7. Percikan Rasa
Aku fokus di cerita ini dulu ya. Untuk ongoing yg lain, apa mending diunpub dulu ya? Puyeng kalau ditagih2 haha. Maaf ya sekarang aku udah susah nyari waktu buat nulis karena kerjaan padet. Meski work from home tapi cukup menyita, harus dibagi juga dengan ngurus anak, aktivitas rumah tangga, dll. Kadang merasa jenuh juga nulis cerita romance mulu, pernikahan mulu, butuh sesuatu yang beda. Cuma butuh waktu juga buat riset dan gak yakin pembaca di sini mau baca semisal aku nyoba historical romance atau fantasi atau bahkan sci-fi. Genre2 ini mungkin bakal menantang, cuma risetnya juga ampun2an.
Happy reading ❤️
Irma masih bengong mendengar penuturan putranya. Diliriknya Kara sekali lagi. Ia bermonolog dalam hati, merangkai rentetan penilaian akan sosok perempuan yang diakui putranya sebagai calon istri. Apa yang membuat putra semata wayangnya jatuh cinta pada Kara?
"Nanti Rangga jelaskan ya, Bu. Udah sore, Rangga mau antar Kara pulang dulu." Rangga mengusap lengan Irma dengan senyum tipis yang seakan mengisyaratkan untuk membuat ibunya tenang dan bersabar menunggunya pulang nanti.
"Saya pulang dulu, Bu." Kara mengangguk pada calon ibu mertua dadakan. Biasanya saat pamitan, dia bisa bersikap lepas. Hari ini dia canggung luar biasa. Cuma sandiwara, tapi gugupnya terasa hingga ke bagian hatinya yang terdalam.
Rangga mengajak Qila untuk turut serta. Namun, gadis kecil itu lantang menolak. Kara keberatan jika Qila tidak ikut bersama mereka.
"Maaf, Pak, saya pulang naik ojek saja. Qila tidak ikut."
Rangga menatap Kara tajam.
"Kenapa?"
Pertanyaan singkat Rangga membuat Kara tergugu. Ia yakin, Rangga paham maksud perkataannya.
"Bapak pasti tahu alasannya. Saya ... saya nggak mau berdua sama Bapak di mobil." Kara sedikit tertunduk.
"Dan kamu mau berdua sama driver ojek di motor?" Rangga membuka pintu mobil lalu menatap Kara sekali lagi.
"Silakan masuk!"
Kara masih ragu. Ia benci pikiran buruknya. Ia takut Rangga memanfaatkan situasi ini. Bagaimana kalau Rangga membawanya ke suatu tempat atau berbuat yang tidak-tidak. Kara mengerjap dan menenangkan diri. Ia tak takut naik ojek, kenapa dirinya harus takut diantar Rangga? Lebih jauh ia berpikir, apa tak apa menerima tawaran Rangga meski tak ada Qila?
Melihat Kara masih bergeming, Rangga mendekat ke arahnya. Ia menarik tangan gadis itu dan memintanya masuk. Setelah Kara masuk, Rangga menutup pintu.
Lagi-lagi Kara merasa gugup. Sesekali ia melirik Sang Duda yang tampak tenang. Bagaimana dia bisa setenang ini?
"Kenapa Bapak tidak bicara jujur ke orang tua Bapak kalau Bapak tidak mau dijodohkan dengan Relin?" Kara membuka percakapan, cairkan kebekuan di antara mereka.
Rangga mengembuskan napas sebelum akhirnya ekor matanya melirik ke samping.
"Orang tua saya bilang, kalau saya punya calon pilihan sendiri, kemungkinan mereka akan membatalkan perjodohan."
"Kalau misal perjodohan Bapak dan Relin batal dan orang tua Bapak tahu bahwa kita hanya bersandiwara, bukankah pada akhirnya Bapak akan tetap dijodohkan dengan Relin?"
Rangga tersenyum tipis. "Ya, sudah, berarti sandiwara kita jangan sampai ketahuan."
Kara mengernyitkan alis. "Mau sampai kapan, Pak? Saya tidak bisa terus-menerus bersandiwara seperti ini."
Rangga menarik napas sejenak lalu ia embuskan kembali. Baginya membiarkan Kara menunggu tanggapannya dengan mimik wajah yang sudah menyiratkan kekesalan adalah sesuatu yang menghibur. Ekspresi wajah Kara begitu menggemaskan.
"Pak ...." Kara sedikit meninggikan suaranya.
"Sampai kapan-kapan," balas Rangga santai.
"Sampai kapan-kapan bagaimana, Pak? Harus ada batas waktu yang jelas. Saya tidak mau terseret dalam masalah Bapak. Bapak menerima atau menolak perjodohan itu, itu bukan urusan saya!" Kara semakin kesal. Rangga terkesan santai menanggapi kecemasannya.
"Sejak kamu memergoki saya pakai celana dalam, sejak itu pula kamu bertanggung jawab pada setiap masalah yang datang dalam kehidupan saya." Kata-kata Rangga meluncur tegas.
"Apa? Kolor satu itu terus-menerus dipermasalahkan. Ya ampuuunnn ... gimana kalau saya lihat semuanya? Bisa-bisa Bapak masukin saya ke penjara." Kara bicara berapi-api. Kekagumannya akan duda tampan itu di awal pertemuan perlahan luntur.
Rangga tertawa. Ia masih menyetir. Sesekali ia melirik Kara lalu kembali memusatkan perhatiannya pada apa yang terpampang di depannya.
"Kara, kamu hanya perlu mengikuti permainan ini. Jangan berpikir ke depan bagaimana, bla bla bla. Paling tidak sandiwara kita bisa mengulur waktu dan membuat orang tua saya berpikir ulang. Mereka harus menepati janji untuk membatalkan perjodohan jika saya sudah punya calon sendiri."
"Kenapa Bapak tidak mencari calon sendiri? Kalau Bapak sudah menemukan calon tinggal dikenalkan sama orang tua dan mereka akan membatalkan perjodohan Bapak dengan Relin."
Rangga menghela napas. Ada banyak perempuan yang ia kenal. Bahkan yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka pada duda satu itu juga tak sedikit. Namun, dulu ia belum ingin mencari pengganti Kiara. Hingga akhirnya ia bertemu dengan gadis yang saat ini duduk di sebelahnya. Ada sesuatu pada diri Kara yang membuatnya tertarik dan ingin mengenal gadis itu lebih dalam.
"Nggak ada yang mau sama saya, gimana dong?" tanya Rangga tanpa beban.
"Lha, kan ada Relin yang mau sama Bapak?" Kara balik bertanya.
"Saya yang nggak mau sama dia," tukas Rangga.
"Kenapa nggak mau? Sepertinya dia cinta banget sama Bapak. Dia punya pekerjaan yang bagus. Cantik juga," ucap Kara tanpa menoleh.
"Cinta itu nggak bisa dipaksakan." Rangga masih fokus mengemudi.
Kara merasa berbicara dengan Rangga hanya buang energi. Ia merasa tak pernah sejalan dengan duda satu anak itu.
"Bapak kan bisa cari calon yang lain. Masa iya nggak ada yang mau sama Bapak." Kara setengah bergumam.
"Apa? Berarti dengan kata lain, kamu berpikir bahwa seharusnya ada atau banyak yang mau sama saya?"
Kara dan Rangga saling menatap. Segera Kara menyadari, seharusnya dirinya tidak bicara seperti itu. Ia memalingkan wajahnya.
"Bisa tolong diperjelas!" ucap Rangga.
"Apanya?" balas Kara cepat.
"Maksud perkataan kamu tadi itu, lho."
"Bapak ingin saya bilang kalau nggak mungkin nggak ada yang mau saya Bapak? Bapak ganteng, mapan, jadi pasti banyak yang mau sama Bapak, gitu?"
Rangga menahan tawanya. Ia melirik Kara sekilas.
"Kamu lho yang bilang kalau saya ganteng dan mapan dan seharusnya banyak yang mau sama saya."
Lagi-lagi Kara kesal. Duda satu itu ternyata punya banyak cara untuk menjebaknya.
"Jangan-jangan, diam-diam kamu juga sebenarnya mau sama saya?" ledek Rangga.
Kara tak menjawab. Ia terlanjur kesal.
"Nggak apa-apa kok kalau kamu mau sama saya. Jadi nggak perlu ada sandiwara lagi."
Kara membisu. Rangga pun tak bersuara lagi. Ia tahu, mungkin ini terlalu cepat jika ia benar-benar meminta Kara menjadi istrinya. Atau ia manfaatkan momen sandiwara ini untuk saling mengenal lebih dekat.
Kara sendiri bingung. Ia takut terbawa permainan. Ia pernah merasakan jatuh cinta sedemikian hebat pada Daren dan semua hanya menorehkan rasa sakit. Pada akhirnya, Daren selalu mencari seseorang dan sama sekali tak melihatnya. Ia takut jika ia melabuhkan hatinya pada Rangga, laki-laki itu juga akan melakukan hal yang sama. Baginya cinta sejati belum jua berpihak padanya. Atau mungkin dia yang belum ingin membuka diri. Nama Daren masih mendominasi pikirannya.
Setiba di rumah, Kara terkejut sudah ada motor Daren yang terparkir di halaman. Rangga pun tak kalah kaget. Ketika ia dipersilakan masuk ke rumah, sudah ada pemuda yang mengaku teman dekat Kara, tengah berbincang dengan perempuan paruh baya.
******
Segini dulu ya, jangan protes 😂, aku masih banyak kerjaan. Kalau udah kelar, aku lanjut lagi, insya Allah gak lama lagi up-nya. Sabtu Minggu aku libur, moga bisa nyempetin nulis.
Next, gimana ya kalau Rangga dan Daren ngobrol? Ditambah Mak Mae yang udah ngebet banget Kara dapat jodoh mapan 😀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro