BAB 4 - Lamaran Dadakan
"Laki-laki yang serius akan datang langsung ke rumah. Karena laki-laki yang benar-benar mencintaimu, tak akan lebih lama menggantungmu dalam ketidakpastian."
***
SELEPAS BERBINCANG SANTAI dan melaksanakan salat Isya, ruang keluarga kediaman Ikram Rivandra mendadak diliputi ketegangan, terutama dua orang yang menjadi inti acara.
"Jadi, sesuai yang sudah kami jelaskan sebelumnya, bahwa kedatangan kami ke sini pun ada maksud tertentu." Seorang pria berbicara dengan penuh wibawa, sepertinya dia ayah Adit. "Sebelum itu, Nak Caca, ada yang ingin Adit sampaikan kepada kamu."
Aditya Pratama mengangguk begitu dipersilakan bicara. Dia pun menghadap Caca. "Cahaya, sebelumnya saya minta maaf karena ingkar atas ucapan saya sendiri. Saya mendapat musibah, saudara dekat saya kecelakaan dan meninggal sehari setelahnya. Jadi, saya tidak bisa memenuhi janji saya sama kamu. Lalu, saya terlalu fokus mengurus permakaman, saya tidak sempat cek ponsel." Dia terlihat menggosok-gosok pelan kedua telapak tangannya.
Sekarang Caca sudah tampil cantik dan feminim—dengan gaun pinjaman Vanda yang untungnya cocok—gara-gara dipaksa dandan oleh Vanda dan Vera. Mana mode buru-buru karena mereka hanya punya waktu beberapa menit bada Isya, itu pun sudah ditunggui oleh para tamu. Untunglah Vera punya tangan sakti sebagai perias berpengalaman.
"Tidak apa-apa." Jujur saja, hati Caca campur aduk sekarang. Namun, jelas dia paham dan bisa menerima alasan Adit. Bagaimanapun kehilangan orang terdekat merupakan pukulan berat.
Lalu, pandangan Caca teralih pada Vera dan Ega, duo sahabat somplaknya yang pastilah menjadi biang kerok dalam acara ini.
"Terima kasih. Jadi, kedatangan saya ke sini adalah untuk memenuhi janji saya sama kamu. Saya ingin melamar kamu. Apa kamu bersedia menjadi pendamping hidup saya?" tanya Adit to the point.
"Dit, Dit, gak ada romantisnya banget," bisik seorang pria sepantaran Adit yang duduk di kursi dekat Ikram. Dia langsung mendapat teguran dari pria di sebelahnya. Mungkin keduanya sahabat Adit.
Caca melempar tatap pada kedua orang tuanya.
"Semua terserah kamu, Neng," kata Vanda sambil menahan senyum. Jelas sekali wanita itu tengah menahan kebahagiaannya yang teramat sangat. Itu berarti, Adit sudah berhasil mendapat lampu hijau dari kedua orang tuanya.
Caca beralih pada sahabat-sahabatnya yang malah memberi gerakan heboh, pertanda mendukung penuh untuk menjawab 'iya'. Vera justru kelihatan sibuk merekam. Kemudian, kepalanya memutar kembali ucapan Vanda selagi mereka bersiap tadi di kamar.
"Laki-laki yang serius akan datang langsung ke rumah, menemui Mama sama Ayah untuk meminta izin atas kamu, bukan cuma tebar kata-kata dan janji manis untuk bikin kamu baper, tetapi sulit kasih kepastian. Karena laki-laki yang benar-benar mencintaimu, tak akan lebih lama menggantungmu dalam ketidakpastian."
Dalam keheningan suasana yang makin menegangkan, Caca menghela napas. "Apa saya boleh meminta waktu sebentar?" tanyanya ragu.
"Silakan," jawab Adit.
"Gak perlu berpikir lama, Neng. Ayah sama Mama udah sip," kata Ikram sambil mengacungkan jempol dan pasang senyum lebar.
"Lima menit, kasih aku waktu untuk berpikir lima menit," pinta Caca yang diangguki oleh Adit dan keluarganya.
Waktu yang cukup singkat itu akhirnya membuahkan satu pertanyaan di benak Caca.
Caca berdeham. "Seperti yang Anda sekalian lihat, tampilan saya begini. Saya pun selalu merasa saya tak secantik wanita di luaran sana. Saya hanyalah wanita yang serba kekurangan dan masih seadanya. Saya bukan wanita yang amat paham agama. Meski begitu, saya pernah dan terus dididik dalam segi agama oleh kedua orang tua saya. Apa hal tersebut bisa diterima?"
Hal pertama yang dilihat Caca dari reaksi Adit adalah senyuman. Kesiapan, itu adalah topik yang selalu mengganggu Caca saat akan memulai hubungan serius atau sekadar dekat dengan pria. Apalagi setelah penolakan Zeze, yang berakhir membuat traumanya makin menganga.
Selama ini, bagi Caca, hanya Zeze pria yang bisa dia percaya. Pria yang bisa memberinya kebutuhan dari lawan jenis tanpa merusaknya secara perlahan oleh ikatan pacaran. Namun, ternyata Zeze tidak memiliki kriteria pria yang dibilang oleh mamanya.
"Pernikahan adalah untuk menggenapkan ibadah, Cahaya," suara Adit menggema, "yang artinya media belajar bersama, bukan untuk berlomba perkara harta dunia. Saya pun serba kekurangan. Namun, bukankah justru dengan adanya kekurangan, kita bisa terus mempelajari satu sama lain yang membuat ikatan ini terasa indah?"
Caca terlihat kagum dengan jawaban pria itu.
"Kalau saya mencari pasangan dari segi fisik, saya tak akan puas pada satu wanita. Lagi pula, cantik tak menjamin setia, tak menentukan hubungan bahagia." Ada senyuman tipis di wajah Adit saat itu, sementara tatapannya terus mengunci Caca. "Harta dan takhta bisa dicari atau hilang sendiri, bisa diusahakan bersama agar lebih menyenangkan. Jadi, jangan terlalu mempermasalahkan hal tersebut."
Caca kembali menatap kedua orang tuanya. Mereka mengangguk. Dia beralih pada sahabat-sahabatnya yang tampak bahagia. Mereka juga mengangguk. Lalu, tatapannya berhenti pada Deby, yang terpaksa diizinkan ikut karena Zeze ingin menyaksikan proses lamarannya. Ada ekspresi mencurigakan di wajah wanita itu, tetapi Caca tak bisa menelitinya lebih lama.
"Baiklah, bismillah, saya percaya ini sudah ketentuan Allah dan Allah-lah yang menggerakkan hati saya." Caca menghela napas berat, dadanya bergemuruh hebat, tangannya bergetar pelan. Suaranya sedikit gemetar saat melanjutkan, "Saya terima lamaran Anda."
"Alhamdulillah!"
Sontak saja jawaban itu membuat hati setiap orang di ruangan menjadi lega. Suasana pun mulai diselimuti keharuan. Ada senyum cerah yang terpancar dari tiap-tiap wajah juga kalimat syukur sedikit meramaikan suasana. Namun, ada satu ekspresi keruh di sana, terselip dan berupaya disembunyikan dengan topeng senyuman lebar.
"Tapi ...." Suara Caca kemudian menahan keharuan mereka, membuat suasana kembali hening. Semua mata langsung tertuju padanya. "Apa Anda siap kalau mengadakan pernikahan seminggu dari sekarang?
Semua mulut nyaris terbuka lebar begitu mendengar kalimat itu.
"Kamu gila, Ca?" Tidak, itu bukan Adit, melainkan Vera. Dia kelepasan mengucapkan kalimat itu di tengah keheningan suasana. Namun, memang beberapa orang setuju dengannya karena permintaan Caca terlalu tiba-tiba. "Kamu gak jadiin Adit pelampiasan rasa sakit hatimu, kan?"
"Heh!" Ega memukul pelan pahanya.
"Mulutmu!" Gavin ikut-ikutan menyemprot wanita itu.
Caca berdeham, mengintip reaksi Adit yang tampak biasa saja. "Gak, Ver. Sekarang aku udah 25 tahun, ngapain ngejalani hubungan yang sia-sia? Umur segini udah bukan masanya main-main dengan asmara. Enaknya langsung komitmen serius, daripada habisin masa bertahun-tahun yang akhirnya ditikung ... takdir?"
Jawaban itu sontak mengembalikan suasana yang sempat pecah karena celetukan Vera.
Sekarang giliran Adit yang berdeham. Jantungnya berdebar cepat mendengar ucapan lugas Caca. "Ya, saya siap, Cahaya. Kalau perlu, kita atur semuanya sekarang sekalian," jawabnya mantap.
"HEEEEE?" Ega, Vera, Isam, Vanda, Ikram, bahkan teman-teman Adit—Sam dan Tri—kompak teriak kaget.
"Masa pernikahan kalian kayak dikejar deadline, sih?" sambung Vera yang masih belum puas menyalurkan keterkejutannya.
"Tenang, tenang!" Ega mengambil alih suasana. "Sebagai sahabat baik Caca, kami siap jadi pasukan Romusa untuk persiapan nikahan kalian!"
"Setuju!" jawab Vera.
"Aku siap sih jadi fotografernya," sambung Sam.
"Ya udah, aku MC-nya sama Ega dan Isam." Gavin ikut-ikutan.
"WO mah tinggal sewa si Vera," komentar Isam dengan santai.
Suasana seketika ramai oleh sahabat Adit dan Caca yang gantian mengajukan diri. Di tempat masing-masing, kedua orang tuanya justru hanya bisa geleng-geleng sambil tertawa renyah.
"Nak Adit," panggil Ikram serius.
Kehebohan seketika lenyap.
"Iya, Om," jawab Adit sopan.
"Saya harap kamu tidak main-main terhadap putri kesayangan saya." Ikram memberikan tatapan menusuk yang seperti menguliti tubuh Adit habis-habisan. "Karena sampai sekarang saya masih takut menyerahkan putri kesayangan saya pada pria."
Ikram sampai menyebut 'putri kesayangan' dua kali, menandakan bahwa dia benar-benar menjadi garda terdepan Caca. Tubuh Adit merinding begitu saja mendengarnya. Dia seperti berhadapan langsung dengan seorang raja terkuat penuh kharisma, sementara dirinya hanya seorang budak kurus kering tanpa kekuatan.
Sebelum menjawab, dia dengan susah payah menelan ludah. "Saya tidak main-main dengan ucapan dan keputusan saya, Om. Saya berjanji akan melaksanakan janji saya dengan Anda tadi."
Janji? Caca tertarik mendengar kata itu. Janji apa yang telah kedua pria itu buat atas dirinya?
Tawa Ikram berderai. Suasana tegang seketika mencair. "Baiklah, saya bisa percaya kamu meski sepasang mata saya tak akan pernah lepas sekali pun dari gerak-gerik kamu."
Ikram benar-benar seorang ayah yang menyeramkan. Bahkan, meski di depan kedua orang tua Adit langsung, dia bersikap begitu tegas pada pria itu.
"Satu lagi."
Adit baru saja merasa lega, tetapi suara Ikram membuat tubuhnya kembali menegang. Sepasang matanya takut-takut menatap pria yang tampak penuh kharisma itu.
"Jangan panggil om-lah, kan sebentar lagi kamu bakal jadi anak saya juga. Panggil ayah aja," sambung Ikram.
"Cieee!" Sorakan datang dari teman-teman Caca dan Adit.
Entahlah, suasana yang harusnya serius itu malah diselingi candaan dan momen-momen lawak. Bahkan, acara lamaran yang seharusnya serius lagi mendebarkan, mencair begitu saja sehingga agenda tersebut bisa berjalan lancar. Tidak sesuai ketakutan Adit, yang sampai kalang kabut tak karuan saat akan menyiapkan acara dadakan ini. Untunglah ada Ega sebagai penjembatan dirinya dengan Ikram dan Vanda. Vera juga diam-diam membantu meski tidak berinteraksi langsung dengan Adit.
Acara hangat itu kemudian berlanjut sampai pukul sepuluh malam. Adit tampak lebih banyak berinteraksi dengan Ikram, sementara teman-teman Caca dan Adit secara ajaib melanjutkan pembentukan tim PPCA. Malah, mereka membentuk rombongan sendiri di ruangan berbeda dan melaksanakan rapat agung.
Kemudian, tibalah rombongan Adit harus pamit untuk kembali ke Cimahi. Danita Maharani, ibu Adit, malah sudah cipika-cipiki dengan Vanda. Ikram dan calon besannya, Biantara Pratama, juga sudah salaman akrab khas bapak-bapak.
Lambaian tangan mengiringi kepergian rombongan yang terdiri dari tiga mobil itu. Beberapa saat kemudian, teman-teman Caca juga pamit pulang. Secara bertahap, kediaman Ikram pun kembali hening, meninggalkan Caca dan kedua orang tuanya saja.
"Fahmi pasti ngamuk nih gara-gara gak bisa nyaksiin lamaran adiknya," celetuk Vanda sambil memeluk tubuh mungil Caca yang sepantaran dengannya. Secara kebetulan, telapak tangan kanannya merasakan detak jantung sang putri yang begitu cepat.
"Kan, A Fahmi mah ada tugas negara, Ma. Biarin aja kalau ngamuk, nanti aku balas dengan merajuk lebih ekstrem sama dia." Caca menjawab penuh tekad.
Tawa Ikram dan Vanda seketika meledak. Ketiganya kemudian memutuskan masuk karena tak tahan dengan tiupan angin dingin Bandung di malam hari.
Sementara itu, di dalam perjalanan pulang, Zeze hanya semobil berdua dengan Deby. Namun, sekarang dia tak bisa fokus menyetir karena istrinya sejak tadi pasang muka cemberut. Bahkan, sejak di rumah Caca. Jelas saja dia bertanya-tanya dan berusaha peka atas kesalahan yang mungkin dilakukannya tanpa sadar.
"Sayangku, kenapa?" Zeze menyentuh tangan kanan Deby dan menggenggamnya lembut.
"Gak apa-apa," jawab Deby lesu. Dia juga tak membalas tatapan Zeze, malah bersandar ke kaca samping mobil. Hujan gerimis mulai menyapa Bandung, menciptakan suasana sendu sesuai isi hatinya.
"Cewek bilang gak apa-apa pas lagi kenapa-kenapa biasanya. Ya udah, nanti kujajanin es krim atau seblak, ya?" Zeze berusaha membuat candaan seperti yang biasa dia lakukan pada Caca. Namun, ucapannya malah membuat suasana hati Deby makin buruk.
Mobil pun hening, hanya keramaian di luaran sana yang menjadi musik latar. Deby memilih bungkam, Zeze pun memutuskan mengabaikannya dan fokus ke jalanan.
Adit kok kayak udah ngelupain aku, ya? Deby mulai membatin. Kepalanya penuh oleh bayangan Adit dari sejak pertama mereka bertemu sampai pacaran. Tapi gak mungkin deh dia ngelupain aku, satu-satunya wanita yang dia ajak pacaran seumur hidupnya ....
Sepasang matanya menatap ke jalanan, tetapi jelas wajah Adit yang muncul; senyumnya, suaranya, sentuhannya—meski tak lebih dari pelukan dan pegangan tangan, wajah cerianya saat mereka bertemu setelah terpisah cukup lama ....
Mendadak Deby merasakan rindu yang mencekik. Tidak, tidak, dia tidak rindu pria itu. Maksudnya tidak menyangkal. Ya, dia rindu Adit, dia masih tak bisa melepaskan Adit.
Tapi, Dit, kenapa tadi pas aku sengaja nemuin kamu, kamu cuek dan dingin sama aku? Dia terus membatin sembari membayangkan momen pertemuannya dengan Adit yang dilakukan secara diam-diam saat pria itu tengah ke mobil untuk mengambil sesuatu.
Dit, pasti kamu cuma jadiin Caca pelampiasan, kan? Aku tahu, kamu gak akan semudah itu move on dari aku ....
***
Terima kasih untuk vote dan komennya, Gais.
Btw, siapa nih fans Deby?🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro