ada yang membantunya. Memukul dahi untuk menghilangkan pusing, ia menaiki pagar dan berharap tidak jatuh. Untung saja Summer memakai gaun pendek malam ini. Ia melompat turun dan terguling di tanah yang keras. Meringis saat lututnya perih dan kepalanya berdenyut menyakitkan.

Fino bergegas menghampiri dan meraih tangannya. "Mama."

"Ayo, kita lihat kakak. Di mana Bi Yanti dan pengasuhmu?"

Anak kecil dalam genggaman Summer menggeleng. Bergandengan tangan, mereka menuju kamar besar yang berada di tengah rumah. Saat pintu membuka, Summer melongo, melihat betapa besarnya kamar itu. Tatapannya tertuju pada ranjang besar, di mana seorang anak perempuan terbaring di atasnya. Ia mendekat, mendengar anak itu merintih.

"Mamaa .... Mama."

Ia memegang dahinya dan berjengit karena panas. Menoleh pada Fino ia bertanya lirih. "Sayang, di mana dapurnya?"

Dibimbing oleh Fino, Summer menuju dapur. Membuka kulkas dan tidak menemukan kompres yang dicari. Ia heran, bukankah kalau ada anak di rumah biasanya orang tua menyimpan sejenis kompres instan?

Bergerak cepat, ia mengambil panci, mengucurkan air dan meletakkan di atas kompor lalu menyalakannya. Ia mencari baskom, mengisi dengan air dingin. Setelah merasa air cukup panas, ia mencampur dengan air dingin.

"Fino, apa kamu punya handuk kecil?"

Fino mengangguk. "Ada, di kamar papa."

Mereka kembali ke kamar, Fino masuk ke kamar mandi dan mengulurkan handuk pada Summer. Dengan perlahan, Summer mengompres Fifi. Anak perempuan itu terus merintih, dan terdiam saat panasnya mereda.

Summer mengambil tisu, mengelap keringat anak perempuan itu. Ia tak habis pikir, saat ada anak kecil sakit dan ditinggal tanpa pengawasan. Ke mana perginya pengasuh mereka? Bukankah harusnya malam ada di rumah? Kenapa Fino meneleponnya?

"Fino, ke mana Bi Yanti? Dari tadi nggak kelihatan?"

Tidak ada jawaban. Ia melihat Fino tertidur di samping Fifi. Seulas senyum muncul dari bibirnya. Mendadak, rasa kantuk menguasainya. Summer membuka sepatu, berbaring di sebelah Fino dan memeluk anak itu. Dalam hitungan menit, ia tertidur pulas.

**

Pagi menjelang, sebentar lagi matahari akan muncul di ufuk Timur. Jayden baru saja memarkirkan kendaraannya. Ia meraih koper di jok tengah lalu menyeretnya masuk.

Rumah masih sepi, belum ada penghuninya yang bangun. Langkah Jayden terhenti di ruang makan. Ia mencopot jaket dan menuang air mineral lalu meneguknya.

Beberapa hari ia tinggalkan, rumah dalam keadaan sama. Tidak ada yang berubah. Juga tidak ada tanda-tanda kenakalan dua anaknya, yang biasa suka mengacak-acak.

"Kali ini, pengasuhnya kerja dengan benar," gumam Jayden dengan senang.

Selesai minum, ia mencuci gelas di wastafel. Mengernyit karena ada panci di atas kompor. Tidak biasanya begitu. Siapa yang baru selesai memasak? Ia menduga, asisten rumah tangganya lupa merapikan dapur setelah memasak.

Menarik koper menuju kamar, ia membuka pintu dan tertegun. Di ranjangnya, ada anaknya sedang berbaring dan seseorang yang tidak dikenal. Ia mengernyit, mendekati ranjang dan bingung dengan pemandangan yang dilihat.

Seorang wanita bergaun hitam mini, berbaring memeluk Fino. Ujung gaun wanita itu tertarik hingga nyaris ke pangkal paha dan menunjukkan kakinya yang jenjang dan mulus.

Jayden menghela napas panjang, memiringkan kepala. Tidak habis pikir ada seorang wanita asing, berbaring di ranjangnya bersama kedua anaknya.

"Siapa kamu? Kenapa ada di kamarku?"

Jayden bergumam pelan, dan tidak ada jawaban. Samar-samar ia mendengar dengkur halus dari mulut wanita itu. Menghela napas panjang, Jayden duduk di kursi, menatap kedua anaknya dan si wanita. Mau tidak mau, ia harus menunggu mereka bangun untuk mendapatkan jawabannya.

**

Obrolan Hati

Summer: Ehm ... kenapa kasurnya empuk sekali. Gulingnya juga. Nyaman sekali. (Memeluk Fino dan lanjut tidur)

Fino: Mama Summel ^o^

Fifi: Fino, diam! Dia bukan mama kita!

Jayden: Perempuan itu nggak sadar dia masuk ke rumah duda, mana gaunnya naik ke pangkal paha (Penulis: Emangnya kenapa kalau lo duda, Bang? Penting banget apa status duda lo?)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro