17. Runyam
Suasana rumah Rojak terdengar begitu ramai dengan celoteh Maemunah yang tiada henti. Ia mengenakan pakaian terbaiknya, pakaian yang ia beli dari Mpok Zubaedah, penjahit yang juga memasarkan pakaian dengan brand sendiri. Bahannya adem berkualitas dengan model yang simpel tapi elegan, dijamin tidak norak. Kelebihan membeli pakaian di tempat Mpok Zubaedah adalah jika tidak memiliki uang bisa bayar belakangan alias ngutang. Namun, Maemunah bukan tipikal pelanggan yang suka berhutang. Dia membayar kontan. Dia pikir, masa mau ketemu besan, pakai baju aja modal ngutang. Maemunah tidak ingin membuat Kara malu. Ia akan menjaga sikap dan mengerem lisannya yang suka ceplas-ceplos. Semua demi restu orang tua Rangga.
Maemunah sibuk berceramah. Membenarkan make up Kara yang menurutnya tidak pas. Ia terus berdebat dengan Manda.
"Lipstiknya kurang gonjreng, Manda. Warnanya pucet. Cari warna yang gonjreng lah biar cerah dan ngasih kesan penuh semangat." Maemunah menatap Kara lekat. Ia merasa sapuan warna lipstik yang dipilihkan Manda tampak kurang cocok untuk mengimbangi penampilan Kara yang sudah maksimal dari segi dress dan tatanan rambut.
"Gonjreng kayak ondel-ondel? Ini udah pas, Mak. Kelihatan fresh dan seger." Manda yakin kali ini Rangga akan semakin terpesona melihat Kara. Saudari tirinya ini sebenarnya cantik hanya tidak pandai merias diri.
"Ini udah bagus, Mak. Kalau terlalu gonjreng nanti malah kelihatan norak. Kara suka make up kayak gini." Kara masih mematut diri di cermin. Ia tersenyum puas dengan hasil kerja Manda yang menurutnya tak pernah gagal.
Manda sendiri tak ikut serta meski Kara mengajaknya. Ia meminta bantuan salah seorang temannya untuk mengantarkan keluarganya, tentu saja Manda tahu diri dengan mengganti uang bensin meski temannya tak meminta apa pun. Sebenarnya Rangga menawarkan diri untuk menjemput Kara dan keluarga, tapi Rojak dan Maemunah tak mau merepotkan calon menantu mereka.
Setelah semua merasa siap, Kara dan orang tuanya melaju menuju rumah Rangga. Kali ini rasanya lebih deg-degan karena ada kedua orang tua yang ikut bersamanya. Malam ini akan menjadi momen pertemuan orang tuanya dan orang tua Rangga. Kara harap, semua akan berjalan sesuai harapan.
******
Mobil berhenti di depan pintu gerbang. Maemunah takjub melihat rumah yang begitu megah dengan taman yang tertata rapi. Bunga-bunga dan tanaman yang Maemunah tahu harganya tak murah mendominasi penglihatannya.
Keluarga Rangga menyambut mereka dengan baik. Tidak ada senyum berlebihan, hanya senyum tipis sebagai pemantas. Irma belum bisa menerima Kara. Haris bersikap netral karena ia tahu, ia tak bisa memaksakan kehendak pada putranya yang sudah dewasa dan berhak mengambil keputusan sendiri.
Acara makan malam dimulai tanpa berbasa-basi. Dua keluarga duduk mengitari meja makan dan aneka menu istimewa pun dihidangkan. Maemunah dan Rojak merasa dihargai dengan jamuan makan malam yang beraneka ragam dan terlihat lezat.
"Terima kasih Bapak dan Ibu berkenan datang untuk makan malam sederhana di rumah kami. Kita mulai saja ya makan malamnya, mumpung makanan masih hangat." Irma tersenyum menatap Maemunah dan Rojak. Di matanya, penampilan calon besannya ini biasa saja. Tak ada yang istimewa.
"Sama-sama, Pak, Bu, terima kasih sudah mengundang kami. Bagi kami ini bukan makan malam sederhana, tapi makan malam yang mewah, luar biasa." Rojak pun tersenyum dan memuji dengan tulus.
"Sederhana atau mewah tergantung sudut pandang seseorang. Bagi kalian mungkin mewah, tapi bagi kami sederhana karena biasanya kami memilih untuk makan malam di restoran jika ingin mengundang tamu." Irma tersenyum dan memerhatikan calon besannya lekat-lekat. Ia tak mengerti kenapa Rangga memilih anak dari sepasang suami istri yang tampak lugu dan kurang berkelas.
Air muka Maemunah berubah lebih muram. Senyum cerianya seketika menyusut. Dari awal menapakkan kaki di depan pintu gerbang rumah Rangga, ia menyadari jika tembok perbedaan dua keluarga begitu menjulang.
"Bapak Ibu mengundang makan malam di rumah agar suasana terasa lebih santai dan akrab." Rangga segera menyela untuk menjaga perasaan calon mertuanya dan Kara.
"Ya, sudah, lebih baik kita makan dulu ya, mumpung masih anget makanannya. Silakan dimakan Pak, Bu, Kara." Haris tersenyum lepas. Meski ia belum merestui hubungan Rangga dan Kara, ia berusaha untuk tetap sopan.
Acara makan malam itu terasa begitu kaku. Irma yang memang tak ingin melebur dan menjaga jarak. Maemunah dan Rojak juga merasa kurang nyaman dan terasa benar atas sikap kedua orang tua Rangga yang belum bisa menerima keputusan anaknya untuk memilih Kara.
"Oya, anak Pak Rojak ada berapa? Kara ini anak bungsu, ya?" Haris membuka percakapan.
"Iya, Pak. Kara punya kakak, namanya Amanda. Amanda bekerja di perusahaan properti." Rojak menjawab dengan tenang meski ia rasakan sikap orang tua Rangga memang kurang bersahabat.
"Oh, bagus. Kara nggak ingin mengikuti kakaknya?" Haris melirik Kara yang lebih banyak diam.
Kara sedikit terperanjat. "Saya fokus di menulis, Pak."
"Pak, Kara ini nggak mau kerja capek dan repot, makanya milih nulis. Toh, kalau jadi istri Rangga juga bakal dinafkahi Rangga, nggak usah repot kerja. Perempuan yang mau enak ya gitu, nyari suami yang kaya dan mapan biar nggak repot kerja." Irma bicara frontal, tak peduli jika perkataannya menyinggung Kara dan keluarganya. Ia memang beranggapan jika Kara dan keluarganya tertarik dengan harta Rangga dan ingin menggantungkan hidup mereka pada Rangga.
"Maaf, Bu, tidak ada yang salah dengan menulis. Kara selama ini sudah bisa mandiri dengan penghasilan dari menulis, nggak pernah minta ke saya atau bapaknya, juga ke Rangga untuk membeli kebutuhannya. Dan Ibu salah besar jika menganggap anak saya nyari suami yang kaya dan mapan karena nggak mau repot. Toh, kalau nanti mereka menikah emang sudah menjadi kewajiban Rangga untuk menafkahi anak saya. Apanya yang salah?" Maemunah mencoba untuk tetap bicara tenang meski dalam hatinya bergemuruh rasa yang tak menentu, gregetan karena perkataan calon besannya.
"Saya bicara fakta, Bu. Coba kalau Rangga belum mapan atau pengangguran, apa Kara tetap mau sama anak saya? Dan apa Ibu juga mau punya menantu yang belum mapan? Saya yakin Ibu mendukung hubungan Kara dan Rangga salah satunya karena alasan kemapanan anak saya." Irma tak mau kalah berargumen. Ia yakin jika Maemunah memang sangat menginginkan Rangga menjadi menantunya karena wanita itu ingin terciprat uang Rangga.
"Saya rasa wajar kalau orang tua menginginkan putrinya menikah dengan seseorang yang bertanggung jawab untuk urusan nafkah. Ini realistis bukan meterialistis. Tapi saya juga tidak pernah mensyaratkan kemapanan, yang saya lihat adalah tanggung jawabnya dan sudah bekerja. Itu sudah cukup." Maemunah sedikit meninggikan suaranya.
Irma tak habis pikir jika Maemunah berani mematahkan kata-katanya. "Sekarang Anda berpikir matang, apa anak saya serasi dengan Kara? Apa mereka satu level? Tidak, Bu. Anak saya butuh wanita yang lebih baik dengan background keluarga yang sepadan. Bukan wanita yang nantinya hanya akan jadi benalu, termasuk keluarganya.
Maemunah tak bisa lagi menahan emosinya. Rasanya ia ingin mencakar Irma saat itu juga. Ia berdiri dari posisinya.
"Maaf ya aye datang ke sini karena beritikad baik. Aye pikir orang tua Rangga ini orang yang terhormat dan tahu cara menghargai tamu. Ternyata sikap Anda jauh lebih rendah dari orang-orang yang tak punya harta melimpah tapi tahu cara menghargai orang lain. Kalau Anda berpikir kami akan jadi benalu, Anda salah besar. Dari awal anak elu yang ngejar anak gue. Anak elu yang cinta duluan sama Kara."
Irma ikut berdiri dan menatap Maemunah tajam. "Makin ke sini makin kelihatan ya sikap Anda, bilang elu gue elu gue. Sopan santunnya di mana? Yang begini mau besanan sama keluarga kami? Jangan ngarep, ya."
"Gue nggak akan ngarep punya besan yang sombong dan suka merendahkan orang lain seperti elu. Kara terlalu berharga buat jadi menantu elu."
Suasana semakin memanas hingga Rangga pun turun tangan untuk menarik tangan ibunya yang hendak menarik tangan Maemunah. Kara juga tak tinggal diam. Ia mendekat ke arah Maemunah dan meminta emaknya untuk menyudahi perdebatan itu.
"Lebih baik kita pulang. Nggak ada gunanya kita di sini. Kita cuma mau diinjak-injak." Maemunah menarik tangan Kara dan secepat kilat berjalan menuju pintu depan.
Rangga mengejar Kara dan keluarganya. Ia tak menyangka makan malam yang ia harapkan mampu mengakrabkan kedua keluarga berakhir ricuh.
"Mak, Pak, Kara, saya minta maaf atas sikap ibu saya ...." Rangga berusaha mengejar.
Kara berulang kali menoleh ke belakang, tapi Maemunah memaksa Kara masuk ke dalam mobil. Teman Manda masih menunggu mereka di luar.
Rangga sangat kecewa dengan sikap ibunya dan ia tahu, ke depan rintangan akan semakin berat untuk meraih kata "restu".
***
Dering ponsel terdengar berulang. Maemunah melotot ke arah Kara yang tengah terisak.
"Nggak usah diangkat. Selama tuh Mak Lampir masih aja ngrendahin kita, Emak nggak bakal ridho elu jadi sama Rangga." Maemunah bertolak pinggang.
"Cari calon suami yang keluarganya juga ngehargai kita. Tuhan udah nunjukin kalau Rangga bukan yang terbaik buat elu." Maemunah menambahkan.
Kara masih sesenggukan sementara air matanya terus menetes membasahi bantal. Ia seka air matanya berulang.
"Tapi Mak, Kara udah terlanjur cinta sama Mas Rangga. Kara nggak bisa kalau nggak jadi sama dia." Isak tangis Kara semakin menyayat. Ia tak ingin berpisah dengan Rangga.
"Bucin banget ya lu. Elu masih aja berharap sama tuh duda setelah harga diri kita diinjak-injak? Mikir Ra, mikir. Jangan cuma cinta aja yang elu pikirin. Kita punya harga diri!"
"Udah, Mak, kita keluar aja. Biarin Kara sendiri dulu." Rojak mengapit lengan Maemunah dan menuntunnya keluar.
Kara masih saja menangis. Harapan yang sebelumnya membumbung kini terpelanting sampai ke dasar. Berulang kali ia melirik nama "Rangga" terpampang di layar ponsel. Ia diamkan dulu meski ingin sekali ia menjawab panggilan telepon itu. Ia tak ingin berpisah dengan Rangga. Namun, jika keadaan tak juga membaik, ia mungkin akan menyerah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro