BAB 5 - H-7 Pernikahan
"Hidup itu tentang keputusan yang kamu pilih dan masa depan yang kamu rencanakan. Jangan membuat keputusan kalau tidak siap dengan konsekuensinya."
***
CACA MEMANDANGI CINCIN yang melingkar manis di jarinya. Cincin yang disematkan oleh Adit punya desain unik karena memiliki konsep tentang laut. Bentuknya berupa lingkaran seekor paus yang dihiasi butiran berlian biru, sementara punya Adit hanya lingkaran polos dengan hiasan senada.
Caca sudah tunangan. Beneran punya pasangan dan akan segera menikah minggu depan. Minggu depan. Dia mengingat-ngingat lagi semua ucapan iseng yang dikeluarkannya secara asal.
"Gebetanmu udah nikah, noh. Kamu kapan?"
"Minggu depan, kalau gak hujan."
Caca meneguk ludah.
"Jadi, kapan kamu lamarannya, hmm?"
"Tenang aja, entar juga aku dilamar."
"Entar kapan?"
"Entar malem!"
Ternyata ucapan adalah doa.
Lalu, perasaan kemarin dia masih sibuk mengejar rank immortal, push rank sampai lupa waktu. Sekarang, mendadak dia disibukkan dengan persiapan nikahan. Lagian, Caca pengin deh memukul kepalanya sendiri, menyesali kenapa pula kemarin malam dia langsung meminta Adit untuk menikahinya minggu depan.
Pintu kamar diketuk. Vanda masuk dengan wajah semringah. "Neng, itu si Aa udah di depan. Ayo turun!" Namun, seketika eskpresinya berubah. "Astagfirullah, masa masih pakai tampilan tomboi gini, sih? Pakai gaun atuh, Neng, biar si Aa makin kelepek-kelepek!"
"Gak nyaman, Ma, kalau pake rok, tuh," protes Caca sambil merengut.
Omelan Vanda meledak setelahnya. Tentu saja wanita itu mengomel sambil menyuruh Caca ganti baju.
Dari acara lamaran dadakan itu, Vanda-lah yang terlihat paling bahagia. Bahkan, tadi pagi Caca dengar sendiri, mamanya menelepon banyak sanak keluarga dan memberitakan kebahagiaan mereka di grup WhatsApp keluarga besar. Termasuk menghadapi drama Fahmi yang langsung mengomeli Caca habis-habisan atas lamaran mendadaknya. Bahkan, sempat-sempatnya pria itu mencurigai sang adik melakukan tindak kejahatan sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga Ikram Rivandra.
"Haduh, masa gak ada rok satu pun, sih?" Vanda masih mengomel.
"Mama lupa ya, anaknya kan tomboi dan kata Mama setengah jelmaan laki," kata Caca santai. Dia masih duduk anteng di depan cermin.
Hari ini hanya sedikit jadwal kegiatan Caca, yakni memesan kue pengantin langsung ke toko kue rekomendasi Vera. Fitting gaun pengantin sudah kemarin. Vanda melarangnya melakukan banyak kegiatan, apalagi bepergian karena katanya pamali. Selain itu, berkat bantuan Ega, sang ketua tim PPCA (panitia pernikahan Caca dan Adit), sebagian besar persiapan yang rumit-rumit ditangani mereka. Jadi, semua sahabatnya sekarang sedang sibuk, tak bisa diganggu. Caca cuma bisa mengetahui semua aktivitas mereka dari grup WhatsApp 'Tim PPCA'.
Di ruang tamu, Adit sudah menunggu kemunculan calon istrinya sambil iseng memainkan ponsel. Ikram katanya tengah ke luar, menemui kerabat. Jadi, dia tak ada teman mengobrol.
"Nak Adit, maaf ya, nunggu lama." Suara Vanda membuat Adit menoleh dan langsung berdiri.
"Hai," sapa Caca canggung. Pada akhirnya dia kembali ke setelan pabrik gara-gara tak punya rok atau gaun satu pun-kecuali gaun formal bekas wisuda-di lemari pakaiannya.
Berhadapan dengan Adit rasanya begitu canggung. Selain karena orang itu masih asing baginya, Caca juga bukan tipe wanita yang mudah akrab dengan pria. Dia bisa menjalin persahabatan dengan Ega, Zeze, Isam, Gavin, dan Dian juga karena perantara Vera. Vera memang sahabatnya yang eksrover.
"Tidak apa-apa kok, Tante," balas Adit sambil tersenyum. "Halo, Cahaya!" Dia lalu mengulurkan tangan saat Caca sudah tiba di depannya. Keduanya pun berjabatan dengan canggung sebelum duduk berhadapan.
"Masyaallah, cantiknya calon istri," sambung Adit tiba-tiba.
Sontak saja muka Caca langsung panas, belum lagi dikompori oleh godaan Vanda. Untungnya wanita itu langsung pamit ke dapur dengan alasan mau lanjut menelepon sanak keluarga.
"Terima kasih," balas Caca yang mendadak panas dingin. Tidak, ini bukan cinta. Perasaan yang terlalu asing ini lebih susah didefinisikan olehnya.
"Pukul sembilan, kayaknya kita ke luar paling telat dua jam. Atau kamu ada perlu dulu, sekalian kita ke luar?" Adit kembali berbicara normal. Pria itu bisa dengan mudah menguasai diri.
"Emmm ...," sebenarnya Caca malu untuk mengatakan ini, "kata Mama tadi, harus ke mal juga, buat beli ... rok sama gaun."
Ekspresi Caca terlihat menggemaskan. Hampir saja Adit tertawa melihatnya. "Oke," katanya yang bingung mau bicara apa lagi.
"Ta-tapi, kayaknya ke mal sama Vera aja, deh. So-soalnya dia lebih tahu soal fashion, sementara aku buta tren," sambung Caca dengan patah-patah.
Mendengar itu, Adit hanya pasang senyum. Caca terlihat salah tingkah dan itu menurutnya lucu. Entahlah, meski dia sudah bertemu banyak wanita, baginya Cahaya Januari itu punya daya tarik yang berbeda. Apa karena sudah akan dihalakannya kali, ya?
"Sama aku aja, sekalian kita pendekatan, kan?" saran Adit. Secara lancar dia mengubah sapaan kaku mereka menjadi aku-kamu.
"Eh, pendekatan?" Lagi-lagi muka Caca memanas. Dia bingung sendiri, kenapa di dekat Adit dirinya jadi sedikit-sedikit salah tingkah?
"Iya, pendekatan sama calon suami kan gak apa-apa, biar kamu makin mantap sama aku," jawab Adit yang aslinya juga salah tingkah. Sejak tadi jantungnya berdebar kencang. Untunglah Sam sudah memberinya wejangan sebelumnya tentang solusi kalau-kalau dia nge-blank saat di dekat Caca.
Vanda melihat hal tersebut dan menahan tawa geli. Dia belum pernah melihat anak perempuannya malu-malu begitu. Jadi, pemandangan ini cukup menghibur.
"Nak Adit nyetirnya jangan ngebut-ngebut ya, terus di jalan hati-hati. Kalian seminggu lagi pengantin, lho," katanya yang memasuki ruang tamu untuk menyelamatkan Caca. "Kalau mau jalan dulu silakan, tapi jangan kemalaman pulangnya."
"Baik, Tante," jawab Adit.
"Kok, Tante, sih?" protes Vanda. "Mama, panggil mama. Kan, sekarang Mama ini mama kamu."
Adit tersenyum canggung dan meminta maaf. "Iya, Ma, maaf."
Vanda hanya memberikan senyum maklum. "Ya sudah, kalian mending berangkat sekarang, takut keburu hujan." Tangannya terulur, merapikan helai-helai rambut Caca yang dibiarkan tergerai. "Duh, ini anak Mama kapan sih pakai rok? Ke mana-mana pakai celana sama jaketan. Gak malu apa sama calon suami?"
Sindiran halus itu tentu membuat Caca tersipu malu.
"Gak apa, Ma, Caca dalam bentuk apa pun tetap cantik," sanjung Adit tulus.
"Cieee, digombalin!" goda Vanda sambil menahan tawa geli. Sontak saja Adit dan Caca kompak salah tingkah, membuat tawa wanita itu makin berderai mengisi ruang tamu.
Lima menit kemudian, keduanya pun pamit dengan masih menahan debar di dada. Sekarang Caca dan Adit sudah dalam perjalanan menuju toko kue, duduk diam-diaman di dalam MG 5 GT kuning yang dikendarai santai oleh Adit. Lalu lintas ruas Jalan Kopo Bihbul tampak lancar oleh kendaraan roda dua maupun empat. Langit pun sedikit mendung, membuat semua manusia yang beraktivitas tak terlalu kepanasan.
"Kamu punya konsep pernikahan impian gak?" Adit bertanya sambil menyandarkan tubuh ke kursi. Mereka berhenti di lampu merah.
Caca berpikir sejenak. "Gak ada yang spesifik, apalagi semua diurus Vera sama Ega. Tapi aku pengin yang simpel aja, sih. Kayak warnanya yang soft-soft. Terus, ini impian Mama sih, nikahnya gak perlu di gedung mewah. Mama pengin di rumah aja, toh ada halaman luas yang kayaknya cukup. Katanya, biar resepsi diadakan sepuasnya. Kalau sewa venue kan sayang duit juga."
Sambil menyetir, Adit memperhatikan dengan saksama setiap kata yang diucapkan oleh calon istrinya. Calon istri? Dia jadi senyum-senyum sendiri.
"Lah, kenapa senyum?" Rupanya Caca menyadari ekspresi itu.
"Maaf, aku lagi mikirin hal lain," aku Adit dengan nada tak enak.
"Hmm." Caca membalas cuek, membuat suasana berubah canggung. Ah, padahal dia sudah berusaha lebih banyak mengeluarkan kosa kata, sesuai arahan Vera, tetapi apa-apaan dengan respons Adit?
Menyadari ekspresi Caca, Adit buru-buru menjelaskan, "Aku lagi mikirin ternyata sekarang aku punya calon istri, dan sekarang dia duduk di samping aku." Dia berkata dengan enteng sambil membawa mobil belok ke kiri.
Garing, deh, komentar Caca dalam hati. Namun, tak ayal senyum malu-malunya melebar juga. Jantungnya tak bisa diajak kompromi, nih.
Mobil akhirnya menepi di area parkir Kopaka Cake & Bridal. Terlihat beberapa kendaraan terpakir juga di sana, menandakan bahwa toko kue tersebut sedang ramai.
"Ayo, Cahaya!"
Caca memandangi tangan kanan Adit yang terulur ke dekatnya, diam cukup lama. Setelah beberapa saat lalu pria itu membukakan pintu mobil untuknya, sekarang tindakan romantis apa lagi yang diperbuatnya? Tambah lagi, kok Adit senang sekali menyebutnya dengan sapaan 'Cahaya'?
"Kenapa? Kamu gak nyaman dengan sikapku?" Adit ini benar-benar to the point.
Sontak saja Caca menggeleng. "Bukan gitu," sangkalnya. Dia berakhir memberikan tangannya untuk digenggam pria itu. Rasanya ada sengatan saat tangan keduanya saling genggam.
Adit dan Caca lalu memasuki toko kue dan berada di sana cukup lama untuk melakukan perundingan dengan sang pemilik. Karena keduanya tidak neko-neko dan langsung searah, sekitar satu jam kemudian, mereka pun meninggalkan lokasi.
"Habis ini jadi ke mal, mau gak?" tawar Adit.
"Mau apa?" Caca menyuap nasi padang dengan lahap.
"Beli pakaian yang kamu bilang tadi? Sekalian jalan," jawab Adit ragu.
Caca menimbang-nimbang. Belanja berdua sama pria? Bagaimana nanti kalau mereka jadi pusat perhatian? Namun, sepertinya tidak apa-apa karena Adit adalah calon suaminya.
Calon suami? Duh, jantung Caca rasanya terjun bebas tiap ingat dua kata sakti itu. Ragu tetapi harus dihadapi, dia sendiri yang meminta Adit untuk segera menikahinya, jadi harus segera terbiasa dengan segala kehadiran pria itu setelah malam kemarin, apalagi usai akad minggu depan.
"Boleh, deh," putus Caca setelah berpikir.
"Ada saran?" Adit bertanya sambil membukakan pintu mobil untuk Caca.
Caca berpikir sesaat. Ada Miko Mall yang tinggal jalan kurang lebih lima menit dari sini, jadi perjalanan mereka akan cukup singkat. Namun, ini sudah mau pukul 12.00, waktunya Zuhur.
"Cari masjid aja dulu, habis itu terserah ...," Caca bingung mau memakai sapaan apa, "terserah Kakak aja mau ke mana."
"Oke, Sayang," kata Adit usil, yang berujung membuat Caca kaget sampai memelotot tanpa sadar.
DIH?
***
DIH, DIH, DIH, ADIT KENAPA WOIII?😭😭😭🤟
MENYALA, PAK KAPTEN!😭🤟🤟🤟
Btw, terima kasih untuk vote n komennya, Gais.💞
Labyuuu.
RRRAURRR🐊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro