13. Siap Berjuang
Maemunah membulatkan matanya melihat calon menantunya belanja bersama perempuan cantik. Ia menarik tangan Kara dan berjalan mendekat ke arah Rangga yang termangu dengan segala tanya.
"Mas Rangga belanja di sini juga? Sama siapa, ya?" Maemunah melirik Salsabila yang juga menatapnya dan Kara dengan sikap tenangnya.
Salsabila menjulurkan tangan kanannya. Senyum terpatri sempurna. Kesan pertama yang terekam di pikiran orang saat berkenalan dengan Salsabila adalah banyak yang menilai Salsabila sebagai sosok yang ramah.
"Kenalkan, Bu, saya Salsabila." Salsabila melengkungkan segaris senyum dengan nada bersahabat.
Maemunah mengulurkan tangannya dengan ragu. Mukanya sedikit masam. Selanjutnya ia beralih menatap Rangga tajam.
Duda satu anak itu tak menyadari ekor mata Maemunah mengarah padanya tanpa henti. Ia memandang Kara dengan segunung asa untuk bisa berbicara dengan gadis itu nanti. Ia tak ingin Kara salah paham. Namun, gadis itu menunduk dan terasa benar ia menghindari tatapan Rangga yang tak lepas menyasar padanya.
"Kamu udah punya calon istri kenapa jalan dengan cewek lain?"⁴ tanya Maemunah langsung tepat di sasaran. Ia tak suka berbasa-basi.
"Mak ...."
"Saya temennya Mas Rangga, Bu. Kami hanya berteman, tidak ada hubungan apa pun," sela Salsabila memotong ucapan Rangga.
"Berteman ya berteman, tapi kan nggak harus belanja berdua. Ada batasannya. Harusnya kalian bisa jaga perasaan. Saya nggak bisa menerima hal ini. Meski nggak ada hubungan, tapi tetep aja nggak etis. Saya nggak terima anak saya disakiti." Maemunah menatap Rangga dan Salsabila bergantian dengan sorot tertajamnya. Ia sangat kecewa.
Kara masih membisu. Tentu ia kecewa, teramat kecewa. Di saat ia berpikir bahwa Rangga adalah pelabuhan untuk menambatkan cintanya, keraguan itu kembali datang. Ia berpikir, apakah tidak ada laki-laki yang cukup dengan satu hati saja dan berhenti berpetualang mencari yang lain?
"Mak, saya bisa menjelaskan. Jadi gini, Ibu saya minta saya menemani Salsabila belanja. Sebenarnya saya ...."
"Kenapa kamu menuruti kemauan ibu kamu? Dan kenapa ibu kamu minta kamu nemeni Salsabila belanja? Apa ibu kamu nggak mikirin perasaan Kara?" Maemunah terus saja nyerocos. Ia sudah terlanjur kesal. Baginya penjelasan apa pun tak lagi berguna.
"Jadi gini, Bu. Ibu Mas Rangga nitip beli beras merah ke saya. Karena mobil saya sedang diperbaiki, beliau meminta Mas Rangga mengantar saya." Salsabila ikut menjelaskan. Ia juga tak ingin dicap mencari kesempatan. Memang ada ketertarikan pada duda satu anak itu. Namun, ia juga menyadari jika sudah ada Kara yang mengisi hati Rangga.
"Kenapa kok nitip beli beras sama kamu, kenapa nggak beli sendiri atau nyuruh anaknya. Atau bisa juga kan nyuruh Kara yang notabene calon istri Rangga?" Maemunah menatap Salsabila lekat. Ia lalu menyadari satu hal. Matanya beralih menatap Rangga lebih tajam dari sebelumnya.
"Oh, saya tahu ... Ibu kamu nggak mengganggap Kara. Kamu memang bilang anak saya sebagai calon istri kamu, tapi ibu kamu nggak. Saya juga mikir, kalau emang kamu serius harusnya kamu datang baik-baik ke rumah bareng orang tua. Sampai detik ini pun kamu nggak pernah datang sama orang tua. Nggak ada omongan langsung kalau kamu serius sama anak saya. Nggak ada kejelasan." Maemunah menahan segala deru emosi yang berkecamuk.
"Mak, tolong kasih saya waktu untuk menjelaskan." Sorot mata Rangga berkaca. Ia melirik Kara dengan tatapan memelas seolah meminta gadis itu untuk juga memberinya kesempatan.
Maemunah kembali melirik Salsabila yang terdiam.
"Elu juga sama aja. Bukannya menolak malah cari kesempatan jalan sama calon suaminya orang. Mereka belum nikah aja elu udah berusaha jadi pelakor! Jadi cewek itu yang punya harga diri, jangan memanfaatkan kesempatan deketin calon lakinya orang!" Maemunah menatap Salsabila dengan sorot kebencian.
Salsabila terkejut mendengar kata-kata pedas Maemunah. Baru kali ini ada yang berani berkata pedas padanya.
Maemunah menggandeng tangan Kara.
"Kita pulang saja, Kara. Sekarang kamu nggak usah datang lagi ke rumah Mas Rangga, nggak usah ngajar les lagi. Perempuan kudu punya harga diri. Nggak boleh diinjak kayak begini. Yang mau sama kamu banyak. Yang ridho menerima kamu sebagai menantu juga banyak. Ayo pulang!" Maemunah menarik tangan Kara dan berjalan menjauh.
Rangga mengusap wajahnya. Dia berencana akan segera menyusul Kara dan Maemunah ke rumah untuk menjelaskan duduk perkaranya.
"Mas, maafin aku. Aku nggak nyangka bakal kayak gini. Kalau tahu bakal gini, aku akan belanja sendiri." Salsabila menatap Rangga pias. Ia tak enak hati telah membuat situasi bertambah runyam.
"Nggak apa-apa, ini bukan salah kamu." Pikiran Rangga tak tentu arah. Ia harus menjelaskan semuanya. Ia tak ingin kehilangan kepercayaan Kara dan juga Maemunah.
******
"Emak kecewa sama Rangga. Benar-benar kecewa. Seenaknya dia belanja sama cewek. Elu nggak usah lagi ngarepin dia, Ra. Kagak bisa dipercaya, kagak bisa dijaga omongannya. Mentang-mentang orang kaya semena-mena sama kita. Mana ibunya nggak setuju. Nyiksa lahir batin kalau punya mertua yang kayak begitu. Sebelum melangkah lebih jauh, lebih baik elu sudahi hubungan elu sama Rangga. Banyak cowok lain yang lebih baik dan calon mertua yang juga lebih baik." Maemunah terus mencecar dengan satu toples berisi keripik nangka dalam genggaman. Ia ambil satu keripik lalu mengunyahnya dengan amarah yang masih merajai.
Kara merenung di kamar. Hatinya memang patah, tapi ia juga menyadari bahwa ia dan Rangga masih terlalu awal untuk menjalin hubungan. Mereka belum lama saling mengenal. Kini ia justru menyalahkan diri sendiri yang pada akhirnya jatuh pada pesona Rangga dan memercayai perkataannya.
"Emak nggak rela pokoknya kalau elu disia-siain begini. Hati dijaga biar nggak gampang terbuai kata-kata manis duda itu. Mentang-mentang ya anak Emak masih polos, dirayu-rayu, ngomongnya manis, beuh ... Kayak gitu pingin dapat gadis Emak. Jangan harap! Cowok kalau cuma bisa kasih PHP mending dijauhin. Udah nggak bener." Maemunah memungut kembali remahan keripik yang masih tersisa.
"Emak juga nggak suka sama cewek itu. Siapa namanya, ya, lupa Emak. Udah jelas kelihatan tuh cewek suka sama Rangga. Rangga juga lembek. Belum apa-apa udah disetir sama ibunya. Gimana nikah nanti. Yang ada, elu bakal makan ati ngadepin ibunya Rangga." Maemunah meletakkan toples di atas meja lalu berjalan menuju kamar Kara. Ia duduk di ujung ranjang. Ia amati putrinya yang tampak murung dan membisu seribu bahasa.
"Namanya cowok itu kalau udah nikah tetap jadi milik ibunya. Beda sama cewek yang kalau udah nikah, udah full jadi tanggung jawab suaminya. Elu nggak usah sedih. Sekarang elu nulis lah atau apa buat isi waktu. Atau cari pekerjaan lain. Emak nggak ngizinin elu balik jadi guru les anaknya Rangga." Maemunah melirik Kara yang tak menyahut apa-apa.
"Elu kenapa diam aja? Emak dari tadi nyerocos kayak kereta, elu-nya malah diem terus kayak lagi sariawan."
Kara mengembuskan napas. "Kara mesti nanggepin apa? Yang dibilang Emak bener semua. Ya udah, Kara nggak akan jadi guru les Qila lagi dan nggak akan terbuai sama kata-kata manis Mas Rangga."
"Cakep! Itu baru anaknya Emak. Nggak cengeng dan terus move on, bangkit dari segala keterpurukan. Harus seterong!" Maemunah tersenyum. Ia tahu Kara bisa melalui semuanya.
Suara salam mengagetkan keduanya. Kara dan Maemunah menjawab salam serempak. Wanita paruh baya itu lalu berjalan menuju ruang depan dan membuka pintu. Betapa kaget dirinya melihat Rangga yang mematung dengan membawa sekantong kresek di tangannya yang entah apa isinya.
"Elu mau apa?" Maemunah bertanya ketus.
"Ini saya bawakan pizza, Mak." Rangga berusaha bersikap setenang mungkin meski air muka Sang Emak tampak tak bersahabat.
"Elu pikir kita bisa disuap sama pizza?" Maemunah melotot. Nada bicaranya terdengar nyolot.
"Kasih kesempatan buat saya menjelaskan semuanya, Mak. Boleh kan saya masuk?" Rangga bicara tenang. Ia berharap masih ada kesempatan untuk meluruskan kesalahpahaman.
Maemunah tidak setega itu untuk mengusir Rangga. Ia persilakan Rangga untuk masuk. Namun, ia keberatan untuk memanggil Kara keluar.
"Saya ingin menjelaskan semuanya sama Emak dan Kara."
"Nggak perlu manggil Kara. Ngomong aja sama Emak. Kara denger kok dari kamarnya. Pokoknya Emak nggak izinin elu ketemu Kara." Rentetan kata Maemunah masih saja bernada ketus.
Rangga kecewa, tapi ia akan tetap menjelaskan semua meski Kara tak keluar menemuinya.
"Pertama mengenal Kara, saya memang menyukainya. Ketika orang tua saya menjodohkan dengan gadis pilihan mereka, saya berpikir keras bagaimana untuk membatalkan perjodohan itu. Ibu bilang kalau saya punya calon, mereka akan membatalkan perjodohan. Saya minta bantuan Kara untuk pura-pura jadi calon istri saya. Kara menyetujui. Namun, saya nggak bisa bohong kalau saya jatuh cinta sama Kara. Saya minta Kara untuk benar-benar menjadi calon istri saya. Kara nggak pernah memberi jawaban pasti. Tapi bagi saya, hubungan kami memang serius dan saya akan memperjuangkan." Rangga menghela napas sejenak.
"Sampai akhirnya, ibu mengenalkan saya lagi dengan perempuan lain, Salsabila dan berharap saya mau dijodohkan dengannya. Saya menolak karena saya sudah mencintai Kara. Jujur, ibu saya memang belum bisa menerima Kara. Ibu sengaja mendekatkan saya dengan Salsabila, termasuk meminta Salsabila berbelanja dan saya diminta mengantar. Itu juga bagian dari rencana Ibu. Awalnya saya menolak, tapi Ibu memaksa dan saya nggak sampai hati menolak permintaan Ibu. Demi Allah, nggak ada hubungan apa pun antar saya dan Salsabila." Rangga menyudahi kata-katanya. Ia harap ada respons positif dari Maemunah.
Kara diam-diam mendengar semua penuturan Rangga. Ia tahu Rangga tak mencintai Salsabila. Namun, ia tetap kecewa. Terlebih Rangga masih mudah dikendalikan oleh ibunya.
"Intinya orang tua Elu nggak setuju sama hubungan Elu dan Kara. Emak nggak mau pernikahan yang diawali dengan masalah restu. Elu sebagai cowok juga kurang tegas. Masa mau aja disetir sama Emak elu. Kapan dewasanya? Elu harus punya prinsip. Jangan kayak kapal yang terombang-ambing di laut. Anak Emak punya hati, punya perasaan. Perempuan mana pun bakal cemburu dan marah melihat calon suami atau pacar atau apa lah namanya jalan sama cewek lain meski katanya nggak ada hubungan apa-apa."
"Saya akan berjuang untuk mendapatkan restu orang tua saya, Mak. Saya juga akan berjuang untuk mendapatkan restu Emak dan Bapak. Selama Kara mau berjuang sama saya, saya akan berjuang." Ada kesungguhan dan keyakinan kuat dari kata-kata yang meluncur. Namun, itu tak cukup meluluhkan Maemunah.
"Ngomong mah gampang. Kara butuh bukti nyata. Yang pasti Emak nggak akan merestui selama orang tua elu nggak kasih restu. Dan Emak nggak suka sama cowok plin-plan, nggak tegas, dan nggak punya pendirian!" Maemunah menatap Rangga tajam, siratkan ultimatum untuk tidak mempermainkan putrinya.
"Baik, saya akan berjuang untuk Kara. Saya akan bersikap lebih tegas. Saya hanya ingin Kara berjuang bersama saya." Rangga berharap Kara keluar untuk menemuinya. Harapannya nihil.
Sampai akhirnya Rangga pamitan, Kara tak jua beranjak. Gadis itu membuka tirai jendela kamarnya. Netranya memandang lepas ke arah Rangga yang membuka pintu mobil. Sudut matanya menggenang. Ia tak ingin bermain dengan hati. Ia tak akan membiarkan hatinya sakit. Ia tak ingin air matanya tumpah sia-sia seperti saat ia menangis untuk Daren.
******
Malamnya Rangga tak jua bisa terpejam. Sosok Kara menghantui pikirannya. Nama itu terus bergema, mengetuk dinding hati tanpa jeda.
Rangga terlanjur jatuh hati pada Kara dan ia tak ingin berhenti berjuang. Ia ambil ponselnya lalu menelepon Kara.
Rangga kecewa karena Kara tak menjawab panggilan teleponnya. Ia tak kehabisan akal. Ia kirim pesan untuk Kara.
Kara, maafkan saya. Mungkin kamu sudah mendengar penjelasan saya waktu saya ke rumah tadi siang. Saya benar-benar minta maaf. Saya hanya ingin kamu memberi saya kesempatan untuk membuktikan bahwa saya serius sama kamu.
Tak ada balasan dari Kara. Rangga mengirim pesan lagi.
Saya nggak pinter merangkai kata, tapi saya akan buktikan keseriusan saya. Saya nggak akan berhenti memperjuangkan kamu.
******
Next, persaingan Rangga dan Daren semakin ketat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro