BAB 11 - Nyaris
"Proses pendekatan itu dilakukan secara perlahan. Jangan terburu-buru, nanti hasilnya tak sesuai keinginanmu."
***
"MA–MAAF," KATA PRIA itu pelan. Dia berdeham dengan kaku dan segera menjauhkan diri. Caca pun mengikutinya. Jadi sekarang mereka duduk di ujung sama ujung kasur. Bahkan, Caca bisa saja terjengkang kalau sedikit lagi dia bergeser ke kiri.
Tanpa kata, keduanya memberi jeda untuk masing-masing menenangkan diri. Adit meraih ponsel, entah berbuat apa karena pria itu tampak fokus—entah pura-pura fokus. Caca pun kabur ke kursi gaming yang masih dekat dari kasur, tetapi spot itu cukup baik untuk mengamankan diri. Tanpa sadar, dia mengambil ponsel dan membuka gim Mobile Legends: Bang Bang. Sialnya, dia lupa mengecilkan volume ponsel sehingga intro gim itu meledak di keheningan kamar.
"Eh, main game, tah?"
Tahu-tahu Adit sudah berdiri di belakang kursi gaming Caca dan melongok penasaran. Caca nyaris jantungan, dia segera berdeham dan mengangguk.
"Gak apa-apa, tah?" tanya wanita itu takut-takut.
"Ya gak apa-apa, emangnya kenapa?" balas Adit santai. Dia celingukan, hendak mencari tempat untuk duduk karena ingin melihat Caca main gim.
"Oh, oke." Caca angguk-angguk canggung. Tanggung sudah log in gim, ya sudah dia lanjut solo rank saja. "Mau lihat?" tawarnya pada Adit yang baru saja menarik kursi kecil dari depan meja rias.
Pria itu mengangguk. "Huum. Tier kamu udah Immortal aja, aku mah sejak main masih di Epic," adu pria itu. Sekarang dia sudah merapat ke kursi Caca, fokus menyimak.
"Emang main sejak kapan?"
"Sejak ...." Adit menahan jawabannya karena tidak mungkin dia jujur bahwa dirinya main gim sejak putus dari Deby. Ya, gim memang pelarian terbaik untuk jiwa-jiwa yang patah hati. "Season ini, deh," sambungnya.
"Pantes." Caca memasang senyum simpul dan Adit terpukau saat tak sengaja menangkap pemandangan singkat itu. Senyum Caca manis. Dia khawatir dirinya bisa punya penyakit diabetes kalau setiap hari disuguhi senyuman manis istrinya.
Gim pun dimulai, tak ada obrolan lagi. Adit hanya sesekali menceletuk yang dijawab singkat pula oleh Caca. Caca memang gamers sejati, skill bermainnya membuat Adit kagum. Kurang lebih skill wanita itu setara dengan Sam dan teman-teman party-annya yang mengajarinya cara bermain gim ini.
Tubuh yang lelah tak bisa bohong. Di gim ketiga, Adit mulai tak bisa menahan kedua matanya untuk tetap terjaga. Mulutnya juga terus menguap dan tangannya terasa pegal untuk menopang tubuh. Dia butuh kasur untuk rebahan.
"Ngantuk?" Suara Caca membuat kedua mata Adit kembali terjaga.
"Gak, kok." Pria itu menggeleng. Dia baru saja dapat momen manis untuk melakukan pendekatan, masa mengalah sama rasa kantuk?
Caca nyaris tertawa karena kebohongan Adit. Jelas sekali pria itu tengah mengantuk berat karena sepasang matanya sudah memerah, belum lagi kepalanya yang terantuk-antuk pelan. Kenapa pria itu tidak mengalah saja ya, dengan naik ke kasur dan lanjut tidur?
"Masih ...," Adit menguap lagi, "mau lihat kamu main, Cahaya. Kamu jago banget, dari tadi menang terus."
Dapat pujian dari orang lain harusnya biasa saja, tetapi kali ini Caca malah salah tingkah.
"Ya udah, mainnya di kasur, yuk!" ajaknya tanpa menyadari kalimat yang dilontarkan.
"Main?" Mata Adit langsung menyala 1.000 watt. Neuron activation.
"Main gim maksudnya!" Caca jadi kesal sendiri melihat reaksi pria itu.
"Oh." Adit lalu berdiri dan segera berjalan ke kasur. Dia baring di sana, lantas tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah kasur yang masih kosong. "Sini!"
Sekarang Caca menyadari konsekuensi dari ucapannya tadi. Waduh, dia sudah tak bisa lari lagi. Jadilah terpaksa dia beranjak dari kursi lalu berjalan ke kasur.
Sekarang agenda-tidur-bersama-pengantin-baru sepertinya benar-benar akan terjadi. Terlebih setelah Caca selonjoran di kasur, Adit langsung merapat dan menjatuhkan kepala ke lengannya; bersandar dengan nyaman.
"Numpang tidur," kata pria itu dengan suara mengantuk.
Kalau dari kejadian aneh di kamar studio Fahmi waktu itu, mungkin yang dimaksud Adit adalah ingin tiduran sambil bersandar padanya. Sebatas itu, tak ada yang lain.
"Lanjut main aja," kata Adit lagi.
"Oke."
"Sambil ngobrol boleh?"
Caca menahan kata-katanya dulu. "Boleh."
Gim kembali dimulai dengan cepat usai kemanangan sebelumnya. Caca nyaris tak bisa bergerak dan bernapas bebas karena sekarang tubuhnya sedang ditempeli entitas lain. Semoga saja Adit bisa tidur cepat seperti waktu itu biar dia cepat terbebas.
"Cahaya, maaf, ya," ujar Adit tiba-tiba.
Sebelum menjawab, Caca berpikir keras sampai mengabaikan permainan. Dia juga salah fokus pada panggilan Adit terhadapnya. Cahaya, sapaan baru yang hanya dipakai oleh pria itu. "Untuk?"
"Kamu pasti kaget dengan keputusan sepihakku," jawab Adit. Dia menggerakkan pelan tangan kanannya dan mendarat di perut Caca. "Apalagi kita gak kenal sebelumnya."
Oh, Caca paham sekarang ke mana arah pembicaraan ini.
Caca menelan ludah, salah fokus pada tangan Adit yang secara ajaib membuatnya jadi lebih hati-hati dalam mengambil napas. "Gak apa. Toh, aku juga terima keputusan Aa," jawabnya setelah berhasil menguasai diri. Sebisa mungkin dia tak boleh terlihat gugup.
"Hmm, kenapa tuh kamu mau terima aku? Apalagi pas di panggung?" Adit bertanya dengan nada kentara sekali penasaran. Dia bergerak pelan, menyempurnakan posisi yang terasa nyaman itu. Inginnya sih sekarang tangan Caca mengusap-usap lembut kepalanya biar dia lebih cepat tertidur.
Caca kembali fokus ke permainan karena tengah adu retribution untuk memperebutkan lord. "Ya, kupikir Aa bercanda, jadi ya aku jawab bercanda juga," jawabnya apa adanya.
"Hmmm." Mendengar jawaban itu, hati Adit agak kecewa. "Lalu, pas dilamar?"
"Gak enak nolak." Caca menjawab cepat, kemudian tersadar akan sesuatu. "Eh, karena hal lain juga, sih."
"Apa?"
"Mmm, Aa kayaknya udah dapat lampu hijau dari Mama sama Ayah. Soalnya, mereka kelihatan bahagia banget waktu itu." Caca menjawab jujur dan pengakuannya membuat suasana hati Adit dalam sekejap berubah cerah. "Soalnya lagi, Ayah dan Mama cukup selektif soal pasangan anak-anaknya. Eh, bukan berarti mandang harta sama jabatan juga, ya. Maksudnya, kayak dilihat agamanya, kepribadiannya, yang gitu-gitu."
Adit mengangguk-angguk pelan dengan mata terus bertambah berat.
"Jadi, ya udah, aku terima aja," sambung Caca.
"Simpulnya, aku diterima karena dapat ACC duluan dari camer, ya?" simpul Adit sambil pasang senyum. Sekarang tangannya sempurna memeluk pinggang ramping Caca.
Caca sudah bingung harus bereaksi bagaimana lagi untuk menggambarkan kecanggungannya. Saat ini, rasanya membuat gerakan sekecil apa pun akan membuatnya terancam, jadi dia cuma bisa diam kaku cosplay jadi patung.
"QnA lagi, yuk!" ajak Adit.
"Hm?" Caca mengernyit meski Adit tak bisa melihatnya.
"Buat pendekatan, kan kita belum tahu masing-masing."
Masuk akal, jadi Caca setuju. Lagi pula, dia memiliki beberapa pertanyaan juga. "Boleh."
"Ya udah, kamu duluan yang tanya."
Caca sempat bingung mau tanya apa saking banyaknya yang ingin dia tahu dari Adit. Kebetulan muncul pertanyaan random di kepalanya. "Aa tipe bubur yang diaduk apa gak diaduk?"
"Yah," Adit menahan tawa, "mau digimanapun juga tetap kumakan, orang itu makanan. Diaduk kek, gak diaduk kek, kan bentuknya sama-sama bubur, gak jadi piza," jawabnya bercanda.
Caca tersenyum singkat.
"Giliranku." Adit mati-matian menahan rasa kantuk yang makin menjeratnya. "Siap gak kubawa ke rumah baru?" Dia mendongak, mencoba menatap lebih jelas ke wajah Caca, menelisik setiap reaksi yang akan segera diperlihatkan wanita itu.
"Siap, lah," Caca menjawab dengan yakin, "soalnya Mama dan Ayah selalu bilang, 'Kami ikhlas kamu dibawa ke mana pun oleh pria yang menjadi suamimu nanti, selagi dia bertanggung jawab, sayang padamu, dan bisa membimbingmu dengan baik.' Bahkan, dari sejak aku ketahuan suka sama lawan jenis."
Tak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata wanita itu. Membuat Adit merasa puas sehingga dia melebarkan senyum. "Syukurlah, soalnya aku udah siapin rumah di Ciwidey," bebernya.
"Lho, sejak kapan?"
"Pas kita prewed, sekalian aja aku tengok calon rumah," jawab Adit jujur.
Caca mengingat-ingat lagi. Prewed adalah agenda yang menguras karena waktu itu Adit tengah cemburu. "Oh, jadi waktu itu Aa hindarin aku bukan karena cemburu doang?"
"Gak juga," Adit berdeham pelan, "aku emang ngehindarin kamu karena takut menunjukkan emosiku di depan kamu."
"Oh, sok cool ceritanya," goda Caca. Entah kenapa topik Adit yang tengah cemburu terasa lebih menarik baginya sekarang.
"Huh, apa, deh?" Adit mengulet pelan, salah tingkah. "Yaaa, aku waktu itu nolak semobil sama kamu karena mau nengok rumah dulu. Karena klop, ya udah aku deal dengan rumah itu. Bagus sih, views-nya cantik, aku suka. Kuharap kamu juga suka."
Caca terdiam mendengar ucapan pria itu. Adit memang penuh kejutan dan tak bisa ditebak. "Aku emang punya cita-cita pengin punya rumah di tengah kebun teh, sih."
"Nah," Adit menguap, "cocok itu." Dia menguap lagi dan lagi. Caca jadi kasihan padanya karena terus memaksakan diri menahan kantuk.
"Kalau ngantuk tidur aja," kata Caca seraya berusaha menahan senyum.
Adit mengeratkan pelukan. "Mau sambil diusapin," ucapnya dengan suara berat.
Dih, apa deh? batin Caca yang ingin tertawa sekarang juga. Adit kok makin kelihatan manjanya, deh? Dia jadi ngeri, tetapi gemas juga.
"Iya, iya." Namun, Caca tetap mengalah juga. Tangan kirinya lepas dari ponsel, beralih ke kepala Adit dan mulai mengusap-usapnya dengan lembut. "Lanjut QnA, ya."
"Huum." Adit menjawab pelan. Dia nyaris tertidur.
"Butuh berapa tahun buat Aa bisa move on?" tanya Caca yang sekarang beralih menonton tayangan YouTube.
Itu pertanyaan penting, jadi Adit kembali berupaya keras untuk tak terlalu menikmati sentuhan lembut Caca. "Aku tipe yang left and go. Yang udah pergi, ya udah, ikhlaskan dan jadikan pelajaran. Aku cukup fokus pada apa yang ada di depan mata," jawabnya agak membulat. "Memang, gak mudah melepas orang yang udah bersama cukup lama, aku akui itu. Cuma, aku bisa lihat kenyataan. Dia udah bahagia dengan dunianya, aku juga harus fokus dengan duniaku."
Caca menajamkan pendengaran karena suara Adit terus memelan.
"Lagian takdir Allah lebih indah. Aku kandas sama mantan, ya itu yang terbaik. Hubungan yang dipaksakan oleh kehendak manusia, tanpa seizin Tuhan-nya, tetap tak akan berakhir baik," sambung Adit.
Caca mengangguk-angguk pelan.
"Dan lagian, sekarang aku udah punya kamu. Aku harus fokus sama kamu, bahagiain kamu, bimbing kamu, dan ... belajar bersamamu menuju Jannah-Nya," pungkas Adit.
Dia tak menyadari bahwa ucapannya itu sukses membuat Caca panas dingin. Wanita tersebut bahkan tak bisa menahan bibirnya yang terus melebar dengan pipi memanas. Namun, Adit malah tak bisa menikmati ekspresi itu karena kedua matanya kalah oleh rasa kantuk. Sentuhan lembut Caca bak obat tidur dosis tinggi yang merenggut seluruh kesadarannya.
Caca pun tak mengira bahwa pria itu sudah tidur sehingga membiarkan suasana membeku cukup lama. Sampai akhirnya dia berdeham dan menyadari ada dengkuran halus dari bawahnya. Kepala Adit jatuh dengan nyaman ke perutnya, kedua matanya terpejam rapat.
Kenapa ya, pria tampak menggemaskan saat tertidur? Caca tak bisa menahan tatapannya yang melembut begitu melihat wajah tenang Adit. Dia diam-diam menikmati posisi itu, tak terganggu sama sekali meski rasanya masih aneh.
***
Uhuk!
Awas keselek yang manis-manis.😘
Btw, persiapan terbit ternyata cukup menguras. ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro