3. Insiden
Kara bingung menjawab. Ia putuskan untuk tidak membalas pesan Daren. Sebenarnya ia berusaha untuk bersikap biasa pada Daren. Ia coba hempaskan semua rasa yang sudah bersemayam sejak mereka berteman di bangku SMA. Kara masih ingat, ia yang baru pindah dari Jawa Tengah ke ibu kota merasa kesulitan mendapatkan teman di sekolah barunya. Daren banyak membantunya. Mereka bersahabat dan sering bercerita tentang permasalahan masing-masing. Hingga akhirnya Kara menyadari ada sesuatu yang beda.
Setiap berada dekat Daren, Kara merasa bahagia. Jika Daren tak ada, Kara merasa kehilangan. Kara mulai merindukan semua tentang Daren jika beberapa hari mereka tak bersua. Setiap kali Daren dekat dengan perempuan lain, Kara merasa cemburu. Puncaknya ketika Daren berpacaran dengan Irish, Kara merasa dunia tak lagi sama. Dunia memang masih berputar, tetapi segala sudut seolah meneriakkan kata "sakit". Kara kehilangan semangat. Kara mendadak murung dan ia berpikir dirinya mungkin sangat jauh dari sempurna hingga Daren tak melihatnya. Irish jauh lebih memesona dan istimewa.
Kara memilih menjaga jarak. Bukan karena ia tak peduli pada Daren. Ia masih sangat peduli. Hanya saja, ia perlu kelapangan hati untuk berbenah dan mengubur serpihan rasa yang masih berceceran.
******
Kara tersentak kala Manda mendatangi kamarnya dan memberi tahu jika Daren datang dan sudah menunggu di ruang depan. Padahal Kara tak membalas pesan Daren.
Kara menyisir rambutnya, merapikan bajunya. Ah, sejak kapan dia mulai memerhatikan penampilan setiap kali hendak bertemu Daren. Ketika rasa itu mulai berakar, Kara mulai memerhatikan hal-hal kecil yang ada di dirinya. Apakah baju ini pantas? Apakah rambutnya rapi? Apakah wajahnya terlihat baik-baik saja dan nggak kusam?
Daren tersenyum hangat tatkala melihat Kara keluar. Ia selalu datang pada Kara setiap butuh teman bercerita.
"Hai, Daren." Sebesar apa pun gemuruh di dadanya, ia tetap berusaha menyambut Daren layaknya seorang best friend.
"Hai, Kara. Maaf ya kalau aku nekat datang. Kamu nggak balas pesanku."
Kara duduk di sebelah Daren dalam rentang yang agak jauh. Keadaan sudah berbeda. Dulu Kara bisa bersikap seenaknya. Terkadang mencubit Daren jika cowok satu itu sudah mulai meledek. Duduk begitu dekat juga tidak masalah. Kara juga tak jaim jika makan banyak di depan Daren. Pemuda itu membuatnya nyaman menjadi diri sendiri. Segala sudah berbeda sejak hati Daren telah menjadi milik Irish. Kara mulai menjaga sikap. Terkadang seperti putri kalem yang sedang mengikuti les kepribadian. Dan Daren tak begitu menyadari perubahan ini. Ia anggap itu hanya perkembangan karakter Kara yang sudah beranjak menjadi wanita yang lebih dewasa.
"Maaf, Daren. Aku lupa balas pesanmu. Oya, ada perlu apa, Ren?" Kara terpaksa berbohong. Bukan lupa, tapi ia memang sengaja tak membalas.
"Aku lagi ada masalah sama Irish, Ra. Aku minta pendapatmu. Menurutmu apa wajar kalau cewek yang udah pacar nanggepin chat cowok yang curhat segala macam. Sedang cowok itu punya rasa sama si cewek."
Kara mengernyitkan alis. Bukankah apa yang dilakukan Daren sama seperti apa yang dilakukan cowok itu? Ia datang padanya dan curhat tentang hubungannya dengan Irish. Bedanya, Daren tak tahu bahwa Kara menyimpan rasa untuknya.
"Irish tahu tidak kalau cowok itu suka sama dia?"
Daren menggaruk belakang kepalanya.
"Aku nggak tahu. Kayaknya dia tahu lah. Orang si cowok ini perhatian banget sama Irish. Dia bilang, si Adit ini cuma teman, tapi mereka akrab banget. Aku risih lihatnya. Si Adit ini sering banget chat Irish."
Kara terdiam. Ia belum pernah berpengalaman memiliki hubungan dengan lawan jenis. Namun, ia sering dijadikan tempat curhat.
"Terus bedanya sama kamu apa, Ren? Kamu juga punya temen cewek, dan itu aku. Kamu sering curhat dan chat aku. Kita nggak ada hubungan apa pun. Mungkin Irish merasakan hal yang sama." Kara menatap Daren tajam.
Daren terhenyak. Ia balas menatap Kara tajam.
"Jelas nggak bisa disamain. Kamu nggak ada perasaan sama aku, gitu juga sebaliknya. Sedangkan Adit ini, aku yakin banget dia suka Irish, dan Irish juga kayak ngasih harapan." Daren sedikit meninggikan suaranya.
"Tapi intinya kalian sama-sama punya teman curhat kan? Teman lawan jenis? Kalau kamu bisa bebas berteman dengan lawan jenis dan curhat segala macam, kenapa dia nggak boleh? Kalau memang keberatan dia dekat dengan Adit, kamu sampaikan aja keinginan kamu ke dia. Kamu juga gitu, jangan dekat dengan cewek lain. Itu baru adil."
Daren terdiam sekian detik lalu menatap Kara lebih tajam dibanding sebelumnya.
"Kamu lebih belain dia? Dan itu artinya aku juga nggak boleh dekat sama kamu meski kita cuma teman?"
Kara hendak membalas, tapi Daren buru-buru menyela.
"Bilang aja kamu udah males temenan sama aku. Udah nggak mau lagi dengerin curhatanku?"
"Kok kamu jadi meluber ke mana-mana, malah jadi suudzon sama aku? Yang males temenan sama kamu siapa? Kita masih berteman kayak dulu." Kara akui semua memang sudah berbeda. Namun, mendengar kata-kata itu dari Daren, ada rasa sedih sekaligus kehilangan. Sejak Daren berpacaran dengan Irish, Kara memang sudah merasa kehilangan. Meski ia berada di satu ruangan dengan Daren, ia seperti kehilangan Daren yang lama. Ia pun bertanya, mungkin saja Daren juga merasa kehilangan dirinya yang lama?
"Aku ngrasa kamu emang kayak sengaja menjauh dari aku. Aku berusaha positive thinking. Aku abaikan sikapmu yang memang berubah. Okay, mungkin kamu udah males temenan sama aku. Aku nggak akan lagi ganggu kamu dengan curhatan aku yang nggak jelas." Daren beranjak. Ia kecewa dengan perubahan sikap Kara.
Kara ikut beranjak.
"Aku pulang," ucap Daren tanpa menoleh Kara. Ia berlalu begitu saja, tak peduli Kara memanggil namanya.
"Daren ...."
Daren berjalan menuju halaman. Ia menstarter motornya dan pergi meninggalkan Kara yang masih mematung. Kara termangu. Rasa kehilangan itu semakin meluap. Sejenak ia mengurai tanya, apa persahabatannya dan Daren benar-benar berakhir? Kara berpikir mungkin ini lebih baik agar ia bisa cepat-cepat move on dan membunuh rasa yang masih utuh.
"Daren kenapa? Kok marah gitu ampe nggak pamit sama Emak?" Maemunah tiba-tiba muncul di belakang, membuat Kara terkejut.
"Marah sama Kara. Dia datang curhat masalahnya sama Irish. Katanya nggak suka kalau Irish dekat sama Adit dan sering curhat sama Adit. Kan sama aja kayak Daren yang suka curhat sama Kara. Intinya dia tersinggung dan menilai Kara berubah, sengaja ngejauh."
Maemunah memicingkan matanya. "Elu sendiri emang sengaja menjauh dari Daren apa kagak?"
Kara melirik emaknya yang suka sekali kepo dengan urusannya. Kara mengembuskan napas.
"Ya, nggak lah, Mak. Itu perasaan Daren aja."
Maemunah tersenyum miring, mencium sesuatu yang disembunyikan Kara. Instingnya tajam.
"Elu kagak bisa bohong sama Emak. Ada sesuatu kayaknya. Lu pasti cemburu kan Daren pacaran sama Irish?" Maemunah tersenyum sekali lagi. Senyum yang terlihat seperti senyum "meledek" di mata Kara.
"Apaan sih, Mak? Kok jadi bahas Kara cemburu sama Daren. Dia mau pacaran sama siapa ya silakan. Nggak ada urusannya sama Kara." Kara meninggikan suaranya. Ia tak dapat menyembunyikan ekspresi wajahnya yang gusar.
"Udahlah, Ra, ngaku aja kamu. Aku tahu kok kalau kamu suka sama Daren." Manda keluar dari kamarnya dan berjalan mendekati Emak dan adik tirinya.
Kara menoleh ke arah Manda. Ia seolah melihat senyum kemenangan di wajah Manda karena berhasil membongkar rahasia yang pernah Kara simpan.
"Kamu kok ikut-ikutan ngledekin aku. Aku nggak ada pesasaan sama Daren. Nggak usah ngadi-ngadi, deh!" Kara sedikit membulatkan matanya.
Manda tertawa singkat. "Kamu bisa aja mengelak, tapi pernah nggak sengaja baca diary-mu. Kamu memang suka sama Daren." Manda bersedekap dan menegaskan kata-katanya.
Kara kaget bukan kepalang. Ia kesal karena kakak tirinya seenaknya membaca diary miliknya.
"Ih, kamu nggak sopan banget baca diary orang. Nggak lucu ...." Wajah Kara memerah karena kesal, marah, semua berbaur jadi satu. Ia berjalan menuju kamarnya.
"Okay, aku minta maaf. Kalau boleh ngasih saran, kamu nggak usah mikirin Daren lagi. Cowok banyak, Ra. Buang waktu kalau kamu masih aja ngarepin Daren." Manda mengeraskan suaranya.
Kara menutup pintu. Ia duduk di ujung ranjang. Ia usap wajahnya. Ia sedih memikirkan Daren yang marah padanya. Dulu ia pernah berharap, Daren tak akan lagi datang padanya. Kini ketika cowok satu itu memutuskan untuk tak menggangunya lagi, Kara merasa tak siap. Ia bingung pada dirinya sendiri, apa sebenarnya yang ia inginkan?
******
Hari pertama Kara mengajar Qila begitu mendebarkan bagi gadis itu. Ia mengenakan pakaian terbaiknya, kemeja dan celana panjang. Ia ingin terlihat sopan dengan pakaian yang sedikit longgar agar tidak memperlihatkan lekuk tubuh.
Kara naik ojek online meski di rumah ada motor yang tidak digunakan. Ia masih trauma mengendarai motor.
Qila cuek menyambutnya. Ia bahkan terlihat ogah-ogahan menyiapkan alat belajarnya. Kakek nenek Qila tengah mengunjungi adik Rangga yang kuliah di Surabaya. Di rumah hanya ada satu keluarga kecil yang bekerja di rumah Rangga. Bu Ratmi yang bertugas memasak dan beres-beres rumah, suami Bu Ratmi bernama Pak Sardi yang bekerja menjadi supir keluarga, dan Lasmini putri Bu Ratmi dan Pak Sardi yang mengurus keperluan Qila serta membantu menyetrika pakaian. Rangga sengaja pulang lebih awal agar bisa mendampingi Qila.
Kara mengajar Qila di ruang tengah lantai atas. Qila yang memang enggan belajar tak mau diajak ke lantai bawah. Bahkan sedari awal bertemu Kara, ia memasang tampang cemberut.
Kara sudah menyiapkan materi yang akan ia ajarkan. Bahkan ia sengaja membeli buku-buku pelajaran kelas tiga agar lebih memahami apa yang akan dia sampaikan. Hari ini Kara mengajarkan materi tentang ciri-ciri makhluk hidup.
"Qila, sebelum kita belajar, kita main tebak-tebakan dulu, yuk." Kara tersenyum semanis mungkin. Ia harap, Qila merasa nyaman diajar olehnya.
Qila menggeleng dan enggan menatap Kara. Kara tak menyerah.
"Qila tahu nggak kalau di dunia ini ada makhluk hidup, ada juga benda mati. Tante penasaran, apa Qila tahu contoh makhluk hidup dan benda mati?"
Qila tak merespons. Kara melirik akuarium yang berdiri gagah di dekat sofa.
"Coba deh Qila lihat akuarium itu. Ada ikan-ikan yang sedang berenang. Ada juga akuarium sebagai tempat ikan berenang. Coba deh Qila perhatiin. Ikannya bergerak ke sana ke mari, sedangkan akuariumnya diam aja di tempat. Kok bisa beda ya, yang satu bergerak, yang satu nggak." Kara bicara begitu antusias. Ia ingin menarik perhatian anak itu.
Qila tak menanggapi. Ia masih menekuk wajahnya.
"Ikan sama kayak kita ya, bisa bergerak, bisa bernapas, butuh makanan juga. Kalau akuarium sama kayak meja ini." Kara menjentikkan jarinya di atas meja.
"Akuarium dan meja sama-sama diam, nggak gerak, nggak bisa bernapas, dan nggak makan juga. Itu karena akuarium dan meja sama-sama benda mati. Sedangkan manusia dan ikan, sama-sama makhluk hidup." Kara menatap Qila lembut meski gadis cilik itu tetap bergeming.
"Coba deh Qila perhatiin gambar-gambar di buku ini." Kara menunjukkan satu halaman yang memuat gambar-gambar binatang, tumbuhan, serta gambar-gambar benda mati.
"Coba Qila pilih gambar mana aja yang termasuk makhluk hidup, mana aja yang termasuk benda mati." Kara tetap berusaha tersenyum kendati Qila tak jua memerhatikannya.
"Atau Qila mau menggambar dulu? Setelah menggambar baru kita belajar tentang makhluk hidup lagi." Kara belum ingin menyerah. Apa pun akan ia lakukan demi mendapat tanggapan dari Qila.
Qila memutar matanya. Ia mengangguk datar. Kara begitu bahagia menerima satu respons dari Qila.
"Qila ingin Tante ngambilin crayon dan buku gambar di kamar Qila." Qila bicara lantang tanpa sungkan.
Kara memicingkan matanya. "Di kamar Qila?"
Qila mengangguk. "Iya, di kamar yang pintu kamarnya dicat coklat."
Kara ragu sejenak. "Kenapa Qila nggak ambil sendiri?"
"Qila mau Tante Kara yang ambilin. Kalau Tante Kara nggak mau, Qila nggak mau menggambar, nggak mau belajar." Qila berkata penuh penegasan.
Kara teringat akan perkataan Desti yang mengatakan bahwa gadis cilik ini begitu keras kepala dan terkadang sangat menyebalkan. Kara tak punya pilihan lain. Yang terpenting hari ini, Qila harus mau belajar bersamanya.
Kara beranjak dan berjalan menuju kamar yang pintunya dicat coklat, agak jauh dari tempat dia dan Qila belajar.
Kara memutar kenop pintu tanpa ragu. Ia kaget bukan kepalang melihat di dalam ada Rangga yang tengah membuka lemari dan ia hanya mengenakan celana dalam. Rambutnya tampak basah, terlihat jelas jejak sang duda yang baru saja selesai mandi.
Rangga tak kalah terkejut melihat Kara mematung menatapnya. Gadis itu refleks berteriak dan mengucap maaf. Buru-buru Kara keluar kamar dengan dada berdebar hebat, terguncang karena itu pertama kali Kara melihat laki-laki bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam.
Kara kembali duduk di depan Qila seraya menahan amarah. Qila tampak tenang dan tak merasa bersalah sedikit pun karena sengaja menunjukkan kamar yang salah. Dia berpikir jika Kara masuk ke kamar ayahnya, sang Ayah akan marah dan tak lagi menggunakan jasa Kara. Itu artinya Qila terbebas dari kewajibannya mengikut les.
"Kenapa kamu ngerjain Tante?" Kara kesal bukan main. Ia rasa tak lagi bisa fokus mengajar Qila. Entah karena malu, kesal, atau mungkin terbayang-bayang postur tubuh Rangga yang begitu atletis dengan perut sixpack-nya. Untuk yang satu ini, Kara begitu membenci pikirannya sendiri yang sudah melanglang buana kemana-mana.
"Qila cuma iseng aja," balas gadis cilik berkucir kuda itu begitu ringan.
"Menjahili orang itu bukan perbuatan baik, Qila. Next time jangan pernah seperti ini lagi." Sorot mata Kara seakan menghunjam hingga ke ujung.
Derap langkah Rangga yang sudah berpakaian lengkap membuat Kara mengangkat wajahnya. Netranya bertumbukan dengan manik tajam Rangga. Keduanya salah tingkah. Kara segera menunduk. Ia rasa, ia perlu menjelaskan semuanya jika ia tak ingin duda satu itu berpikir macam-macam terhadapnya.
Kara beranjak. Ia memberanikan diri melangkah mendekat ke arah Rangga.
"Pak, maafkan saya tadi. Qila meminta saya mengambilkan alat gambar di kamarnya. Ia bilang pintu kamarnya dicat coklat. Saya pikir saya masuk ke kamar yang benar." Kara menunduk. Pipinya bersemu merah. Ia benar-benar malu dan menyesal telah manuruti keinginan Qila.
Rangga terlihat kikuk. Ia juga malu bukan main. Selama ini ia selalu menjaga diri termasuk tidak mengumbar aurat ke perempuan non mahram. Hari ini ia seperti kecolongan. Namun, akan sangat lucu jika ia meminta pertanggungjawaban Kara. Ia hanya berharap gadis itu tidak mengingat-ingat lagi kejadian awkward hari ini.
"Tidak apa-apa, ini bukan salahmu," sahut Rangga. Matanya beralih pada Qila yang masih duduk dengan tampang innocent-nya.
"Qila, ayo minta maaf sama Tante Kara. Lain kali jangan ngerjain orang lain. Itu tidak baik." Rangga menatap lembut sang putri.
Qila mengalihkan tatapannya pada buku di hadapannya. Ia berpura-pura membaca buku. Tentu ia tak mau meminta maaf. Tujuannya hanya satu, membuat Kara tidak betah dan memutuskan untuk mundur.
"Maafkan putri saya. Saya harap, kamu nggak terganggu dengan kejadian tadi."
Kara memberanikan diri menatap Rangga. Ia merasa begitu gugup. Jantungnya seakan berpacu lebih cepat. Keduanya kembali salah tingkah. Rangga sedikit melangkah mundur untuk menjaga jarak.
"Saya ke bawah dulu ...." Rangga segera berlalu, meninggalkan Kara yang masih terpaku dengan segala kegugupan dan rasa sungkan. Ia bahkan kembali memikirkan, apa ia akan terus mengajar Qila sementara ia merasa tak lagi punya muka untuk berhadapan dengan Rangga Abiakta Bagaskara.
******
Minat gak sih sama cerita ini? Respons masih sedikit hehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro