Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ENDING

Halo, Guys. Happy Reading!!!

***

Pagi-pagi sekali Zen sudah di rumah Syana untuk menjemput gadis itu. Ya, seperti yang disepakati kemarin. Mereka akan menghabiskan waktu bersama dulu.

Aca masih belum sadarkan diri, dia dirawat di rumah Syana. Namun, keadaan Aca sudah lumayan membaik. Mungkin tinggal menunggu cowok itu siuman saja.

Syana tersenyum menatap Aca. Gadis itu menarikkan  selimut untuk Aca menutupi sampai dada. Tangan Syana mengusap rambut cowok itu pelan.

"Aca ... terima kasih untuk semuanya."

Gadis itu lalu mencium kening Aca lama. Tetesan air mata Syana terjatuh di wajah cowok itu.

Setelah itu, kaki Syana melangkah keluar kamar. Saatnya pergi meninggalkan Aca, rumah, dan dunia ini ... ya, kan?

Itulah jalan hidup yang dipilih Syana. Daripada Zen berkorban sendiri, lebih baik mereka berkorban sama-sama saja.

Mati bersama sepertinya tidak buruk juga.

Syana melangkah ke ruang tamu, di sana sudah ada Zen dengan baju serba putih. Syana tersenyum kecil, dia melihat dirinya sendiri yang juga memakai gaun putih panjang. Padahal mereka tidak janjian.

"Ayo, Syana!" ajak Zen tersenyum dengan sangat lapang.

Syana mengambil belati yang ada di atas meja.


Gadis itu lalu memasukkan belati itu ke dalam tasnya. "Ayo!"

Zen menarik tangan Syana untuk bergandengan dengannya. Tidak ada berat hati sedikit pun dirasakan oleh keduanya.

Mereka tampak tetap tenang dengan lapang dada.

***

Pertama ... Zen mengajak Syana ke taman bunga dulu. Ada banyak jenis bunga di sini, tetapi yang menarik perhatian Syana tetap bunga matahari.

Mereka berjalan sambil bergandengan tangan menyusuri jalan. Zen menatap wajah gadis itu yang terkena cahaya matahari, kilauan cahaya memancar pada wajah cantik Syana.

Keringat kecil berjatuhan di pelipisnya. Zen dengan sigap menyeka peluh gadis itu membuat Syana tersenyum.

"Kamu mau bunga?" tanya Zen.

Syana hanya diam. Dia menatap ke arah bunga matahari di sana yang sangat menarik perhatiannya.

Tak kunjung ada jawaban, Zen pun akhirnya mengerti. Dia melepaskan genggaman tangan Syana sebentar, lalu berjalan ke arah bunga matahari. Langsung saja Zen memetik setangkai bunga matahari di sana.

Cowok itu kembali sembari menyodorkan bunga itu pada Syana. Dengan senang hati Syana menerimanya.

"Terima kasih, Zen ...."

"Iya."

Seberapa banyak bunga yang dipetik di taman itu harus dibayar nanti saat keluar. Jadi, satu tangkai saja tidak akan cukup.

Zen pun mengajak Syana untuk mencari bunga yang lain.

"Kamu pilih aja mana yang suka."

"Iya, Zen, tapi satu ini aja udah cukup kok."

"Atau mau bunga matahari itu aja lima tangkai? Sepuluh atau seratus tangkai juga boleh," ucap Zen membuat Syana terkekeh.

"Buat apa banyak-banyak, satu aja udah."

"Ya biar bisa kamu bawa nanti ke pemakaman aku," ucap Zen sambil tersenyum.

Syana terdiam. Padahal dia juga berencana untuk mati, tetap saja mendengar Zen berkata seperti itu membuat Syana gundah.

"Udah, ah, ayo lihat-lihat bunga yang lain!" ajak Syana. Sekarang waktu untuk mereka bersenang-senang.

Mereka lalu berhenti menatap bunga mawar. Ada banyak jenis warnanya, dimulai dari merah, putih, biru.

"Mawar itu indah ... tapi berduri." Zen memejamkan matanya sebentar, lalu membuka kembali. Syana terkejut, karena mata merah cowok itu muncul.

"Sama seperti mata merahku ini. Indah ... tapi menyakitkan."

Tangan Syana menangkup kedua pipi Zen. Mata biru gadis itu pun muncul.

"Mata merahmu ... maupun mata biruku ... itu bukan seperti mawar yang indah tapi menyakitkan. Melainkan suatu keindahan yang tak ada tandingannya di antara bunga-bunga di sini."

"Apa yang indah dari mata kutukan ini?"

"Buktinya kamu masih bisa berdamai dengan mata itu selama ini, kan? Dia mungkin mencelakai banyak orang, tetapi tak pernah mencelakai kamu."

"Justru itulah yang membuatku menderita."

"Ya, aku paham. Aku hanya ingin membuatmu ikhlas menerima mata itu sekarang, karena tidak akan ada lagi penerusnya selain kamu."

Zen menghela napas pelan. Matanya kembali normal. "Iya ...."

"Ya udah, yuk, kita lihat bunga tulip saja!"

Seusai dari taman bunga, mereka beristirahat dulu dan makan siang bersama di warung. Setelah itu barulah melanjutkan lagi perjalanan.

Mereka selanjutnya ke pantai, karena masih siang dan sangat panas, mereka memilih berteduh di tepi pantai menggunakan payung besar.

Angin kencang menerbangkan rambut Syana ke belakang. Angin itu membuat badan sejuk, sekaligus pikiran tenang. Rasa kantuk dengan cepat menyerang.

"Syana ... aku boleh tidur sebentar?"

"Boleh."

Zen merebahkan badannya, menjadikan paha Syana sebagai bantal kepalanya. Gadis itu pun mengelus rambut Zen, sampai cowok itu benar-benar terlelap.

Tangan Syana meraba wajah Zen, mengusap pipi mulus cowok itu.

"Maafkan aku, Zen. Aku memang akan membunuhmu, tetapi aku juga akan membunuh diriku sendiri. Tidak perlu kamu tahu, karena aku ingin kamu pergi dengan tenang."

Pandangan Syana beralih menatap air pantai, ombak yang berpacu-pacu menuju bibir pantai.

***

Malam pun tiba. Detik-detik sebelum Syana membunuh Zen.

Mereka pun sudah balik dari pantai dan sekarang sudah berada di air terjun---yang pernah mereka kunjungi waktu itu.

Bulan bersinar terang, cahayanya sudah cukup memberikan penerangan mereka di sini.

"Bulannya indah, ya," ucap Syana menatap ke langit.

"Iya."

Gadis itu beralih menatap mata Zen. "Kamu sudah siap?"

Zen menarik napas pelan, mata merahnya perlahan muncul. "Siap!"

"Apa yang akan kalian lakukan? Kalian ingin menghancurkan rencanaku, hah? Jangan macam-macam!"

Syana tersenyum sinis. Mata birunya bersinar. "Dari awal ini salah kau, Nurasiki!"

"Kenapa kau malah menyalahkanku anak bodoh?"

"Kau hanya dewa sampah yang tak berguna, harusnya kau memang dilenyapkan saja. Kau tidak akan bisa kembali lagi ke langit!"

"Beraninya kau berkata seperti itu padaku! Kau pikir sudah berapa lama aku tersiksa di dunia ini? Aku ingin kembali! Kalian jangan menghalangiku."

"Sayangnya sekarang waktu terakhir kau, Nurasiki."

"Ayo, Zen!" ujar Syana. Zen pun mengangguk.

Mereka langsung menatap satu sama lain, menyalurkan semua kekuatan agar bersatu untuk menghancurkan ilusi Nurasiki yang selama ini sudah mengganggu mereka.

Ya, hanya sebuah ilusi. Keberadaan Nurasiki memang dirasakan oleh keduanya, tetapi wujud makhluk itu tak diketahui.

Singkatnya seperti arwah penasaran yang tak jelas asal usulnya.

Saluran kekuatan keduanya pun terpecahkan. Ilusi tentang Nurasiki perlahan pecah seperti kepingan-kepingan yang berserakan.

Syana dibuat sesak napas, gadis itu segera mengatur napasnya terlebih dahulu, begitupun dengan Zen.

Saat ini, kekuatan mata keduanya benar-benar berada di titik terlemah. Ya, karena inilah saatnya untuk membunuh Zen, di saat mata itu tidak akan melawan.

Syana lalu mengambil belati yang dibawanya dari dalam tas. Tangan gadis itu gemetar.

Zen pun memegang tangan gadis itu, menenangkannya.

"Pelan-pelan aja ...."

"Iya ...."

Tidak hanya tangan, sekujur badan Syana terasa gemetar.

"Zen ... ak--"

Cowok itu langsung mendekap Syana ke pelukannya. "Tidak apa-apa ... Sayang."

Air mata Syana langsung mengalir. Dia tak bisa lagi menahan bendungan du kelopak matanya.

"Aku bahagia bisa dibunuh olehmu. Tidak usah takut, ya ...."

Syana mengangguk pelan. "Kamu ... bakalan bahagia, kan?"

"Iya, aku bahagia. Makanya jangan takut membunuhku."

Zen melepaskan pelukannya, tangan cowok itu menangkup kedua pipi Syana, menatap matanya dalam.

"Kamu juga janji bahagia terus, ya!"

"Iya."

"Jangan biarkan matamu mengeluarkan air mata lagi."

"Iya Zen ...."

Zen mendekatkan bibirnya ke kening gadis itu, mengecupnya sangat lama. Mata Syana terpejam, merasakan cinta yang disalurkan padanya.

"Aku mencintaimu, maka bunuhlah aku!"

Syana menunduk, menatap belati di tangannya. Perlahan gadis itu menatap ke arah Zen yang sudah memejamkan mata.

Syana mulai mengangkat tangannya, mengarahkan ke arah perut Zen.

Belati itu kini sudah menyentuh baju cowok itu, tetapi belum melukainya.

Syana mendekatkan jaraknya ke arah Zen, sebelah tangannya mengusap pipi cowok itu. Syana lalu menempelkan bibirnya dengan bibir cowok itu membuat Zen terkejut.

Syana melepaskan sebentar, lalu berkata .... "Bertemu denganmu mungkin masih terlalu singkat, tetapi aku sudah terpikat."

Zen membuka mata sebentar menatap mata biru Syana yang bercahaya.

"Aku mencintaimu ... Zen!"

Zen kembali memejamkan mata dengan bibir tersenyum.

Syana kembali mendekatkan bibirnya, lalu melumat bibir cowok itu bersamaan dengan belati yang kini sudah menusuk dada kiri Zen.

Darah pun memuncrat keluar dari mulut Zen, Syana menjauhkan mukanya. Tetap saja gadis itu terkena ciptratan darah Zen.

Kini tangan Zen menggenggam tangan Syana erat. Gadis itu mencoba tetap tersenyum, karena Zen sudah mulai kehilangan kesadarannya.

"Te--terima kasih ... Syana."

Setelah itu, Zen pun menutup mata untuk selamanya. Pegangan tangan cowok itu pun terlepas.

Rasa sesak dirasakan oleh Syana langsung tak tertahankan. Gadis itu langsung menangis histeris.

"ARGHHH!"

Seusai gadis itu mengeluarkan rasa sesaknya. Dia kembali menarik belati yang tertancap di dada Zen.

Sekarang adalah gilirannya ... Syana akan menyusul Zen secepatnya!

Tangan gadis itu kembali bergetar, dia tak boleh takut! Syana harus bisa menikam dirinya sendiri!

Syana memejamkan matanya, lalu mengarahkan pisau itu ke arahnya. Gadis itu mengayunkan tangannya agar belati itu mengenainya. Namun, saat belati hampir menyentuh tubuh Syana, tangan gadis itu dicegat seseorang.

"Apa yang ingin kamu lakukan?"

Syana terkejut, dia pun membuka matanya kembali menatap ke sang pemilik suara yang ternyata adalah ... Aca.

Cowok itu sudah sembuh?

Namun, kini mata Syana mengarah ke arah belakang Aca. Di sana tampak seseorang berdiri dengan pakaian serba putih, tersenyum ke arahnya.

"Bukankah kamu sudah berjanji untuk selalu bahagia? Kenapa kamu malah berencana untuk menghancurkan kebahagiaanku?"

Syana terkejut menatap sosok itu. Dia tak bisa berucap.

"Aku sudah bahagia ... dan sekarang saatnya kamu bahagia."

"Syana? Hei? Dengar aku, kan? Syana ...."

Gadis itu tersentak, dia lalu menghambur ke pelukan Aca.

"Syana? Kamu baik-baik saja, kan?"

"Iya ...."

Syana tersenyum menatap Zen yang perlahan menghilang dalam pandangannya sambil tersenyum.

Aca lalu menatap ke arah Zen. Jadi cowok itu menepati janjinya, ya?

"Akan kukorbankan nyawaku, jagalah Syana. Jangan pernah sakiti dia. Awas jika dia tak bahagia bersama kau!"

"Iya, aku akan selalu membahagiakannya."

Aca menghela napas pelan. "Selamat jalan, Zen. Terima kasih ... kau laki-laki sejati yang sesungguhnya."

Setelah itu, Aca pun membawa Syana pulang terlebih dahulu. Setelah itu dia akan mengurus Zen.

"Ayo pulang, Syana!"

"Iya."

Terpilih mendapatkan mata ajaib bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh Syana dan Zen. Semua berawal dari Nurasiki yang mencari tumbal agar dia bisa kembali.

Akan tetapi, sebanyak apalagi korban yang akan berjatuhan akibat perbuatannya?

Maka dari itu, Zen memilih untuk menghilangkan kekuatan matanya, sekaligus memutuskan tali penderitaan korban selanjutnya. Kematian Zen tentu tidak sia-sia. Begitupun dengan Syana. Sekarang ... mata birunya tidak bisa digunakan lagi, akibat sudah membunuh pemilik mata merah---orang yang dicintainya.

Mata biru itu hanya bisa dihilangkan jika membunuh orang yang dicintai, kan? Maka dari itu, penerus mata biru juga tidak ada.

Hari-hari berikutnya kembali normal. Syana dibawa pindah oleh Aca ke kerajaannya.

Cowok itu juga sudah melamar Syana untuk menjadi permaisurinya. Mereka akan tinggal di istana, menua bersama.

Penderitaan, penantian, pengorbanan. Cinta memang menyakitkan, tetapi di balik itu ada seseorang hebat yang bersedia berkorban.

T
A
M
A
T

=End=

***

Yey, akhirnya tamat!

Mungkin kisah ini terlalu singkat, tetapi cukup sampai di sini aku resmikan cerita ini ... TAMAT!

Gimana menurut kalian? Hmm maaf kalau tidak sesuai ekspetasi, ya.

Aku juga baru belajar bikin cerita fantasy, masih banyak kurangnya.

Terima kasih buat yang udah baca sampai tamat. Yuk muncul di komentar, tulis kesanmu setelah baca cerita ini.

Nanti aku balas, kok, kalau mau temenan sama aku juga boleh!

Oke deh, segitu dulu, nanti makin panjang.

Untuk chapter terakhir nih, gak mau gitu komen? Komen sebanyak2nya ya.

Salam hangat,

~Amalia Ulan



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro