BAB 22 - Cahaya Kecil
"Dia yang pergi berarti bukan yang terbaik untukmu. Sebaliknya, dia yang datang tanpa diundang, adalah seseorang yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidupmu."
***
SATU JAM TANPA Caca saja sudah menyiksa, apalagi ini mau 24 jam.
Semalam, usai Caca pulang dengan kedua orang tuanya, Adit tak punya kuasa untuk mengejar. Bahkan, meski yang ingin dilakukannya detik itu adalah memeluk Caca erat, atau minimal mengajukan satu kalimat tanya mengenai apa kesalahannya yang membuat wanita itu sampai menangis mengadu pada kedua orang tuanya.
Bukan tak mau, Adit hanya merasa tidak tepat memaksakan kehendaknya. Tatapan penuh luka Caca dengan mata bersimbah air mata bak menjadi mimpi buruk yang meneror. Setiap ingat itu, Adit merasa kehilangan separuh demi separuh raganya. Dia memang seorang pria yang gagal.
Saat ini, Adit duduk di balik kemudi dengan muka pucat pasi dan mata merah karena kurang tidur. Jelaslah, malah semalam dia cuma bisa tidur satu jam. Kehilangan Caca membuatnya berantakan. Kepalanya hanya penuh oleh dugaan-dugaan buruk bak benang kusut yang tak usai-usai, sementara hatinya terus bergolak oleh beragam perasaan.
Mungkin sekaranglah masa Adit merasakan kealayan manusia yang sedang dimabuk cinta. Namun, situasinya lebih serius. Mereka sudah terikat pernikahan, jadi masalah ini tak bisa dianggap remeh.
Satu jam lalu, Vanda mengirim pesan, memanggilnya untuk segera datang ke kediaman sang mertua. Adit jelas langsung berangkat meski hatinya tambah campur aduk saja. Tatapan horor Ikram terus menghantui. Rasa bersalah yang menggerogoti hati membuat perasaannya tambah tak karuan.
Mobil MG 5 GT kuningnya memelan begitu memasuki gang menuju kediaman Caca. Tatapannya makin fokus, malah genggamannya pada setir tanpa sadar menguat sendiri. Kemudian, akhirnya dia tiba di depan rumah dua lantai itu.
"Asalamualaikum." Adit perlu menyiapkan diri nyaris setengah jam di dalam mobil dan tambahan lima menit berdiri kaku di depan pintu besar yang tertutup rapat itu. Namun, itu masih belum cukup karena suaranya yang keluar teramat pelan.
Adit berdeham. "Asalamualaikum!" ulangnya dengan nada lebih keras.
"Waalaikumsalam."
Ada jawaban dari dalam. Handel pintu pun berbunyi dan berputar, lalu muncul Vera yang menyambut dengan tampilan jaketan.
"Masuk, cepat! Udah ditunggu sama Mama dan Ayah!" perintah wanita itu dengan ekspresi galak.
Adit menarik napas sebelum mengambil langkah pertama. Kediaman itu begitu hening sampai membuatnya bisa mendengar detak jantung sendiri dengan lebih jernih. Lalu, begitu masuk ke ruang keluarga, debar di dadanya makin kencang saja.
Ikram dan Vanda sudah menunggu di sana. Pandangan keduanya langsung teralih begitu menyadari kemunculan Vera dan Adit.
"Kamu gagal memenuhi ucapanmu sama saya," todong Ikram tanpa basa-basi. Bahkan, dia tak lebih dulu menyuruh menantunya yang baru tiba itu untuk duduk. Tugas itu digantikan oleh Vanda.
"Duduk dulu, Nak," kata Vanda lembut.
Karena sadar situasi makin tegang, Adit tampak bergerak agak kaku saat akan menduduki sofa tunggal yang berhadapan langsung dengan Ikram.
Ikram bersedekap dada, mulutnya membentuk garis lurus yang rapat, tentu dengan tatapan tajam yang tak melepaskan Adit barang sedetik pun. "Kamu sudah sadar akan kesalahanmu?"
Padahal Ikram bicara dengan suara pelan, tetapi justru karena itu pula auranya jadi terasa lebih dingin, menyeramkan, dan penuh tekanan. Pikiran Adit buyar, bingung mau menjawab apa. Lagi pula, dia pun belum menyadari apa kesalahannya yang berkemungkinan membuat Caca sampai menangis.
"Sejujurnya saya pun bingung, Yah, Ma," aku Adit dengan berani. "Seingat saya, belakangan saya hanya lebih sibuk dengan kerjaan ekspor-impor dan suka terlambat pulang. Saya merasa tak melakukan perbuatan yang berpotensi melukai hati Caca."
Tatapan tajam Ikram langsung menghunusnya. Beruntung Vera datang dengan nampan berisi minuman serta camilan yang sedikit menjeda suasana serius itu.
"Minum!" titah Ikram usai Vera selesai menata hidangan di meja.
"Ba–baik." Adit menjawab cepat dan kaku. Lalu, tangannya yang gemetar pelan itu terulur untuk mengambil sebuah gelas.
Suasana berubah hening. Ikram sedang melarikan pandangan ke sembarang arah, tetapi Adit meras sepasang mata pria itu tetap terarah padanya, membuatnya agak sulit menelan minuman yang sudah berkumpul di mulut.
"Kamu sudah mengapa-apakan anak saya," kata pria itu tiba-tiba.
Adit terlebih dahulu meletakkan gelas minumannya yang habis separuh, kemudian diam kaku, menunggu ucapan selanjutnya dari sang mertua.
"Dia bilang, kamu sudah tak menyayanginya lagi—"
"Tidak, Ayah. Saya masih sangat mencintai Caca dan di hati saya cuma ada Caca," sela Adit cepat.
Satu pelototan tajam kembali mendarat ke wajahnya. Adit langsung mati kutu, tetapi tak mengalihkan pandangan.
"Ada bukti?"
Pertanyaan itu simpel, tetapi jawabannya susah. Adit sampai bingung merangkai kata untuk merealisasikan isi hatinya dan menjawab pertanyaan itu.
"Oh, berarti kamu memang hanya membual?" sambung Ikram tak sabaran.
"Tidak, Ayah!" Kali ini Adit kelepasan, nyaris berteriak di depan mertuanya sendiri dan membuat suasana tambah runyam. "Saya hanya mencintai Caca."
"Lalu, kamu tidak mencintai ibu dan adikmu?" tanya Ikram dengan nada dingin.
Vera hampir tertawa dan berujung mengeluarkan suara yang mati-matian di tahannya.
Pertanyaan dadakan Ikram sukses membuat Adit mati kutu. Pria itu tampak kebingungan.
"Temui istrimu dan selesaikan masalah kalian. Sepertinya dia sekarang sudah lebih tenang, tetapi juga membingungkan." Vanda akhirnya angkat suara, nada bicara dan ekspresinya lebih tenang.
Mendapat izin dari wanita itu, Adit tak langsung kesenangan. Dia justru lebih dulu menatap Ikram dan menunggu izin dari pria itu.
"Pergi," kata Ikram pada akhirnya.
"Baik, Yah, terima kasih." Adit pun bangkit berdiri dan menatap Vanda. Wanita itu langsung mengangguk. Setelahnya, Adit melangkah menuju kamar Caca usai diarahkan oleh mertuanya.
"Yah, jangan manyun-manyun. Gimana kalau dugaan Mama bener? Ver, udah disiapin, kan?"
Samar-samar, Adit masih bisa mendengar suara Vanda. Namun, dia tak memedulikan hal itu. Sekarang pandangan dan fokusnya hanya pada Caca yang pasti ada di balik pintu kamar di depannya.
Sebelum mengangkat tangan untuk menyentuh handel pintu, Adit lebih dulu menghela napas. "Asalamualaikum, Sayang." Tangannya bergeser, berujung mengetuk badan pintu.
Adit pikir dia akan berdiri di sana cukup lama, tetapi ternyata pintu langsung dibuka dari dalam. Sayangnya, Caca muncul dengan tampilan berantakan. Matanya sembap, rambut acak-acakan, dan ujung hidungnya memerah.
Lalu, wanita itu menangis kencang sambil kembali masuk ke kamar. Pintunya tak di kunci. Adit mematung di ambang pintu, bingung harus bertindak apa. Namun, dia mengambil langkah pertama untuk menyusul sang istri.
"Sayang ...," panggil Adit dengan penuh kelembutan.
Caca sudah menangis sesenggukan di kasur, di balik selimut tebal yang membungkus sekujur tubuhnya. "Aa udah gak sayang lagi sama aku, jadi Aa pergi aja sana, ngapain nyusul aku ke sini!"
Cerocosan itu keluar dengan lancar meski dengan suara sengau. Jelas saja membuat Adit kembali menghela napas. Lalu, sebelum dia sempat bersuara, Vanda sudah masuk ke kamar.
"Dia sudah sejak kemarin seperti ini. Bilangnya kamu gak sayang dia lagi, tapi semalaman tadi nangisin kamu," beber Vanda yang masuk bersama Vera. Ikram tampak masuk paling terakhir, berdiri agak jauhan dari ketiganya.
"Maaa!" Caca merengek tanpa membalikkan badan.
"Oy, bangun, oy! Belahan jiwanya udah di sini, nih. Kalau kamu masih gak mau liat dia, biar buatku aj—"
"GAK!" jerit Caca, langsung bangun dan menatap galak pada Vera. Bukannya takut, sahabatnya itu malah tertawa kencang.
"Dasar alay!" Vera mencibir sambil berjalan ke kasur. "Coba, sekarang kamu beberin alasan yang bikin kamu jadi menyedihkan gini seharian penuh. Diapain sama suamimu? Dia ada mukul kamu?"
Caca menggeleng pelan sambil masih tersengguk-sengguk.
"Dia ada main wanita?"
Caca menggeleng lagi.
"Dia ngeluarin kata yang bikin kamu sakit hati?"
Kali ini Caca tak langsung merespons. Wanita itu juga tampak ragu saat memberikan gelengan sebagai jawaban. "Cuma ...."
Apa dia harus jujur atas hal yang membuat hatinya sedih? Namun, apa wajar? Soalnya dia mendadak merasa alasan itu terlalu sepele.
"Cuma?" beo Vera.
Vanda berjalan mendekat, naik ke kasur, lalu merapikan tampilan putri kesayangannya.
"A Adit ...." Dia mendongak, menatap pada pria yang membuatnya seharian penuh menangis karena berbagai alasan. "Dia jadi suka terlambat pulang," matanya langsung kembali berkaca-kaca, "padahal aku udah nungguin dari jam lima sore, sampe lupa mandi—"
"Ih, jorok." Vera memotong ucapan sahabatnya tanpa sadar, lupa bahwa aksinya itu cukup fatal untuk Caca yang mood-nya belakangan ini sedang ancur-ancuran.
Alhasil, tangis Caca kembali pecah.
"Adududuh, adik bungsuku yang cantik dan tersayang ini lagi sedih. Maafin Kakak ya yang udah sakitin hati Hello Kitty-mu." Vera memeluk Caca dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. Namun, tangis wanita itu malah bertambah deras.
Dari tempatnya berdiri, Adit menatap dengan kening mengerut. Mengapa reaksi Caca agak aneh? Memang, mereka baru kenal kurang lebih tiga bulan, tetapi selama itu pula, dia yakin bahwa Caca tak pernah secengeng ini. Paling mood-nya berantakan pas masa palang merah saja, itu juga tak terlalu parah.
Adit tersadar dari lamunan saat mendapat kode berulang kali dari Vanda. Wanita itu berdecak-decak sambil melambai-lambai ke arahnya, menyuruh mendekat. Selepas paham, dia pun langsung berjalan menuju kasur dan menggantikan posisi Vanda.
Lalu, sebelum Adit sempat mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba Caca agak mendorong Vera dan beralih memeluk tubuhnya.
"Kangen," kata Caca. Satu kata yang membuat suasana makin membingungkan.
Kejadian berikutnya, tiba-tiba saja Caca mengeluh mual dan tiga detik kemudian, dia muntah ke jaket Adit. Beruntung muntahan itu hanya air dan tak terlalu banyak.
"Ca!"
"Sayang!"
Teriakan demi teriakan itu tak dihiraukan Caca yang sudah berlari kabur ke kamar mandi dan lanjut muntah-muntah di sana.
"Sayang, kamu kenapa?" Adit berulang kali mengetuk pintu sambil mengucap kalimat yang sama, takut wanita yang dicintainya itu kenapa-kenapa. Apakah Caca menderita penyakit serius?
Terdengar suara orang muntah dari kamar mandi, tetapi pintunya dikunci rapat sehingga Adit tak bisa mendobrak masuk. Sepuluh menit kemudian, akhirnya pintu dibuka dan Caca keluar dengan jaket rajut yang berantakan, muka pucat, serta rambut acak-acakan plus setengah basah.
"Sayang, kamu kenapa?" Adit berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Caca. Dia menatap khawatir wanita di hadapannya yang tampak lesu.
"Aa jahat. Biasanya manggil aku sayang minimal 30 kali sehari, sekarang sepuluh kali aja udah untung. Udah gitu lebih cinta kerjaannya lagi sampai abaiin istrinya sendirian kesepian di rumah," kata Caca tiba-tiba.
"Oh, jadi karena itu doang?" Itu suara Vera. Vera tampak pasang wajah galak dengan tatapan penuh hujatan mengarah pada Caca.
Selama 24 jam penuh, bahkan sejak beberapa hari sebelumnya, dia terus mengkhawatirkan Caca yang mendadak berubah sampai melupakan pekerjaan sendiri. Dia pikir sahabatnya memendam masalah serius, terutama dalam rumah tangganya. Namun, ternyata itu hanya dugaannya yang berlebihan dan alasan sebenarnya yang membuat Caca galau hanya karena hal sepele.
Vera hampir berubah jadi Power Ranger hitam terus melaser sahabatnya detik itu juga.
"Apa sih repot? Makanya nikah sono! Jangan pacaran sampai tahunan, kayak lunasin cicilan." Caca membalas dengan pedas.
Kan, wanita itu sudah ganti mode lagi.
Vera berkacak pinggang, siap perang. Namun, ada Adit yang berdiri di depan Caca, melindungi wanita itu. Jelas saja dia akan kalah. Jadi, Vera berbalik dan segera kembali dengan sebuah kantong plastik putih di tangannya.
"Nih, pake! Jangan lupa ngompol dulu seember!" Dia mengambil tangan kanan Caca dan memukulkan benda itu.
"Apaan?" Caca mengintip isian plastik itu.
"Racun tikus!" jawab Vera asal. Lalu, dia mendorong tubuh Caca untuk dikembalikan ke kamar mandi. Caca yang belum memahami situasi, hanya bisa pasrah saja. Tubuhnya juga sudah lemas, hanya tersisa sedikit tenaga.
Ikram dan Vanda saling tatap, lalu beralih melirik Adit yang tampak kebingungan. Pasti kepala pria itu sedang semrawut karena mengalami hari yang berat ulah anak mereka.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya Caca keluar. Keempat orang yang sudah menunggu dengan waswas di depan pintu itu serempak menoleh pada Caca.
"Gimana?" tanya Vera tak sabar.
Caca menunduk, memandangi dua benda kecil yang ditutupi jemari tangannya. Dengan tangan gemetar, dia menyodoran test pack itu ke arah Vanda. Vanda meraihnya dengan tak sabar dan mulai melihat. Ikram, Vera, dan Adit langsung merapat, juga tak sabar ingin segera melihat.
"Itu gak tahu apa kecampur sama air biasa atau enggak, tapi semuanya udah kucoba," kata Caca dengan polosnya.
Hasil test pack itu ... garis dua!
"UHUYYY!" teriak Vera.
"YIPPIII!" Vanda ikutan heboh. "Dugaan Mama ternyata bener!"
"ASYIK! OTW NIMANG CUCUUU!" Ikram juga tak mau kalah.
Mereka berjoget heboh di depan pintu kamar mandi.
"Caca hamil?" tanya Adit yang tampak masih belum percaya.
"Ya, kau pikir, A, garis dua artinya apa? Itu garis merah dua, bukan garis kuning polisi!" jawab Vera, ngasal part dua. Habis dia sebal dengan kelemotan pasutri muda di depannya ini.
"Alhamdulillah." Adit malah langsung mengusap wajahnya. Seluruh beban yang mengekang tubuhnya seolah-olah luruh dalam sekejap. Belenggu yang menyiksa hatinya juga mengendur dan hilang, menyisakan perasaan bahagia yang terus meledak-ledak sampai susah didefinisikan.
"Asyik! Ayah bentar lagi bakal jadi aki!" Ikram yang kelihatan paling senang. Usianya menginjak 60, tetapi berasa jadi 20 tahun lagi sehingga bisa joget-joget kayak anak muda.
"Terima kasih, Sayang." Adit memeluk Caca dan memberinya ciuman sayang berkali-kali.
"Ihhh, jauh-jauh! Aku tuh masih sebel sama Aa!" tolak Caca sambil mendorong tubuh jangkung Adit.
"Heh, gak usah alay!" sembur Vera dengan sedikit nada tinggi. "Kamu perkara gak dipanggil sayang aja sampai balik ke rumah ortu, ngadu sambil nangis-nangis. Cengeng baget!"
Mendapat omelan dari Vera, kedua mata Caca langsung berkaca-kaca lagi. Untung Adit ada di sampingnya sehingga pria itu segera memeluknya dan menjadi tempatnya mengadukan kelakuan Vera.
"Duh, baperan gini, kayaknya bakal keluar anak cewek," celetuk Vanda, terkikik geli.
"Iya, udah gitu ada bakat jadi artis juga," imbuh Ikram, membalas senyuman Vanda.
Melihat keduanya yang tampak bahagia, Adit agak tertegun. Syukurlah ternyata mereka tak marah betulan padanya. Hanya saja, dia tetap harus meminta maaf.
"Yah, Ma, maafin Adit yang udah mengingkari ucapan Adit," sesal Adit sungguh-sungguh. Sebelah tangannya masih memeluk erat tubuh mungil Caca.
"Maafin, Yah, Ma. Caca gak mau dipisahin dari Adit!" Caca bersuara usai berhasil menghentikan tangisnya.
"Iya-iya," Vanda geleng-geleng, "anak Mama emang udah bucin akut ya sekarang. Bawaan orok ternyata. Syukurlah, selamat ya, Sayang."
"Selamat, Nak. Ayah seneng ternyata penyebab kamu menangis bukan karena Adit, melainkan ada Adit junior di dalam perut kamu."
Mendengar kata 'Adit junior', Adit tak bisa menahan ekspresi malu-malunya yang muncul sepersekian detik. Dia berdeham untuk menetralkan rasa canggung, tetapi itu malah menarik perhatian Ikram.
"Ayah maafin. Ayah begitu karena Ayah sayang Caca. Tapi, jangan diulangi lagi, ya," peringat Ikram yang mendapat anggukan dari Adit.
"Baik, Yah, terima kasih." Adit kembali memeluk Caca untuk mengekspresikan kebahagiaannya yang meluap-luap. Dia memeluk wanita yang tampak kusut itu dan terus menciuminya sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.
Sekarang Aditya Pratama akan menjadi seorang ayah. Mereka akan jadi orang tua.
Malamnya, Adit menginap di kediaman istrinya dan sekarang tengah berduaan di kasur dengan Caca bersandar nyaman di pelukannya. Wanita itu tidak tidur, dia hanya terus memainkan jari telunjuknya di dada Adit yang polos tak mengenakan baju.
"Aku bikin Aa kerepotan, ya?" tanya wanita itu untuk kesekian kalinya.
"Enggak, Sayang. Justru Aa seneng dan lega karena ternyata ini hanya kesalahpahaman." Adit menjawab dengan suara rendah, lalu memberikan ciuman sayang di jidat istrinya. "Tapi, maafin Aa ya, yang udah sibuk kerja sampai bikin Ayang sendirian terus di rumah."
Sekarang Adit lebih hati-hati dalam ucapannya. Pokoknya dia harus mengganti semua kata ganti 'kamu' dengan kata 'sayang', biar istrinya itu tidak ngambek lagi.
"Yakin?" Caca mendongak dan Adit tengah menunduk menatapnya.
"Iya," jawab Adit seraya mengangguk dan tersenyum lebar.
"Ya udah, cium sini!" Caca mendekatkan wajahnya. Adit langsung memberinya lima ciuman, dari jidat, kedua mata, hidung, dan di bibir. Sontak hal itu membuat senyuman istrinya merekah.
"Ih, Aa mesum, gak pakai baju."
Adit tertawa pelan mendapat kalimat omelan dari istrinya, hal yang selalu dia rindukan. "Gak apa-apa, kan cuma di depan Ayang doang. Lagian Aa gak bawa baju ganti. Terus gak apa-apa kali, telanjang gini juga badan Aa bagus, bikin kamu ngiler."
Pipi Caca memerah dengan senyum yang merekah makin lebar. Dia tak bisa menyangkal ucapan itu, tetapi terlalu malu untuk mengaku. "Ish, mulutnya filter, kek!"
Caca yang malu-malu begini tampak menggemaskan bagi Adit. Salah, Caca dalam semua versi, mode, sampai skin memang selalu menggemaskan bagi Adit; membuatnya makin jatuh cinta pada wanita itu. Cinta yang unlimited. Jadi, harap dimaklumi kalau kedua orang ini agak alay, mereka sedang dimabuk asmara.
"Sayang, ke depannya Aa bakal lebih bekerja keras, jadi mungkin akan ada masa-masa di mana Aa pergi lama untuk kerja, ninggalin Ayang sendirian di rumah. Tapi, hape Aa selalu online buat Ayang. Jadi, kalau kangen langsung telepon aja. Dan, Aa akan bekerja lebih keras menyelesaikan kerjaan Aa lebih cepat biar bisa pulang lebih awal untuk Ayang." Adit bicara dengan serius.
"Hmm?" Caca hanya bergumam, bingung mau membalas apa. Sebenarnya dia memahami pekerjaan Adit, hanya saja hatinya selalu memberontak atas ucapan yang ditetapkan oleh otaknya.
"Aa sangat mencintai kamu, Sayang. Aa bakal berusaha keras untuk membahagiakan Ayang. Itu salah satu bukti cinta Aa," sambung Adit.
"Dih, gombal!" cibir Caca dengan senyum yang tak tertahankan. "Tapi, kok bisa sih Aa cinta sama aku?"
Nah, ini nih penyakit wanita. Tetap butuh konfirmasi perasaan bahkan meski sudah menjalin hubungan bertahun-tahun. Orang sudah brojol orok, tetap saja tanya ke suami, 'Kamu cinta aku?'
"Cinta Aa gak beralasan, Sayang, mengalir begitu saja. Jadi, kalau ditanya kenapa bisa cinta, jawabannya adalah karena Ayang adalah seorang Cahaya Januari, wanita spesial yang istimewa." Adit menjawab sungguh-sungguh, dengan tangan menepuk-nepuk pelan punggung istrinya.
Mendengar itu, Caca langsung menyusupkan kepala ke dada Adit dengan sensasi panas yang menjalar ke mana-mana. Aduh, apa suaminya ini benar-benar seorang buaya berkedok kulkas dua pintu?
Suami? Ya, Aditya Pratama adalah suami dari Cahaya Januari. Sampai nanti.
Jangan jatuh cinta kalau takut patah hati, karena saat mencintai harus siap untuk terluka. Perkara hubungan asmara memang selalu memiliki plot twist. Kadang yang kita cintai, justru berujung menyakiti. Kadang yang begitu kita inginkan, ternyata menyimpan hal mengecewakan. Satu rumus dalam mencintai, kalau mencintai seseorang, ikhlaskanlah dia dengan ketulusan. Karena dia yang untukmu, akan kembali padamu meski kalian terpisah berpuluh-puluh ribu kilometer. Lalu, dia yang bukan untukmu, justru akan pergi dengan sendirinya bahkan meski kalian saling menggenggam tangan setiap hari.
Cinta jangan dipaksa, jangan pula hanya ditunggu tanpa aksi. Libatkanlah Tuhan dalam urusan perasaan, karena setiap ketentuan-Nya adalah yang terbaik untukmu. Termasuk dalam hal asmara. Dia yang pergi berarti bukan yang terbaik untukmu. Sebaliknya, dia yang datang tanpa diundang, adalah seseorang yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidupmu. Cinta itu sebuah proses.
***
Versi Wattpad segini aja. Untuk di buku, nanti ada tambahan beberapa part lagi.
Jadi, janlup nabung ya, sayang-sayangku.😋
Tapi tenang aja, masih ada spesial part yang akan rutin meneror malam-malammu dengan kebucinan Caca-Adit.🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro