Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 21 - Perubahan

"Masalah di masa lalu adalah pelajaran terbaik untuk masa depan yang lebih baik."

***

"CA, SUMPAH INI rumah kamu? Gila! View-nya bagus banget!"

Saat ini Vera datang berkunjung. Tentu saja dia tak datang dengan tangan kosong. Ada banyak oleh-oleh yang dibawa, dari makanan sampai pakaian. Namun, agenda pertama mereka di detik pertama bertemu adalah pelukan ala Teletubbies untuk melepas kangen.

"Tahun baru, sabi nih nginep di rumahmu," sambung Vera.

Dia duduk di kursi kayu yang disediakan, dengan menghadap pada pemandangan kebun teh luas di depan sana. Semalam dia baru saja kembali dari Malang, tetapi karena sudah tak kuat kangen, paginya langsung berangkat lagi ke Ciwidey.

"Iya lah, wajib itu. Kamu harus ke sini, biar di sini tambah ramai." Caca duduk di sebelahnya. "Kebetulan keluarga aku dan mertua juga pada mau ke sini, jadi bakal ada acara seru."

Vera angguk-angguk. Dia kembali menghirup udara segar Ciwidey yang seperti membuat paru-paru melonggar dua kali lipat. Langit awal November kali ini tampak cerah, meski ada beberapa gumpalan awan kelabu yang terlihat di kejauhan.

Tiba-tiba ponsel Caca berdering. Ada panggilan masuk. Zeze? Sejak kejadian salah paham waktu itu, Zeze belum pernah mengganggunya lagi. Mereka hanya sesekali bertemu di gim, itu pun hanya ngobrol bahas permainan saja, tidak ada obrolan pribadi.

"Ya, Ze?" tanya Caca begitu selesai menjawab salam.

"Wasap, Cil! Wah, kamu tambah tembam sekarang. Dan ... tumben gak kausan?" Zeze celingukan, sedikit mengintip penampilan Caca.

Memang, belakangan ini Caca jadi lebih nyaman dasteran dan meninggalkan segala kolor serta kaus oblongnya. Dia juga jadi tertarik ke salon atau melakukan perawatan badan. Untunglah, Vera bisa menjadi guru privat dadakannya. Jadi, kadang malam-malam Caca tiba-tiba chat atau telepon cuma buat bahas skincare.

"Ngapa dah, penampilan aku aja jadi omonganmu?" balas Caca, keki sendiri.

Vera justru sependapat dengan Zeze, tentang ada yang aneh pada sahabat mereka. Jelas, dia hafal seorang Cahaya Januari. Caca sejak dulu cuek terhadap penampilan dan anaknya no ribet-ribet club. Namun, sekarang wanita itu sering meminta pendapatnya, tentang skincare-lah, dietlah, salonlah, pedi-medi-lah. Pokoknya waktu itu Vera sampai tersedak kopi yang diminumnya begitu mendengar pertanyaan polos Caca di telepon.

"Si Adit gak selingkuh, kan?" tanya Vera waktu itu.

Caca langsung memelotot meski Vera tak bisa melihatnya. "Mana ada! Modelan bucin begitu, aku tinggal bentar keluar tanpa izin aja dia langsung nelepon, nyariin."

Jawaban tersebut meyakinkan Vera karena Caca juga belum mengadu sambil nangis-nangis seperti waktu itu.

"Ya habis, jadi aneh aja lihat kamu jadi cewek betulan," kata Zeze usai cengar-cengir tak jelas. Lalu, tiba-tiba Deby muncul dan menyapa Caca.

"Hai, Ca!"

"Hai, By!" Caca menyapa balik dengan sekilas.

Vera kepo, jadi ikut nongol di kamera.

"Lah, si Mak Lampir udah di tempatmu, Ca? Sejak kapan?" tanya Zeze yang kaget melihat kemunculan Vera. Setahunya, wanita itu kemarin masih ada di luar kota.

"Mulutmu emang minta dilepeh, Ze!" sambar Vera sebal. Dia kembali main ponsel, sibuk pesan sesuatu dari GoFood.

"Baru datang dia. Eh, kamu ada apa?" Caca tak ingin membuang waktu lebih banyak untuk berbincang dengan Zeze meski ada Vera, masih trauma pada kejadian yang lalu.

Kamera Zeze bergerak-gerak. Sepertinya pria itu tengah meletakkan ponsel di tempat terbaik. Layar berhenti bergerak dan meluas. Zeze tampak duduk di sofa, Deby muncul dan bersandar ke pundaknya dengan satu tangan memegang perut.

Paham sesuatu setelah melihat tampilan Deby, refleks mulut Caca terbuka lebar-lebar yang langsung ditutupi dengan tangan kanannya. "Deby hamil?" simpulnya setengah tak percaya. Lalu, anggukan Zeze justru menguatkan dugaannya.

"Baru mau dua bulan. Ternyata waktu itu dia ngambek karena godaan dedek bayi," cerita Zeze. Dengan singkat dia mengecup kening sang istri yang bermanja di pelukannya.

Caca jadi ikut bahagia.

"Ih, mau jadi bapak-bapak kau, Nyet?" Vera merebut ponsel dari tangan Caca dan adu mulut singkat dengan Zeze. Khas mereka banget. Namun, suasana kembali mencair dan tambah hangat.

Kalau dipikir-pikir, setelah punya kehidupan masing-masing, mereka jadi jarang menikmati waktu dengan bebas seperti ini. Rasanya kangen.

"Anw, Adit mana, Ca?"

"A Ditya gak ada, lagi survey ke lokasi di Garut," jawab Caca sedih. Entah kenapa pula, belakangan ini, dia tak bisa jauh-jauh dari Adit barang sedetik saja. Rasanya berat berpisah dari pria itu.

"Oh, aku cuma mau nyampaiin permintaan maaf dan terima kasih. Soalnya waktu itu gak sempat." Zeze menjelaskan tujuannya menelepon Caca setelah sekian lama.

"Oke, nanti aku sampein."

Mereka lalu lanjut mengobrol yang lebih didominasi oleh pertengkaran Zeze dan Vera, sementara Caca dan Deby tim makan pop corn di pojokan. Telepon baru selesai satu jam kemudian.

Tiba-tiba suasana kembali hening. Vera tampak menikmati suasana tenang Ciwidey yang menenggelamkan.

"Eh, Ca, aku mau mintol sama kamu boleh?" celetuk Vera tanpa membuka kedua matanya.

"Hmm, apa?" Caca menjawab sambil menikmati stroberi segar yang baru saja diambilnya dari kulkas.

Beberapa bekas wadah makanan masih memenuhi meja karena isinya belum habis semua. Jujur, belakangan juga, Caca jadi gampang risi saat melihat benda kotor atau ruangan yang berantakan. Rasanya pengin langsung bersihin detik itu juga, tak boleh ada noda sekecil apa pun. Padahal dia bukan tipe orang yang amat disiplin terhadap kebersihan.

"Jadi pager ayu buatku, ya?" jawab Vera.

Tunggu-tunggu!

"Kamu mau nikah, Perrr?" Caca bertanya sambil memelototkan mata dan kelepasan mengeluarkan suara dengan nada lebih kencang, mirip teriakan, tepat di samping telinga Vera.

Vera tertawa puas. "Iya lah, rencananya pertengahan Desember," bebernya.

Kabar bahagia yang mengejutkan itu tentu disambut Caca dengan haru. Berulang kali dia mengucapkan selamat sambil memeluk erat sahabatnya.

***

Adit baru tiba di rumah pada pukul sepuluh malam. Hari tengah hujan gerimis kala itu. Caca menyambutnya dengan muka sembap. Lalu, tanpa kata, wanita itu langsung menubruk tubuhnya setelah membukakan pintu, sampai-sampai syal tebal dan jaket rajutnya nyaris copot.

"Lama banget, ih!" omel Caca dengan suara putus-putus karena tangisnya makin hebat.

Adit jadi serba salah dan merasa bersalah. Namun, pertama-tama dia harus menenangkan Caca dulu. Dia menggendong Caca dan membawa istrinya itu untuk duduk di sofa. Selama sepuluh menit, wanita itu terus menangis dalam pelukannya. Adit terus menggumamkan kata maaf dan membanjiri istrinya dengan kecupan sayang.

"Kelamaan," kata Caca sambil masih terisak. "Rasanya tuh hampa kalau di sekitarku gak ada Aa."

Dengan lembut, Adit mengusap sisa-sisa air mata di wajah Caca. "Maaf, sayangku. Tadi Aa dapat klien yang lumayan repot, minta ini-itu dan Aa perlu turun langsung."

"Gak apa-apa." Memang, Caca tak pernah mempermasalahkan pekerjaan Adit mau bagaimanapun, termasuk kalau berhubungan dengan wanita. Dia hanya tak bisa berpisah dari sang suami dalam waktu lama.

Adit kembali mendaratkan kecupan di bibir Caca. "Ayang udah makan?"

Caca mengangguk. "Tadi ada Vera ke sini dan nemenin sampai jam delapan. Jadi, kami sempat makan bareng."

Beruntung hari ini ada Vera yang menemaninya, jadi Caca tak terlalu kesepian meski dirinya berakhir digoda habis-habisan oleh sang sahabat dan dilabeli bucin alay. Ya bagaimana, Caca terus-terusan menunggu kepulangan Adit sampai galau merana.

"Aa belum. Mau nemenin Aa makan?" tanya Adit dengan nada lembut.

Caca mengangguk antusias, lantas mengulurkan kedua tangannya begitu Adit berdiri. Sekarang pria itu selalu lebih peka pada tingkah Caca yang suka mendadak aneh. Contohnya ini, Caca kalau lagi merajuk, betulan berubah jadi anak kecil. Dia selalu mau digendong Adit ke mana pun, nempel-nempel sama Adit.

"Wih, sayur lodeh?" Kedua mata Adit selalu tampak berbinar bahagia begitu menemukan masakan sang istri. Baginya, hanya masakan Caca yang paling enak di dunia.

"Tadi aku belajar coba bikin yang lain sama Vera, tapi gagal. Jadi deh, cuma masak itu," cerita Caca dengan ekspresi sedikit takut.

Adit melebarkan senyum. "Makasih, Sayang. Apa pun masakan kamu, pasti enak dan akan jadi makanan favorit Aa," hiburnya dengan tulus.

Hati Caca menghangat mendengarnya. Dari luar, Adit memang terlihat seperti pria datar yang tidak tahu cara bercanda dan romantis. Namun, pria itu ternyata punya sisi hangat yang unik. Caca tak mengharapkan ucapan romantis, bunga, cokelat, atau semacamnya, karena dia bisa mengerti bahasa cinta Adit. Adit lebih suka action untuk menunjukkan rasa sayangnya. Jadi, kalaupun keluar kata-kata romantis yang seperti gombalan, itu memang murni dari hatinya.

"Aku tadi habis beli beberapa lipstik dan alat makeup baru," kata Caca.

Adit mendengarkan sambil mengisi perut.

"Aku mau coba, tapi kayaknya aku butuh objek, deh."

Perasaan Adit langsung tidak enak.

Ini dia, salah satu sisi aneh Caca yang ikut muncul. Wanita itu jadi suka dandan, dan ... kadang menjadikan Adit sebagai objek belajar makeup-nya.

"Aa mau kan bantu aku?" tanya Caca dengan memasang wajah penuh harap.

Apa Adit punya kesempatan untuk menolak? Oh, jelas tidak.

***

Adit makin sibuk dengan usaha barunya sehingga kadang lupa waktu. Terlalu lelah bekerja memang menguras tenaga, baik fisik maupun pikiran. Dampak kecilnya adalah dia jadi suka terlambat pulang dan tahu-tahu sudah menemukan Caca ketiduran di depan pintu.

"Sayang?" Pukul sepuluh, Adit baru bangun setelah kembali ketiduran usai menunaikan salat Subuh.

Cahaya matahari menyorot dengan sedikit menghantarkan rasa panas. Adit mengucek mata, rambutnya acak-acakan, mukanya pun kusut. Selimut masih membungkus tubuhnya yang hanya pakai kolor.

Pria itu mengedarkan pandangan, sepi. Ke mana istrinya? Lalu, terdengar suara berisik dari kamar mandi. Oh, itu sudah pasti Caca. Jadi, Adit segera turun dari kasur dan segera ke depan pintu kamar mandi.

"Sayang? Lagi mandi, kah?"

Pertanyaan Adit tak langsung dijawab, padahal biasanya tak begitu. Telinga Caca yang teramat peka, biasanya membuat wanita itu langsung merespons bahkan lari mendekat saat mendengar suaranya. Sekarang tidak. Bahkan, Adit perlu memanggil berkali-kali sampai pintu akhirnya terbuka. Caca muncul, tetapi dengan tatapan yang ... menampilkan ekspresi terluka? Melihat itu, Adit seketika mengernyit dalam. Ada apa?

"Minggir," kata Caca dingin.

Adit menurut tanpa protes. Lalu, pandangannya mengekori kepergian Caca yang berjalan terburu-buru untuk meninggalkan kamar. Adit masih mengernyit. Mengapa seperti tercium bau masalah baru yang akan muncul?

Keanehan Caca tidak hanya itu saja. Wanita tersebut seharian ini kelihatan panik. Sedikit-sedikit menggumam tak jelas dan ketakutan setiap melihat Adit. Adit jadi serba bingung. Masalahnya, Caca seperti mengalami masalah berat yang harus segera dibantu, tetapi wanita itu justru menjauhi siapa pun. Bahkan, Vera juga tak bisa menemui Caca meski sudah sengaja datang karena mengkhawatirkan perubahan yang terjadi pada wanita itu.

"Gak kamu apa-apain kan, A?" todong Vera begitu duduk di sofa. Andai saja dia tak mendapat chat aneh dari Caca, mungkin tak akan langsung tancap gas dari Rancabali. Untunglah, jobnya sekarang cukup dekat dari kediaman sang sahabat.

Caca mengunci diri di kamar dan tak mengizinkan siapa pun masuk dari sore sampai sekarang.

"Gak." Adit mengacak rambutnya frustrasi. Dia hanya takut Caca kenapa-kenapa, makanya bertanya pada sahabat terdekat sang istri, yang justru membuatnya dijadikan tersangka utama.

Suasana hening selama beberapa saat. Vera tak bisa menikmati hidangan sederhana yang disajikan untuknya karena pikirannya hanya terfokus pada Caca.

"Dua hari sebelumnya, dia upload SW berisi kata-kata permintaan maaf sama orang tua karena menjadi anak yang gagal. Terus, biasanya tiap malam ada obrolan, minimal di chat, ini gak sama sekali. Pas ditanyain kenapa, dia juga jawabnya gak apa-apa," cerita Vera. Jelas saja, dia ikut panik karena khawatir terjadi sesuatu pada sahabatnya.

"Sama aku lebih parah. Dia tiap mau tidur ada aja yang bikin bingung. Dia gak mau jauh dari aku, tapi gak mau lihat muka aku," sambung Adit dengan nada lelah.

"Lah?"

"Ya aku jadi pasang topeng monyet," cerita Adit jujur. Kebetulan topeng yang dimaksud itu ada di bawah meja sehingga langsung ditunjukkan pada Vera. Vera mau ngakak kalau tak ingat situasi serius sekarang.

Tiba-tiba bel berbunyi. Lalu, terdengar sapaan dari Vanda dan Ikram. Mampus! Mengapa mertuanya datang berkunjung malam-malam begini? Adit tampak makin panik meski tak terlalu tahu alasannya kenapa.

"Si Neng mana?" tanya Vanda begitu pintu dibuka oleh Adit. Wanita itu mengernyit melihat kemunculan Vera.

"Eee ...." Adit tampak panik, tetapi berusaha untuk terlihat biasa saja. "Ada ...."

"Aku ke sini karena Caca, Ma, baru aja sampe," sela Vera, takut menimbulkan dugaan buruk.

Sementara itu, Ikram sudah menelisik ruangan dengan tatapan tajamnya. Lalu, pandangan pria itu jatuh pada Adit dan dia nyaris memelotot, membuat Adit langsung tahan napas dengan jantung mencelus. Sudahlah, sudah jelas bahwa memang ada masalah yang akan terjadi, tetapi apa?

"Di ... kamar," jawab Adit dengan nada pelan.

Vanda hanya ber-oh, kemudian pamit untuk menyusul putrinya. Melihat hal itu, Adit bertambah panik. Namun, dia hanya bisa saling lempar tatap dengan Vera. Kedua mertuanya ini tampak lebih serius dan tidak banyak basa-basi seperti biasa, terutama pada Adit. Makinlah Adit merasa panik tak karuan.

"Ya Allah, Neng! Kamu nangis?"

Teriakan Vanda dari kamar ujung membuat perhatian mereka seketika terpusat pada wanita itu. Seketika, Adit, Vera, dan Ikram kompak berdiri lalu bergegas menyusul Vanda menuju kamar Caca. Saat tiba di sana, benar ternyata, Caca tengah menangis hebat sampai mukanya penuh air mata bercampur ingus. Seketika semua mata tertuju pada Adit. Terutama Ikram, yang menatapnya dengan tajam, seolah-olah siap menghajarnya detik itu juga.

"Neng sayang, diapain hah sampai nangis gini?" tanya Vanda sembari memeluk erat tubuh Caca yang gemetar.

"Diapa-apain sama Adit?" terka Ikram.

Jantung Adit langsung terjun bebas mendengar suara menggelegar mertuanya.

Caca cuma terus menangis, membuat suasana tambah keruh. "Ma, Caca mau pulang ke rumah Mama," rengeknya putus-putus karena masih susah mengendalikan tangis yang hebat. "Caca gak mau di sini, Caca gak betah."

Dua kalimat itu sukses menyerang Adit, membuat pertahanannya runtuh dan harga dirinya terluka. Istri yang dia cintai ternyata selama ini tak betah hidup bersamanya? Apakah dia sudah gagal sebagai seorang suami dan memenuhi ucapannya pada Ikram sebagai seorang pria.

***
BTW, GIMANA KALO SAYA BIKIN SEQUEL KISAH VERA-FAJAR?

PREMISNYA:
CEWEK BARBAR VS COWOK MESUM 😎😎😎

Udah up.
Beberapa bab lagi menjelang tamat.😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro