Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 18 - Penjelasan

"Kata maaf memang berarti, tetapi tidak bisa menarik kembali apa yang sudah telanjur terjadi."

***

"NGAPAIN LO DI SINI?" Suara Adit menggelegar. Tangan kanannya meremas kuat buket mawar merah yang dihiasi bulir-bulir air hujan, sementara tangan kirinya menggenggam erat tali paper bag hitam. Jaket levis juga tampak sedikit basah dan rambutnya lepek.

Namun, fokus Adit sekarang hanya pada pria yang ada di samping istrinya, Zeze. Tiba-tiba semua kalimat yang diucapkan Deby berputar di kepalanya, membuatnya tak sabar untuk segera tiba di depan pria yang lebih pendek darinya itu. Langkahnya panjang-panjang, gestur badannya kentara sekali penuh kesigapan kalau-kalau akan ada pertarungan.

Adit berhenti tepat di depan Caca, meletakkan buket bunga dengan sedikit melemparnya ke atas meja. Tangan kanannya lalu menarik dan mengarahkan sang istri agar mundur, berlindung di balik tubuhnya. Tindakan itu seolah-olah mengatakan ultimatum, "Caca milikku!" ke arah Zeze.

"Maaf ...." Caca menyadari kesalahannya dan ingin langsung meminta maaf, tetapi suaranya mendadak hilang begitu merasakan aura menyeramkan yang keluar dari tubuh Adit.

Kedua mata pria itu hanya terkunci pada Zeze, pun dengan gestur badannya yang sepenuhnya mengarah pada sahabat istrinya tersebut.

"Atas izin siapa lo masuk ke sini?" tanya Adit ketus. "Dia?" Dia beralih pada Caca dengan memasang tampang galak.

"Jangan kasar sama wanita!" tegur Zeze, salah sangka. Namun, jelas sekali dia panik begitu melihat tatapan tajam Adit yang sedikit mengarah pada Caca.

"Bukan urusan lo. Dia istri gue!" Adit tak mau kalah.

"Oke." Zeze kehabisan kata-kata. "Caca gak salah, gue yang maksa masuk," jelasnya jujur.

Caca sudah dag-dig-dug tak karuan di belakang tubuh Adit. Terlebih pria itu terus menggenggam erat pergelangan tangannya. Tubuhnya yang tinggi menjulang, dengan kata-kata yang keluar bernada tegas, benar-benar menciutkan nyali Caca. Lalu, pandangannya tak sengaja terarah pada buket mawar merah di atas meja. Apa yang hendak diperbuat suaminya ini? Apakah ... untuk Deby?

"Lo gak punya malu, kah?" cerca Adit tanpa basa-basi.

Jelas saja harga diri Zeze tergores dan membuat kesabarannya yang memang sejak tadi menipis langsung habis. Dalam gerakan secepat kilat, tangan kirinya meraup kerah jaket Adit, sementara tangan kanannya terkepal bulat, siap meluncurkan satu bogeman.

"Jangan berantem!" sela Caca yang tak bisa berpindah sedikit pun dari tempatnya karena cengkeraman Adit. Air mata pertamanya jatuh lagi dan Adit langsung menyadarinya.

"Keluar sekarang!" usir Adit sebelum emosinya lepas kendali. Sejak tadi dia sudah berusaha menahan singa yang mengaum buas dalam dirinya. Kalau melihat ketidaksopanan Zeze sedikit lagi, bisa-bisa ruang tengah ini betulan jadi ring tinju dadakan.

"Kenapa? Karena lo mau nyakitin Caca, hah?" serang Zeze. Dia mengempaskan cengkeramannya dengan muak. "Lo laki bukan, hah? Kalau lo belum bisa lepas dari masa lalu lo, mending gak usah nikahin Caca! Mau mainin dia lo?"

"Apa maksud lo?" Kedua tangan Adit mengepal bulat-bulat, bahkan cengkeramannya pada tangan Caca ikut menguat. Genggamannya itu hanyalah usaha agar dia tak segera melayangkan tinju pada pria di depannya ini.

"Kemarin lo jalan sama bini gue, kan?" tuduh Zeze. "Caca sendiri yang udah lihat pesan romantis dari bini gue ke lo!"

Kedua mata Caca membola. Bagaimana Zeze tahu? Padahal dia belum cerita. Ah, Vera, pasti wanita itu yang membocorkannya. Lalu, kesalahpahaman makin berkecamuk dalam dirinya. Deby dan Adit, apa yang telah terjadi antara mereka berdua? Terutama buket mawar itu? Kalau diberikan untuk Deby, mengapa dibawa pulang?

"Aku kecewa sama kamu, A. Kamu juga, Ze," kata Caca dengan suara gemetar. "Kenapa kalian tidak becus mengurus satu wanita, hah? Kenapa aku kalian jadikan korban?" Jeritannya hampir keluar andai dia sudah tak bisa lagi menahan emosi. "Kalau seandainya kalian belum selesai dengan masa lalu kalian, jangan pernah memulai hubungan baru dan mengorbankan orang yang tidak bersalah!"

Suara Caca yang pelan dan bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir berhasil memadamkan emosi kedua pria itu. Fokus mereka sekarang teralih sepenuhnya padanya. Terutama Adit yang langsung berlutut dan menggenggam kedua tangannya. Caca berupaya menarik kencang kedua tangannya yang gemetar, tetapi genggaman Adit lebih kuat dari tenaganya.

"Sayang, kamu salah paham," bujuk Adit untuk mengawali semua penjelasan yang akan dibeberkannya dengan detail. "Maafkan aku, dan izinkan aku untuk menjelaskan semuanya, kumohon."

Caca tak menjawab, sementara Zeze tampak menghela napas sambil mengacak rambut frustrasi. Selama mereka bersahabat, baru kali ini dia melihat Caca menangis dengan kacau, dan itu karena dirinya. Rasanya dia ingin meloncat ke pinggir wanita itu dan membawa tubuhnya ke dalam pelukan.

"Ya, aku emang ketemu Deby dan sempat nemenin dia ngobrol," aku Adit yang merasakan tenggorokannya mendadak kering. Setiap kata yang terucap dari bibirnya terasa sepahit empedu.

Caca kembali menarik tangannya, tetapi tak dilepaskan Adit.

"Aku salah, aku minta maaf. Alasanku menemui dia bukan karena aku masih mencintainya, tidak demi apa pun, demi Allah." Adit sampai bersumpah dengan sungguh-sungguh. "Dia memang rutin mengabariku sejak beberapa hari lalu dan puncaknya malam itu, dia ngirim foto dirinya yang kehujanan dengan keterangan kalau dia kabur dari rumah. Dia mengaku kena KDRT, jadi aku langsung menemuinya tanpa pikir panjang."

Sepeduli itu? Adit masih sepeduli itu pada mantannya? Astaga, hati Caca rasanya diremukkan sampai tak berbentuk.

"Itu tidak benar. Malam itu, kami memang bertengkar hebat, tetapi aku gak pernah main tangan sama dia," sangkal Zeze jujur.

"Tangannya luka, memar merah."

"Dia terluka karena keteledorannya sendiri saat kami bertengkar." Zeze langsung mengonfirmasi ucapan Adit.

Penjelasannya sontak membuat pria itu terdiam dan menggumamkan istigfar berulang kali. Isakan Caca mulai terdengar, yang berusaha ditahan mati-matian tetapi gagal. Gejolak emosi benar-benar membakar habis akal sehat wanita itu. Hal yang dia inginkan sekarang adalah menangis dan meneriakkan semua unek-unek di dalam hatinya.

Adit makin merasa bersalah. Janji yang telah dia ucapkan pada sang ayah mertua, dengan keadaan yang terjadi sekarang, benar-benar membuatnya lebih buruk dari seorang pengecut. Hatinya campur aduk, termasuk kemarahan pada Deby. Wanita itulah dalangnya!

"Sayang ...." Dia mendongak, berusaha menatap wajah Caca yang bersimbah air mata. Rasanya Adit ingin mengucapkan berulang kata maaf detik itu juga, tetapi dia sadar, untuk saat ini hal itu hanyalah sia-sia. "Istriku, aku tahu aku salah, tetapi aku gak pernah sedikit pun punya perasaan pada Deby. Dia hanya masa laluku, kisahku yang telah usai. Sekarang aku hanya mencintai kamu."

Bagaimana Caca harus percaya? Sementara chat Deby yang masuk ke ponsel Adit terus menghantui kepalanya.

Adit paham tatapan itu, sarat akan kecewa dan rasa tak percaya. Dia memang pria brengsek dan pengecut. Rasa sesal terus menggerogoti harga dirinya, tetapi Adit tak boleh menyerah begitu saja. "Kita selesaikan masalah ini sekarang," katanya pada Zeze.

Zeze, yang sedari tadi diam dan mengekspresikan emosinya dengan embusan napas kasar, segera mengangguki ucapan Adit. "Caranya?"

"Deby masih chat dan tadi minta ketemu."

Mendengar itu, Caca berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Adit, lalu beranjak ke sofa di ujung; duduk di sana dengan kepala menunduk. Adit tak mengejar meski saat ini dirinya sangat ingin langsung membawa wanita itu ke pelukannya.

"Dia gak pernah balas chat gue sejak meninggalkan rumah," beber Zeze. Rasa sesal juga membuat mulutnya berat setiap berucap. Dia memang telah gagal sebagai kepala keluarga.

"Gue bantu lo buat ketemu dia, tapi ...," Adit melirik Caca yang masih menunduk, "gue mau selesaikan masalah gue dulu sama dia."

Anggukan pelan Zeze menyetujui ucapan Adit. Adit lalu kembali melirik Caca. Wanita itu masih menangis. Dia ingin mendekat dan menenangkannya, tetapi itu akan sia-sia, mengingat dialah penyebab Caca menangis. Kemudian, dia mengeluarkan ponsel dan tangannya dengan cepat menari di atas layar.

"Maaf, Sayang," bisik Adit begitu tiba di depan Caca. Tangan kanannya mengusap-usap lembut punggung tangan sang istri yang terasa dingin. Jujur, saat ini Adit tak berani menatap wajah Caca. "Maaf, aku harus menemui wanita itu lagi untuk menyelesaikan masalah kita."

Bibir Caca tampak bergetar kecil. Dia menggigit bibir bagian dalamnya, berupaya menahan isakan yang menyesakkan dada.

"Maafin gue," kata Zeze tulus. Kepalanya lagi-lagi tertunduk dalam, penuh penyesalan. "Semua ini salah gue."

"Tolong angkat." Adit berujar dengan mata berkaca-kaca, menatap ponsel Caca yang tergeletak di sofa di samping wanita itu.

Caca menurut dalam keheningan.

Usai panggilan tersambung, Adit lalu berdiri menjulang di depan Zeze. Tangannya menghapus jejak basah di sekitar mata. "Keluar dari rumah ini dan jangan pernah menginjakkan kaki lo lagi di sini tanpa seizin gue," katanya pada Zeze.

Tak ada penolakan. Zeze mengangguk patuh. Sebelum beranjak pergi, dia kembali melayangkan tatapan pada Caca yang sekarang sudah sedikit tenang.

***

Adiiit
Ketemu di Nyore Kafe, sekarang.

Senyum Deby melebar begitu membaca ulang satu pesan dari Adit. Sekarang dia sudah ada di lokasi yang ditentukan pria itu untuk pertemuan mereka. Pertemuan mereka? Rasanya Deby bahagia begitu membayangkan mereka masih memiliki harapan untuk kembali bersama. Semua skenario yang dia buat ternyata mendapat hasil memuaskan. Semua berjalan lancar sesuai keinginannya.

Ya, dia masih berharap dapat kembali bersatu dengan Adit. Bagaimanapun, Adit masih menguasai sebagian besar hatinya. Pria itu banyak memberinya kenangan manis selama lima tahun mereka bersama. Namun, memang keputusannya di tahun terakhir hubungan mereka adalah sebuah kesalahan. Dia yang bosan menjalin LDR, akhirnya mulai main api dengan pria lain, yang sekarang menjadi suaminya, Zeze.

Zeze jauh lebih perhatian dan romantis daripada Adit, hanya saja masih terlalu sibuk dengan dunianya sehingga sering membuatnya feeling lonely. Adit cenderung datar dan tak bisa romantis sebagai pria. Namun, pria itu lebih senang membuktikan rasa sayangnya dengan tindakan atau benda konkrit.

"Hai!" sapa Deby sambil memberikan senyum terbaik.

Adit duduk sambil membalas sapaannya dengan datar. Kedua tangan Deby dengan cepat hendak meraih tangan kanan Adit yang memegang kunci di atas meja. Namun, pria itu buru-buru menarik tangannya, menunjukkan reaksi penolakan.

"Yah, kok nolak, sih?" Deby tampak kecewa. Dia menunjukkan ekspresi sedih yang selama mereka pacaran selalu berhasil membuat Adit luluh. Sayangnya, sekarang situasi sudah berbeda.

"Kita sudah selesai, Deby. Pulang gih, Zeze udah nunggu kamu," titah Adit tanpa basa-basi.

"Ih, kok malah bahas itu?" protes Deby tak suka. Dia menyilangkan tangan di dada, merajuk. "Bukannya kamu ke sini karena peduli sama aku, ya? Artinya, jangan pernah bahas dia!"

"Kenapa?"

"Yaaa ... dia bentar lagi jadi masa laluku," jawab Deby tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Jangan gila, Deb!" tegur Adit. Jujur dia tak menyangka saat melihat sisi lain wanita yang pernah bersamanya selama lima tahun ini. "Kamu yang aku kenal gak kayak gini."

Deby lagi-lagi merengut. Kali ini dia agak agresif, untung Adit bisa lebih sigap menghindarinya. "Justru aku gini karena kamu, karena aku kehilangan kamu!" Kedua matanya berkaca-kaca, siap menjatuhkan air mata. Namun, hati Adit sudah membeku untuk segala drama yang akan dibuat wanita itu.

"Salah siapa dulu ninggalin aku? Bukannya kamu udah mantap putus sampai kasih aku undangan di hari kepulangan aku, terus putusin aku di dermaga?"

Kalimat yang amat menohok itu langsung membungkam Deby. Wanita itu tampak kehilangan kata-kata. "Maaf," sesalnya sungguh-sungguh.

"Kata maaf memang berarti, Deb, tapi gak bisa menarik kembali apa yang udah terjadi," kata Adit.

"Maksudnya?"

"Kita udah selesai dan punya kehidupan masing-masing." Adit menjawab dengan muak. Bahkan, dia tak bisa menetralkan mimik mukanya saat pelayan datang dan menyajikan menu pilihan Deby. Menu kesukaan Adit.

"Ih, gak boleh gitu, lhooo." Deby bersikap manja, membuat Adit tambah muak. "Bukannya kamu ngajakin ketemu karena masih cinta sama aku? Dan ini buktinya, aku pesanin menu kesukaan kamu, tanda bahwa aku masih sepenuhnya cinta sama kamu," sambungnya sambil menatap penuh pada Adit.

Adit membuang muka muak. "Istriku malah bisa masakin sendiri makanan kesukaan aku, masakannya lebih enak lagi." Rahangnya mengeras. Sejujurnya dia ingin memaki Deby saat ini, tetapi prinsipnya tetap teguh dipegang sejak dulu, yakni tak boleh kasar pada wanita, baik verbal maupun tindakan.

Mendengar itu, kemarahan langsung meledak dalam dada Deby. "Selera kamu turun, ya? Lepas dari aku yang pendidikan oke, keluarga mapan, punya karier, malah dapat wanita jadi-jadian yang gak bisa dandan kayak si Caca!"

"Jaga mulut kamu!" bentak Adit. Tubuhnya refleks berdiri. Dia ingin melampiaskan kekesalannya, tetapi kembali ditahan karena lawan bicaranya adalah wanita, dan dia tahu bagaimana karakter Deby. "Istigfar, Deb! Kamu udah nikah sama Zeze, aku juga udah punya istri yang aku cintai dengan sepenuh hati, Caca."

Deby ikut berdiri. Hatinya bergemuruh oleh beragam perasaan tak mengenakkan yang makin meledak-ledak. "Kamu cinta dia gitu?"

"Ya, aku amat mencintainya. Bahkan, sekarang seluruh hatiku hanya untuk Caca dan diisi oleh dia. Gak ada yang lain, apalagi kamu, wanita masa laluku!" Jawaban Adit sepertinya mengandung jarum-jarum tajam yang langsung menusuk-nusuk hati Deby.

Air mata pertama Deby jatuh, yang disusul dengan bulir-bulir lainnya. Dalam sekejap, wanita itu terisak.

"Jangan banyak drama. Sadar, Deb, kamu udah menikah. Tindakanmu sekarang disaksikan oleh Allah dan diperhitungkan dengan dosa." Adit sama sekali tak bersimpati pada wanita ini. Benar-benar, dia harus membuat Deby sadar. "Dan, semua perbuatanmu udah ngerugiin aku sama Caca. Kamu jago drama juga, ya?" sindirnya sarkas.

Deby hanya mampu menggeleng-geleng pelan.

"Berhenti jadi ratu drama, itu memuakkan," sambung Adit pedas. Tatapannya masih terkunci lurus pada Deby. "Aku udah bahagia dengan kehidupanku. Aku udah menemukan belahan jiwaku. Aku udah menemukan wanita yang mencintaiku dengan tulus. Kita udah selesai, Deb, dan semua karena kamu." Dia menahan kata-katanya, mempertimbangkan terlebih dahulu.

"Setidaknya, kalau kamu udah menyakitiku, relakan dan lepaskan aku untuk menemukan kebahagiaanku sendiri, Deb," sambungnya dengan hati-hati. "Dan jangan pernah usik kehidupanku lagi sama Caca!"

Sudah tak ada jawaban lagi. Deby menangis kencang meski suasana kafe tengah ramai, membuat mereka jadi pusat perhatian bagi beberapa orang.

"Pulang, Deb, selesaikan masalahmu. Kalau kamu gini terus, bukan tak mungkin aku akan benar-benar mengempaskanmu dari kehidupanku secara sepenuhnya," ancam Adit. "Satu lagi, jangan pernah chat aku lagi untuk alasan se-urgent apa pun. Kalau ada perlu sama aku, chat Caca aja."

"Kamu bohong, kan?" Deby bangkit berdiri dengan air mata terus bercucuran membasahi wajahnya dan membuat makeup-nya luntur. "Kamu bohong waktu bilang kamu udah cinta sama Caca? Karena gak mungkin secepat itu buat move on dari aku. Pun aku, aku kesusahan move on dari kamu. Seluruh hatiku udah penuh sama kamu dan terbiasa memujamu."

Terdengar tawa sumbang Adit. "Tidak. Aku memang telah mencintai Caca. Dia wanita idamanku dan aku sangat mencintai apa pun yang ada pada dirinya. Kamu salah besar, Deb, kalau menganggap diri kamu lebih baik dari Caca. Justru sebaliknya, kamu kalah dalam segala hal oleh Caca," serangnya telak.

Selepas itu, Adit berbalik, tetapi sebelum melangkah pergi, dia sempat berujar menyambung ucapan pedasnya tadi. "Aku tidak suka milikku diusik dengan gerakan sekecil apa pun. Kamu paham apa maksudku, kan?" Dia menghela napas. "Jangan usik Caca."

Kemudian, pria itu meninggalkan Deby yang hanya bisa menangis tergugu dengan penuh sesal.

Begitu melihat Adit keluar dari pintu kafe, Zeze segera membuka pintu mobilnya. Adit tampak melangkah lebar-lebar menuju mobilnya yang terparkir. Tak lama berselang, MG 5 GT kuning itu memelesat bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.

Sementara itu, di kediamannya, Caca masih diam dengan air mata terus bercucuran. Semua obrolan Adit dan Deby tadi didengar olehnya via sambungan telepon dengan ponsel Adit. Sekarang dari ponselnya hanya terdengar deru mesin yang cukup kencang. Sepertinya Adit tengah mengebut di jalan raya, padahal sekarang tengah hujan. Namun, waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, pasti jalan raya sudah cukup sepi.

Hati Caca campur aduk sekarang. Semua yang terjadi hari ini benar-benar menguras habis emosinya. Kemunculan Zeze, dugaan perselingkuhan Adit dan Deby, kedatangan Adit yang tiba-tiba, lalu ungkapan cinta Adit, benar-benar sukses membuat jantungnya berdetak tak menentu. Sepasang matanya menatap kosong pada buket mawar merah yang masih tergeletak terabaikan di atas meja.

Pintu tiba-tiba dibuka dari luar. Suaranya sampai membuat Caca kaget karena tengah melamun. Kemudian, Adit muncul dengan tubuhnya yang basah kuyup karena hujan.

"Maafin aku, Sayang." Pria itu langsung duduk dan memeluknya dengan erat. Dia menyusupkan kepalanya ke leher Caca dan mengeratkan pelukan.

"Eh, bukannya salam," tegur Caca yang otaknya sudah blank karena kemunculan dadakan Adit.

"Maaf," kata Adit yang mirip gumaman. "Maaf udah bikin kamu nangis dan salah paham." Pria itu berulang kali menggumamkan kata maaf dengan tubuh menggigil; dingin. Dia melepas pelukan, beralih pada ponsel dan dengan jarinya yang gemetar, segera memilih kontak di WhatsApp.

"Mau apa?" Caca mengernyit heran.

"Lapor Ayah, biar aku dihukum," jawab Adit. Namun, begitu jempolnya hendak menyentuh ikon panggil pada kontak sang ayah mertua, Caca lebih dulu menghentikannya.

"Jangan," kata wanita itu tegas. Dia merasa, masalah ini tak boleh bocor ke banyak pihak lagi, atau semua akan tambah rumit. Cukup, Caca tak mau masalah rumah tangganya jadi konsumsi publik, termasuk keluarganya—selagi dalam batas wajar.

"Tapi ...."

Caca memberi gelengan pelan. Kemudian, tatapannya fokus pada wajah Adit. Pria itu tampak kacau dan basah kuyup—baju Caca bahkan sampai terkena basahnya. Ada jejak-jejak basah di sekitar kedua matanya yang agak memerah. Adit ... menangis?

Ada banyak kata yang tertahan yang berhasil terdeteksi Caca dari tatapan pria itu. Mulut Adit memang terbungkam sempurna, tetapi dia yakin pria itu sekarang tengah berupaya keras meredakan gejolak di dalam dirinya, sama seperti Caca. Ada banyak kata yang hendak dilontarkan serta kalimat yang menjadi bentuk protes, tetapi semua itu tak bisa keluar dengan mudah.

"Aku udah dengar semuanya," kata Caca, memecah keheningan. "Aku ... akan mencoba percaya."

Adit menunduk dalam. Air matanya sukses jatuh bebas.

"Kurasa ini hanya kesalahpahaman," sambung Caca berlapang dada.

"Maaf, maafkan aku," ulang pria itu dengan suara seraknya.

"Iya, kumaafkan." Caca mengangguk dan mencoba melebarkan senyum. Melihat bagaimana kacaunya pria itu, ada rasa sakit yang menambah sesak dadanya. Ah, bagaimana bisa dia ikut merasakan kesedihan Adit hanya dengan melihatnya saja?

"Maaf." Kali ini Adit memeluk Caca dengan lebih lembut; kembali menyusupkan kepalanya ke leher wanita itu dengan lesu. Tak bohong, sebenarnya tubuhnya sudah di ambang batas sehabis melakukan perjalanan dari luar kota, lalu dihadapkan dengan masalah yang menguras emosi, ditutup dengan agenda hujan-hujanan di malam hari Kota Bandung yang dingin. Dia agak menggigil.

Kedua tangan Caca kembali menangkup pipi Adit, membawanya agar mereka bertatapan dalam posisi sejajar. Caca memaku tatapannya pada sepasang mata Adit yang sedikit sayu. Lalu, tanpa diduga, wanita itu mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir tebal Adit.

"I love you," kata Caca dengan sepenuh hati.

Adit membeku selama beberapa detik, sebelum mengambil alih kendali untuk memanfaatkan situasi tersebut. "I love you a million times, my wife," balasnya. Kemudian, memberikan ciuman balasan yang lebih lama dan intens dari sebelumnya. "Don't leave me, my dear."

"Sure."

***

Mampus lah, Deby di-ulti Adit habis-habisan.
Lagian salah siapa, gangguin punyanya Adit.☺️

Btw, bab ini panjangggggg.

Eh, nanti PO siapa yang mau ikut antre?🥺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro