8. Duda VS Perjaka
Maemunah memerhatikan lekat-lekat sosok laki-laki tampan dengan postur tubuh atletis dan cambang tipis yang membuat wajah sang duda semakin terlihat tampan. Ia sudah bisa menebak siapa laki-laki yang mengantar Kara pulang.
"Ini pasti Mas Rangga, ya?" Maemunah tersenyum lebar.
Daren yang tengah duduk tak lepas mengawasi Kara dan Rangga. Ia yang masih kesal karena diminta pulang oleh asisten rumah tangga Rangga dengan alasan Kara ada tambahan jam mengajar, kini pikirannya berkelana seolah menemukan jawaban bahwa itu hanya akal-akalan Sang Duda untuk bisa mengantar Kara pulang.
"Iya, Bu, saya Rangga, ayahnya Qila." Rangga tersenyum lebar.
"Oh, iya, silakan duduk. Kara sering cerita soal Qila, bapaknya juga sering diceritain." Maemunah bicara ceplas-ceplos dengan sesekali tertawa.
Kara cemberut. Ia kesal karena Maemunah mengatakan bahwa ia sering menceritakan tentang Rangga. Kenyataannya tidak seperti itu. Sementara, Rangga tersenyum cerah. Ia sudah menduga jika ada ketertarikan di hati Kara untuknya.
Kara membuatkan minuman untuk Rangga. Daren sudah dibuatkan oleh Maemunah sebelumnya. Maemunah menggoreng pisang goreng untuk menjamu tamu, terutama Rangga yang ia harapkan akan menjadi menantunya.
Atmosfer terasa canggung di antara Kara, Rangga, dan Daren. Ada tatapan tak suka yang tercetak di bola mata Daren kala melihat Rangga dan Kara duduk bersebelahan. Ia sadar, pesaingnya bukan orang sembarangan.
"Kamu tadi ada tambahan jam ngajar?" Daren melirik Kara. Sementara suara minyak panas dari dapur terdengar hingga ruang depan.
Kara mengangguk. "Iya."
"Kenapa nggak WA? Aku bisa jemput kamu di jam yang tepat," ucap Daren lagi.
"Untuk apa WA kamu? Kan sudah ada saya yang siap antar jemput Kara," timpal Rangga menatap tajam Daren. Ia sadar jika ia tak bergerak lebih cepat, Kara bisa saja berpaling pada Daren.
"Kara cuma guru les anak Bapak, kenapa Bapak yang antar jemput Kara? Saya sudah biasa antar jemput Kara sejak dulu." Daren menahan rasa kesalnya. Ia tak terima jika duda satu itu gencar mendekati Kara.
"Memangnya ada aturan kalau Kara harus diantar jemput sama kamu? Mulai sekarang kamu nggak perlu repot-repot antar jemput Kara. Saya yang akan antar jemput dia."
"Aturan dari mana? Semua terserah Kara mau diantar jemput sama siapa. Saya ini teman dekat Kara, best friend. Jauh sebelum Kara mengenal Bapak, Kara sudah lebih dulu bersahabat sama saya." Daren sedikit menaikkan volume suaranya.
"Kamu cuma best friend, 'kan? Saya ini calon suami Kara, jadi saya lebih berhak untuk antar jemput dia." Nada bicara Rangga yang penuh ketegasan membuat Daren kaget setengah mati. Bahkan Maemunah yang sedang menggoreng pisang di dapur juga terperanjat.
Maemunah mamatikan kompor dan membawa sepiring pisang goreng ke ruang tamu.
"Mas Rangga tadi bilang kalau Mas Rangga calon suami Kara?" Mata Maemunah berbinar. Ia tak menyangka anak gadis yang tak bisa membedakan mana merica dan mana ketumbar rupanya ahli untuk urusan menggaet pria berkualitas. Kualitas yang benar-benar jempolan bukan kaleng-kaleng.
Kara tampak salah tingkah. Ia tak menyangka Rangga berani mengucapkan bahwa dirinya adalah calon suaminya. Kepalang tanggung, mau tak mau Kara harus mengikuti permainan ini.
"Iya, Mak. Saya sama Kara saling jatuh cinta dan saya ingin serius sama Kara." Rangga tersenyum sembari melirik Kara yang mematung.
"Ya Allah, doa Emak terkabul. Alhamdulillah ya Allah. Ini benar kalian serius?" Maemunah menyajikan pisang goreng itu di meja. Ia duduk di sebelah Daren.
"Kara dan Mas Rangga sedang saling menjajagi, Mak," ucap Kara sedikit tertunduk. Ia tak mau Maemunah menaruh harapan terlalu tinggi lalu meminta Rangga untuk cepat-cepat menikahinya.
Ada yang berdesir di hati Rangga kala mendengar Kara memanggilnya "Mas". Panggilan yang manis dan ia menyukainya.
Daren membulatkan matanya. Selama ini Kara tak pernah bercerita apa pun soal kedekatannya dengan Rangga. Ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat dekatnya ini akan secepat itu menemukan pria yang akan menjadi sandarannya. Ada sesuatu yang hilang. Ia tak ikhlas melepas Kara untuk duda yang menurutnya tengil dan menyebalkan.
"Kara, ini serius? Sejak kapan kalian dekat? Kok kamu nggak cerita sama aku?" Daren melayangkan tatapan tertajamnya pada Kara. Ia merasa Kara sudah tidak seterbuka dulu. Banyak yang gadis itu sembunyikan darinya.
"Emang harus cerita sama kamu? Masa iya apa-apa harus lapor sama kamu." Rangga menanggapi ucapan Daren. Ia biarkan Kara tenggelam dalam kebisuannya. Ia sendiri merasa gregetan melihat reaksi Daren seolah dia orang yang paling berhak untuk tahu segala tentang Kara.
"Saya sedang bertanya sama Kara, Pak. Biarkan dia yang menjawab." Lama-lama Daren merasa muak dengan sikap Rangga yang menurutnya posesif.
"Saya mewakili Kara. Tidak semua cerita pribadi Kara harus dia sampaikan sama kamu. Kara ingin menjaga perasaan saya. Wajar jika dia menjaga jarak dengan cowok lain."
Daren bengong. Ia melirik Kara yang masih membisu.
"Jadi Bapak ini alasan kamu jaga jarak sama aku? Pantas aja ya kamu udah jarang banget ngubungin aku." Kata-kata Daren terdengar menghakimi dengan sorot mata tajam yang terbitkan kekecewaan.
"Kenapa kamu jadi kesal sama Kara? Wajar dia jarang ngubungin kamu. Itu artinya dia menghargai perasaan saya sebagai calon suaminya." Rangga balas menatap Daren tajam. Pendar netra penuh intimidasi itu seolah melumpuhkan lawan bicara, seakan menggertak Daren untuk tidak macam-macam dengannya.
"Saya cuma ingin penjelasan dari Kara, Pak. Kalau dia menjawab pertanyaan saya, saya nggak akan nanya lagi. Tolong kali ini Bapak diam dulu." Daren meninggikan suaranya.
"Kenapa Kara harus menjelaskan? Semua sudah sangat jelas. Tanpa dijelaskan, kamu sudah tahu alasannya." Rangga belum ingin kalah.
Maemunah dan Kara seakan menjadi penonton dari dua petarung yang tengah berhadapan di medan laga.
"Astaga ... memang ya duda itu sangat posesif dan emosional. Sensitif persis kayak cewek lagi PMS." Daren setengah bergumam sembari menggaruk belakang kepalanya. Ia heran bagaimana bisa Kara menambatkan hatinya pada duda yang menyebalkan.
"Jangan bawa-bawa status, ya! Saya memang duda, tapi saya tidak pernah mempermainkan perasaan perempuan apalagi ngasih harapan palsu." Rangga sedikit menurunkan intonasi suaranya.
"Kenapa jadi ribut begini? Daren, elu kan udah tahu kalau Kara dan Mas Rangga ini sedang dekat. Ya, udah elu ikhlaskan Kara. Harusnya elu seneng karena sahabat elu udah ketemu laki-laki baik dan bertanggung jawab." Maemunah mencoba menjadi penengah di antara ketegangan yang kian menanjak.
"Okay, Mak. It's okay kalau emang Kara memilih Pak Rangga. Aku cuma ingin Kara ngomong. Kalau aku nggak denger dari ucapan Kara sendiri bahwa Bapak Rangga yang terhormat ini adalah calon suami Kara, aku nggak akan percaya!" tandas Daren.
Kara mengembuskan napas pelan. Ia memusatkan perhatiannya pada Daren. Setiap menatap satu cowok itu sebenarnya masih ada getaran, masih terasa gelombang yang seakan membuatnya terombang-ambing. Daren adalah cinta pertamanya, satu-satunya pria yang pernah ia khayalkan akan menjadi teman hidup, teman berbagi semua kisah. Hanya saja sekian tahun tersakiti dengan ketidakpekaan Daren dan saksi atas perjalanan cinta Daren yang selalu gagal, membuatnya berpikir ulang untuk mempertahankan cintanya. Kara ingin benar-benar dicintai dengan tulus, bukan menjadi pilihan terakhir setelah Daren berkali-kali gagal menjalin cinta.
"Daren, Mas Rangga memang calon suamiku. Maaf, aku memang harus menjaga perasaan Mas Rangga. Aku harap kamu mengerti." Kara bicara lembut dengan hati yang tersayat di dalam.
Daren membeku. Entah kenapa rasanya begitu sakit. Segala kenangan bersama Kara berputar-putar di benaknya. Sekian tahun bersama, habiskan hari sebagai sahabat yang saling mendukung, kini ia harus membiasakan diri melihat Kara bersama orang lain. Jika pada akhirnya Kara menikah dengan Rangga, maka segala kisah yang pernah terukir bersama Kara harus ia kubur.
"Okay, aku minta maaf karena udah gangguin waktu kamu. Aku pamit dulu."
"Pisang gorengnya dimakan dulu, Ren." Maemunah berbasa-basi menawarkan pisang goreng yang masih hangat itu.
"Lain kali ya, Mak. Udah sore, aku pulang dulu." Daren melangkah lunglai.
Maemunah mengantar pemuda itu hingga ke halaman. Sementara Kara terpaku dengan segala rasa yang tak terdefinisikan. Ia tak tega melihat raut wajah Daren yang berubah mendung, menunjukkan kesedihan yang berkumpul di bola matanya.
Rangga pun termangu seraya mengamati Kara yang hanyut dalam lamunannya. Kini ia menyadari, hati Kara masih menjadi milik Daren.
******
Daren tiba di coffee shop miliknya dengan hati bergemuruh. Hatinya terlanjur patah. Ia yakin, Kara menyimpan rasa untuknya. Jika memang dia harus bersaing dengan duda menyebalkan itu untuk mendapatkan Kara, maka dia akan siap berjuang. Ia yakin dia jauh lebih memahami Kara dan bisa mencintai Kara lebih baik.
Daren gelisah tak menentu. Ia teringat akan satu nama yang mungkin bisa ia jadikan sumber informasi tentang kebenaran fakta yang baru saja ia tahu, apakah hubungan Kara dan Rangga sudah seserius itu?
Daren mengambil ponselnya lalu mengirim pesan untuk Manda.
Manda, pulang kerja kamu bisa mampir ke coffee shop-ku, nggak? Aku ada menu baru, sekalian kita ngobrol.
******
Tim Duda atau tim perjaka? 😂. Sebenarnya untuk jumlah reads & vote lebih banyak di cerita yg lain, cuma aku mau fokus di sini dulu. Yg lain hiatus dulu, ya, biar aku gak puyeng. Soalnya susah bagi waktunya. Bentar lagi aku jg udah masuk kul.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro