Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Daren Cemburu

Langit malam tampak kelam tanpa bintang. Mata-mata itu tertuju pada sosok gadis cantik yang baru saja turun dari taksi dan melenggang menuju coffee shop. Siapa yang tak mengakui pesona Amanda Dewi, putri Mak Maemunah yang cantiknya mirip Chelsea Islan. Gadis itu menjadi primadona di kompleks perumahan juga kantor tempatnya bekerja.

Ia memasuki coffee shop dengan percaya diri, tak peduli beberapa pasang mata mengagumi keindahan fisiknya. Namun, tak semua pria berani mendekatinya. Mereka sadar diri, gadis yang biasa disapa Manda itu tak mungkin melirik pria yang bermodal motor kredit yang baru akan lunas dua tahun lagi. Paling tidak pria itu harus punya mobil pribadi. Mereka juga sadar diri hanya mampu mentraktir Manda di warteg atau makan bakso di kaki lima, sangat jauh dengan apa yang bisa diberikan atasan Manda yang dikabarkan tengah mendekati gadis itu. Sebenarnya gadis itu bukan tipikal materialistis. Ia bisa jatuh cinta pada siapa pun yang menurutnya istimewa. Hanya saja kabar kedekatannya dengan sang atasan telah menggaung di seantero sudut. Para pria menilai sang gadis menyukai pria-pria high class yang punya banyak uang.

Daren tersenyum cerah melihat kedatangan Manda. Meski sudah malam, wajah gadis itu masih terlihat segar dengan sapuan lipstik nude yang tetap bisa menonjolkan warna asli bibir Manda yang memang sudah merona sedari lahir.

"Kirain kamu nggak akan datang." Daren tersenyum sembari menggeser salah satu kursi ke belakang dan mempersilakan Manda untuk duduk.

"Aku penasaran dengan menu baru di coffee shop paling hits ini." Manda mengulas senyum. Ia duduk sembari melirik pelanggan yang cukup banyak di kanan kiri.

"Aku bikinin dulu menu baru yang spesial, ya. Kamu tunggu aja di sini." Daren beranjak dan melangkah menuju dapur.

Manda mengangguk. Awal coffee shop itu berdiri, jumlah pelanggan masih sedikit. Menu yang disajikan juga tak begitu banyak. Sekarang, coffee shop milik Daren telah berkembang pesat.

Selesai membuat menu, Daren kembali datang mendekat ke arah Manda.

"Ini nih menu baru kita, silakan dimakan." Daren tersenyum lebar sembari menyajikan secangkir Macchiato, air mineral, croissant dan quiche (dibaca kiys/keysh).

Macchiato, gambar dari google.

Croissant, gambar dari google.

"Ini nih menu barunya, quiche." Daren berharap Manda menyukai menu yang ia modifikasi sendiri resepnya.

"Wah, kelihatannya enak banget, ya. Aku baru pernah sekali makan quiche. Waktu itu atasanku ngajak sarapan bareng di resto makanan Perancis. Penasaran deh cara bikinnya."

"Spesial buat kamu aku kasih tahu caranya." Daren duduk berhadapan dengan Manda.

"Kamu sambil makan aja, Manda. Dibawa santai aja."

Manda tersenyum. Ia mengambil satu potongan quiche.

"Quiche ini sebenarnya pie tapi isinya sayuran, daging. Jadi kulitnya renyah di luar, tapi isiannya gurih dan lembut. Ada beberapa prosesnya, Man. Ini aku modif-modif sendiri sih resepnya."

"Kamu mah emang jagonya otak-atik resep." Manda menggigit ujung potongan quiche dengan penuh semangat. Pertama kali makan quiche, dia sudah langsung jatuh cinta pada makanan Perancis itu.

"Aku pingin tahu cara bikinnya, itu juga kalau kamu nggak keberatan." Manda tertawa kecil.

"Buat bikin quiche ini perlu tiga tahap. Yang pertama bikin kulit pie dari tepung, mentega, telur, air. Kedua bikin isiannya dari sayuran, daging, bisa juga pakai sosis, semuanya ditumis. Ketiga bikin adonan dari telur, cream, dan susu. Adonan kulit pie ini diratakan di loyang, dipanggang dulu 15 menit, baru nanti adonan sayur dan adonan susu, cream, dan telur dituang di atas kulit pie yang udah diratakan di loyang. Panggang lagi sekitar 30 menit. Kita juga bebas mau kasih toping apa aja," jelas Daren panjang lebar.

"Makasih banyak ilmunya, Daren. Enak banget quiche buatanmu." Manda asyik melahap quiche itu tanpa sungkan.

Daren tersenyum. Tatapan matanya bertabrakan dengan sepasang netra laki-laki yang duduk di meja sebelah yang hanya berselisih satu meja. Kedua mata laki-laki itu melirik ke arah Manda. Daren menyadari tatapan tajam sang laki-laki bermuara pada paha Manda yang sedikit terekspos karena gadis itu mengenakan rok pendek.

Daren beranjak lalu pindah posisi. Ia duduk di sebelah Manda, menjadi perisai yang menghalangi laki-laki jelalatan tadi menikmati pemandangan indah di depan mata.

Sang laki-laki mengalihkan tatapan ke arah lain sembari menggerutu. Seketika Manda melirik Daren yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

"Aku mau nanya soal Kara," ucap Daren yang tak ingin berlama-lama berbasa-basi.

"Sudah kuduga," sahut Manda cepat.

"Tadi sore dia pulang diantar duda itu, bapaknya murid les Kara. Dan tahu nggak? Dia mengaku sebagai calon suami Kara. Kara juga membenarkan."

Manda tersedak karena terkejut. Ia membulatkan matanya dan menatap Daren tajam.

"Calon suami? Masa baru kenal bentar udah jadi calon suami? Selama ini Kara nggak pernah cerita apa-apa." Manda kaget bukan kepalang. Diam-diam Kara menyembunyikan hal besar ini darinya.

"Aku juga nggak habis pikir. Jangan-jangan mereka itu sengaja manasin aku. Mana si Duda itu posesif dan nyebelin. Kok Kara mau sama dia ...." Daren mengepalkan tangannya. Rasanya kesal dan kecewa luar biasa.

"Kalau memang mereka sedekat itu, ya itu bagus, 'kan? Akhirnya Kara yang jomblo sedari lahir sudah menemukan tambatan hatinya." Manda tersenyum hangat lalu menggigit kembali potongan quiche yang tengah ia pegang.

"Ini bukan berita bagus buat aku. Entah kenapa rasanya ada yang hilang. Aku nggak ikhlas Kara jalan sama duda itu."

Manda memicingkan matanya dan menatap Daren dengan lebih tajam seolah memastikan bahwa pernyataan itu benar-benar keluar dari mulut Daren.

"Kenapa nggak ikhlas? Selama ini kamu pacaran sama siapa aja, Kara selalu ikhlas."

Perkataan Manda membungkam Daren untuk sesaat. Ia seperti tengah menyetel film dokumenter dan membawanya ke masa lalu. Dia baru menyadari bahwa sedari dulu hanya Kara yang paling memahaminya, sedangkan ia sibuk berpetualang dari satu cinta ke cinta yang lain. Tak sedikit pun ia melihat Kara atau berusaha menyelami perasaan gadis itu. Ia berharap masih ada kesempatan untuk memenangkan hati Kara.

"Ya, aku tahu aku salah karena dari dulu aku nggak pernah ngertiin perasaan Kara. Aku sadar aku sayang sama dia, Man. Rasanya nggak rela aja kalau dia jalan sama cowok lain." Daren menerawang ke langit-langit. Kata-kata itu bernada penyesalan bercampur dengan kekecewaan. Kekecewaan pada diri sendiri yang tak pernah memberikan hatinya kesempatan untuk memahami Kara lebih dalam.

"Kenapa nggak dari dulu kamu menyadari perasaanmu? Kara udah lama suka sama kamu. Ada masanya cewek merasa lelah dengan segala ketidakpastian. Cinta ya cinta, tapi kalau kelamaan digantung buat apa? Kita bukan jemuran." Manda mengaduk Macchiato dan menyesapnya pelan.

Daren tertampar mendengar penuturan Manda. Ia teringat akan perkataan salah satu temannya bahwa persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan itu sangat jarang, paling tidak ada sedikit rasa baper, suka, dan sering kali berakhir jatuh cinta. Kara tidak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun. Dia selalu ada di saat Daren butuh teman bicara, teman berbagi cerita, atau sekadar menceritakan hal-hal konyol dan tertawa bersama. Daren tak pernah merasa kehilangan Kara, karena bagi Kara, Daren adalah prioritasnya. Dan kini posisinya telah digantikan oleh laki-laki lain. Egonya melambung, ia ingin hanya dirinya yang menjadi prioritas Kara.

"Tapi aku masih ada kesempatan kan, Man? Dan aku penasaran banget apakah Kara dan Pak Rangga itu benar-benar serius dan sudah sejauh itu. Atau ini hanya skenario Kara untuk bikin aku cemburu." Daren menatap Manda dengan raut wajah yang menceritakan keyakinannya bahwa Kara dan Rangga belum seserius itu.

"Daren, aku baru denger Kara dan Pak Rangga serius itu dari kamu. Aku juga kaget karena Kara emang nggak pernah cerita apa-apa. Nanti kalau sampai rumah, aku bakal nanya ke Kara."

"Okay, please banget ya, Man, aku minta tolong. Coba kamu cari informasi soal hubungan Kara dan Pak Rangga. Aku masih ingin berjuang untuk dapetin Kara." Sorot mata Daren menceritakan pengharapan yang begitu besar.

Manda mengangguk. Ia melirik seporsi croissant yang masih utuh. Ia teringat akan emaknya yang sangat menyukai croissant.

"Ren, croissant sama sisa quiche-nya boleh aku bungkus bawa pulang, 'kan? Emak suka banget croissant." Mata Manda terpusat pada dua menu itu.

Daren tertawa pendek. "Okay, aku bawakan satu quiche lagi, ya. Kara pasti suka, deh."

Manda tersenyum dan mengangguk. "Okay, makasih."

******

Di tempat yang lain, laki-laki itu mengecup kening sang putri sebelum putri kecilnya terlelap. Segaris senyum terlukis. Wajah cantik sang putri mengingatkannya akan almarhumah sang istri yang namanya selalu ia lantunkan dalam setiap doa.

Melabuhkan hati pada dermaga yang lain adalah sesuatu yang sulit untuk Rangga, hingga akhirnya ia bertemu Kara. Rangga tak menyangka, sekian lama hatinya membeku, kini perlahan mencair dengan kesederhanaan Kara. Gadis yang dikatakan Desti masih menunggu panggilan kerja dan kesekian kali lamarannya ditolak, entah kenapa begitu istimewa di matanya. Dia bukan gadis yang bersikap lembut ketika berhadapan dengannya, mereka justru kerap berbeda pendapat dan tak jarang Kara bersikap ketus padanya. Namun, Rangga menyukainya.

Rangga melangkah menuju kamarnya lalu berbaring. Wajah Kara seakan menggelayut di pelupuk mata. Sekian lama hatinya gersang akan cinta, kini perlahan bersemi. Tanpa alasan yang jelas, senyum tersungging sempurna.

Rangga mengambil ponsel. Ingin ia mengirim pesan untuk Kara, tapi ia takut Kara tak menyukainya.

Ingatannya melayang pada obrolannya dengan sang ibu yang mempertanyakan kembali akan hubungannya dengan Kara.

"Kenapa harus Kara, Rangga? Apa nggak ada calon lain yang lebih baik dari Kara? Kelebihan Kara itu apa? Dibandingkan dengan Relin, Relin jauh lebih unggul. Kara itu cuma guru les. Ayahnya supir, ibunya ibu rumah tangga. Prestasi Kara itu apa? Masak juga kayaknya nggak bisa. Kata kamu dia suka nulis, tapi mana karyanya? Apa udah diterbitin? Apa bukunya best seller? Jangan sembarangan milih calon istri!"

Ayahnya ikut berkomentar. "Cari istri itu harus yang pinter dalam segala hal. Nggak cuma pinter masak, ngurus anak, tapi juga ngurus suami, pinter menjaga suasana rumah tetep nyaman dan tenang, pinter ngurus keuangan, pinter membawa diri, syukur-syukur kalau punya prestasi. Coba deh kamu lihat istri-istri direktur perusahaan properti yang lain. Mereka perempuan-perempuan berkelas dengan karier dan pendidikan yang bagus, bisa mengimbangi pola pikir suaminya."

Rangga termenung. Ia menyukai Kara bahkan sejak di pertemuan pertama. Ia tak peduli apakah Kara punya prestasi atau tidak, baginya gadis itu istimewa. Sesederhana itu. Bukan prestasi atau atribut-atribut duniawi yang akan menyelamatkan rumah tangga, tapi rasa saling menghargai, memahami, ketulusan mencintai, dan belajar untuk saling menekan ego.

Besok bukan jadwal Kara mengajar. Tiba-tiba ia merasa rindu. Ia beranikan diri mengirim pesan untuk Kara.

Assalamu'alaikum, lagi apa? Sudah tidur, ya?

Dengan sabar Rangga menanti, tapi Kara tak jua membalas pesannya.

Di sudut kota yang lain, Kara ragu untuk membalas pesan Rangga. Ia tak ingin memberikan harapan karena ia belum yakin untuk melabuhkan hatinya pada Sang Duda. Ia mau membantu Rangga bersandiwara, tapi bukan berarti ia akan memberikan hatinya pada laki-laki itu.

Di saat yang sama Daren pun mengirim pesan, menanyakan apakah Kara sudah tidur. Matanya terbelalak, kala membaca pesan kedua Daren.

Kara, aku kangen kamu.

******

Banyakan milih tim Duda ya, tapi si perjaka udah mulai gercep nih hahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro