Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Tawaran Kerja

Tiga tahun kemudian...

Kara mengembuskan napas kesal dengan tatapan sayu tertuju pada layar ponselnya. Dua tahun sejak lulus kuliah, ia hanya kerja serabutan karena tak pernah lama bertahan bekerja di satu tempat. Pertama kerja di perusahaan properti, ia kena PHK massal. Kedua bekerja di koperasi, ia keluar karena berselisih dengan salah satu rekan kerjanya. Kara memilih resign karena sudah tak nyaman. Sejak itu ia lakukan pekerjaan apa saja asal halal dan mampu mencukupi kebutuhan keluarga, minimal kebutuhannya sendiri. Setidaknya ia bisa membeli kuota sendiri tanpa harus meminta pada orang tuanya.

Kara adalah anak tunggal. Ibunya meninggal saat dia berumur tujuh belas. Ia masih saja merasa bersalah atas kematian ibunya. Waktu itu dia berboncengan dengan ibunya menuju pasar. Ada satu mobil melaju begitu cepat dari arah berlawanan. Dan kecelakaan itu terjadi. Ibunya tak selamat, sedangkan Kara hanya mengalami luka-luka. Kara selalu menyalahkan dirinya. Sejak itu ia trauma mengemudi motor.

Ayahnya telah menikah lagi tepat di ulang tahunnya yang ke-22, sebulan setelah wisuda. Pernikahan itu menjadi hadiah terburuk baginya. Ia tak pernah cocok dengan ibu tiri dan saudara tirinya. Bahkan sang ibu tiri kerap membandingkannya dengan putrinya yang selalu digadang-gadang sebagai perempuan bertalenta dan berkelas.

Kara merenungi jalan hidupnya di petak berukuran 3x3 meter. Ia bersedih atas semua perjalanan hidup yang ia pikir tak pernah memberikan kesempatan baik padanya. Lulus kuliah dengan IPK yang bagus nyatanya tak menjamin kesuksesan di dunia kerja. Sering ia minder kala bertemu teman-teman lamanya yang sudah memiliki pekerjaan bagus. Ada juga yang sudah menikah, sedangkan dirinya, hingga di usia 24 ini, dia belum pernah sekali pun berpacaran. Bukan tidak ada yang mendekat. Pernah ada yang memintanya menjadi kekasihnya. Namun, Kara tak menganggapnya serius. Ia hanya punya satu nama yang masih bertahta di hatinya. Daren, sahabat masa kecil yang tidak pernah tahu jika Kara menyimpan rasa untuknya.

Kara mencoba peruntungan dengan menyalurkan hobi menulis di salah satu platform menulis yang memberikan penghasilan untuk penulis. Sayangnya, tulisan-tulisannya belum mampu menghasilkan royalti yang cukup. Pernah ia mencoba menerima tawaran penerbit indie untuk menerbitkan salah satu karyanya. Hasilnya jauh dari harapan, bukunya kurang laku dan hanya sedikit yang memesan.

Kara kehilangan semangat. Ia merasa tak punya keistimewaan apa pun. Hidupnya berjalan standar tanpa ada pencapaian berarti.

Rasa sedih itu semakin menguat kala Daren memberi tahunya bahwa ia telah resmi jadian dengan Irish, cewek cantik yang sudah dikagumi Daren sejak SMA.

Patah hati membuatnya semakin terpuruk. Segala sudut dunia seakan terlihat gelap di matanya. Harapannya pupus dan ia bingung hendak melangkah ke mana. Ia ingin menekuni hobi menulisnya untuk memberi tambahan income, tapi karya-karyanya tak ada yang sukses di pasaran.

Kara mengambil ponsel dan mulai mengetik bab terbaru novel yang sedang ia kerjakan. Tiba-tiba pintu kamarnya bergeser. Sudah menjadi kebiasaan sang ibu tiri yang suka tiba-tiba masuk kamar tanpa mengetuk pintu atau mengucap salam.

"Hmm, santai banget ya main hape mulu. Bantu nyuci piring, kek atau masak. Anak perawan kerjaannya cuma males-malesan. Gimana bisa dapet jodoh?" Maemunah atau yang biasa dipanggil Mae nyerocos dengan menatap Kara begitu tajam.

Kara kesal karena lagi-lagi sang ibu tiri menghancurkan mood menulisnya.

"Kara lagi nulis, Mak." Nada bicara Kara terdengar sedikit sewot.

"Nulis, nulis, nulis, selalu itu alasannya. Hasilnya mana? Nggak dapat apa-apa masih aja nulis. Lihat tuh si Devi, anaknya Mpok Komariah. Katanya kemarin dapat royalti ratusan juta dari platform. Udah kebeli mobil bagus banget, tuh. Itu namanya penulis sukses, bisa banggain ortunya. Atau si Sari, nerbitin buku laku banyak, dapat royalti 10 jutaan, lumayan buat bantuin emaknya bayar utang. Nah elu, cuma ngabisin kuota doang."

Kara semakin malas mendengar celoteh ibu tirinya yang sepanjang kereta api.

"Kalau elu nggak bisa mencontoh si Devi atau Sari, contoh tuh kakak elu. Manda dapat kerjaan bagus, anaknya juga cantik, pinter dandan, nggak kayak elu anak perawan siang gini aja belum mandi. Sekarang Manda lagi deket sama bosnya. Elu jadi cewek harus berkelas dikit, nggak yang cuma lantang-luntung di rumah, nganggur, mau jadi apa lu?"

Kara melirik sang emak yang tengah berkacak pinggang. Sudah kesekian kali Kara mendengar Maemunah meremehkannya dan membandingkan dengan cewek-cewek yang dianggap sukses, berkelas, bertalenta, pintar dandan, punya pekerjaan mentereng, dan lain-lain.

"Kara mau jadi penulis yang menginspirasi," balas Kara tegas.

"Alaaahh ... menginspirasi tapi nggak menghasilkan. Di dunia ini yang paling penting itu duit." Maemunah menjentikkan jari telunjuk dan ibu jarinya.

"Semua orang butuh uang buat makan. Buat berbuat baik sama orang juga paling sempurna kalau dibarengi sama duit. Elu masuk WC umum aja bayar. Nggak usah sok idealis. Contoh tuh si Devi, nulis cerita yang bikin emak-emak baper. Emang sih kayak sinetron yang panjang banget episodenya, tapi nyatanya cerita dia laku. Nah elu, nulis kadang sampai begadang, tapi nggak ada hasilnya. Realistis, Ra! Elu butuh makan, butuh mempercantik diri elu. Emak sama Bapak udah tua, udah waktunya elu yang berkarya."

Kara semakin muak mendengar celotehan Maemunah yang sudah seperti caleg sedang berorasi. Meski ia akui, kadang perkataan sang emak ada benarnya. Ia akui dia memang idealis, belum bisa mengikuti selera pasar ketika menulis. Kara hanya ingin sesuatu yang beda, sesuatu yang benar-benar keluar dari hatinya, bukan perkara mengikuti selera pembaca. Kadang yang idealis akan terpinggirkan. Namun, Kara tak menyerah. Ia tetap menulis, tak peduli jika hasilnya baru bisa untuk membeli kuota dan kebutuhannya. Kadang ia berikan sebagian pada orang tuanya dan dibalas dengan senyum mengejek dari Maemunah. Wanita itu membandingkan dengan apa yang diberikan Manda, putrinya. Apa yang diberikan Manda jauh lebih besar dari apa yang diberikan Kara.

"Doain aja suatu saat Kara dapat hasil yang lebih baik dari menulis," jawab Kara tanpa menoleh Maemunah.

"Selalu Emak doain elu, Ra. Kalau emang nggak mampu moga elu dapat orang kaya ya, biar derajat Emak Bapak naik." Maemunah berlalu dari kamar.

Kara merenung kembali. Perasaan insecure kembali melanda. Di benaknya bergelut sejuta tanya, apa yang bisa dia lakukan untuk bersinar? Mengubah image "remah rengginang" menjadi sesuatu yang lebih elegan dan berkelas. Apa yang harus ia lakukan untuk mengukir prestasi? Namun, ia kembali teringat pada niat awal menulis. Bukan ketenaran atau kekayaan yang ia kejar. Bahkan, ia juga tak peduli semisal daun di halaman juga tak tahu bahwa Kara adalah seorang penulis. Kedua sudut bibir Kara membentuk segaris senyum. Penulis? Ah, dia pikir dia masih harus belajar banyak hal.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari Desti, mantan rekan kerjanya.

Ra, kamu belum dapat kerjaan, kan? Aku ada tawaran. Kayaknya kerjaan ini cocok buat kamu, deh. Sepupuku lagi nyari guru les buat anaknya yang masih SD. Kamu mau nggak? Kalau mau, hari ini juga aku jemput kamu, dan kita bareng-bareng ke rumah sepupuku.

Kara mengernyit. Ia rasa tak ada salahnya mencoba menerima tawaran Desti.

******

Lanjut, ga? 😁


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro