Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Tujuh

Happy Reading!

***

Tampak seorang pria berumur tergeletak tak berdaya di lantai rumahnya, di samping dia ada anak laki-lakinya yang sedang menunduk.

"Ayah ...," lirih anak laki-laki itu.

Sang ayah terbatuk, mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. "Zen," ujarnya.

"Ayah, bertahanlah!"

"Zen ... kamu pasti jadi anak yang kuat."

"Ayah ...."

"Ma--afkan Ayah." Tangan pria tua itu terempas, sekaligus mengembuskan napas terakhirnya.

"AYAAAH!" teriak Zen kencang, langsung memeluk badan ayahnya yang sudah tak bernyawa.

Zen menangis histeris, tak mau ditinggalkan. Hanya Ardan---ayahnya---satu-satu orang yang Zen miliki saat ini. Sekarang ... ayahnya itu pun pergi meninggalkannya.

Zen ... apakah kalian mengingat pada peristiwa itu? Saat bulan purnama biru terjadi. Pada saat itulah ia dilahirkan.

Zen mengusap matanya, lalu mendongak ke langit. Bola matanya berubah menjadi merah.

"Kenapa ... kenapa harus aku yang bermata kutukan ini?"

Zen lalu mengambil topengnya. Ia lalu memakai topeng itu.

Mulai sekarang, ia tak akan membuka topengnya lagi, karena Zen tidak ingin mencelakai siapa pun lagi. Cukup sampai di sini.

Anak laki-laki tampan bernama Zen. Ya, Zen saja. Nama lengkapnya memang hanya tiga huruf tersebut.

Awal mula mata merahnya muncul adalah saat ia berumur lima tahun. Pada saat itu, Zen pergi ke pasar untuk membeli makanan untuk ayahnya, tetapi tiba di pasar ia dihalangi oleh lima orang preman.

Para preman itu memaksa meminta uang Zen, karena mereka tahu Zen adalah anaknya Ardan---sang pemilik toko sepatu, yang laris manis di pasar.

Walaupun memiliki uang yang banyak, tetapi Ardan dicap sebagai orang yang pelit, bahkan kepada Zen pun dia perhitungan.

Ardan hanya terobsesi memiliki banyak uang dan menyimpannya. Sebenarnya tujuan Ardan baik, ia hanya tak ingin mati kelaparan jika suatu saat nanti tidak ada tabungan. Semuanya juga untuk dirinya dan Zen.

Istri Ardan meninggal saat melahirkan anak mereka. Sejak itu Ardan membesarkan Zen seorang diri. Peran Ayah sekaligus Ibu dilakukan oleh Ardan dengan sangat baik.

Kembali pada Zen yang saat itu tengah dihadang para prrman berbadan besar. Anak laki-laki itu tak takut sama sekali.

Akan tetapi, karena situasinya pun sedang sepi para preman itu memanfaatkan keadaan. Mereka lalu mengepung Zen, hendak merampas semua uang Zen. Namun, mereka terlalu lengah, terhadap celah yang mereka buat. Zen pun kabur dari situ, ia berlari kencang sampai mereka tak bisa lagi mengejar.

Walaupun Zen dapat kabur, ternyata preman itu tak tinggal diam. Mereka pun dengan berani langsung ke toko sepatu milik Ardan, mengacaukan semua sepatu di sana, membuat keributan.

Ardan yang saat itu hanya sendiri, menghela napas pasrah. Mau berteriak, mengadu pada orang lain pun tak akan didengarkan, karena toko sebelah pun iri padanya.

Para pembeli juga tak berniat ikut campur. Ardan hanya bisa terduduk melihat dagangannya berantakan.

Di situ, Zen datang. Matanya membulat melihat toko ayahnya sudah seperti kapal pecah.

"Berhenti!" teriak Zen, tetapi tak digubris. Suara kecil anak laki-laki itu tak akan terdengar.

Zen membuka sepatunya, hendak melemparkan kepada para preman itu, tetapi malah meleset dari sasaran.

Zen berlari menghampiri ayahnya, memeluk Ardan yang terduduk pasrah. Para preman itu tak kunjung pergi.

Kali ini mereka malah menghadap ke arah Ardan. Dua orang di antaranya menghampiri Ardan dan Zen.

"Ini pelajaran bagi kau yang sangat sombong!" Kepalan tangan preman itu melayang hampir saja mengenai muka Ardan, tetapi ....

Tiba-tiba cahaya merah menyilaukan tempat itu. Zen menajamkan matanya, menatap orang-orang itu dengan bola mata yang sudah berubah menjadi merah pekat.

"Ma ... ti," ujar Zen. Cahaya merah itu langsung lenyap.

Orang-orang yang menyaksikan itu terkejut menatap lima preman tadi sudah tergeletak tak bernyawa.

"Apa yang terjadi?"

"Cahaya apa tadi?"

"Para preman itu kenapa tidak bergerak? Oh, tidak! Mereka sudah tidak bernapas."

Zen menatap telapak tangannya. Apakah itu disebabkan olehnya? Apakah mereka terbunuh oleh dirinya?

Zen langsung berlari menjauh dari situ, sedangkan orang-orang masih terheran penuh tanda tanya. Untung saja mereka tak melihat jika cahaya merah tadi berasal dari mata Zen.

Anak laki-laki berusia sebelas tahun itu lalu pergi ke belakang gudang yang tak ada siapa pun di sana.

"Apa yang terjadi pada mataku?"

Sejak saat itu, Zen tidak lagi berani keluar rumah. Dia tak menceritakan pada Ardan, semuanya dipendam sendirian. Zen selalu merasa resah pada dirinya sendiri yang sangat mudah membunuh orang.

Zen tidak tahu kenapa dia memiliki mata memusnahkan seperti itu, ayahnya tidak pernah cerita dan dia tidak pernah bertanya.

Sampai saat itu, Zen bermimpi bertemu dengan seseorang yang tak ia kenali.

"Kau memiliki mata yang indah, tetapi keindahannya akan menghancurkan apa saja. Jika tidak, kau yang akan dihancurkan oleh mata terkutuk itu."

Begitulah kata-kata yang diingat oleh Zen. Mungkin dia bukan sedang bermimpi, melainkan berada di dimensi lain yang tidak diketahuinya.

Lalu, kenapa Ardan bisa meninggal?

Bukan Zen yang membunuhnya, tetapi Ardan-lah yang membunuh dirinya sendiri demi Zen.

Ardan mengetahui jika anaknya memiliki kekuatan aneh dari matanya. Ardan tahu tentang fenomena bulan purnama biri itu.

Ardan juga diberitahu oleh seseorang tentang mata merah itu, yang mana jika mata itu tidak berkembang maka mata itu akan melenyapkan Zen suatu saat.

"Kau tahu, bagaimana caranya agar mata merah itu bertambah kuat? Saat melihat kematian orang terdekat."

Ardan tahu, Zen sudah banyak tanpa sengaja membunuh orang-orang yang tidak menyukainya. Mata Zen adalah mata jahat yang akan melenyapkan siapa saja yang tak disukainya. Namun, setiap membunuh, mata itu pun semakin kuat.

Ayah tidak mau kamu menderita, Ayah ingin kekuatan mata merah itu mencapai batasnya, agar kamu tidak lagi mengorbankan nyawa siapa pun. Jadi, kematian Ayah pasti akan mengunci kekuatan matamu itu untuk sementara. Semoga kamu bisa mengendalikannya.

Begitulah bunyi surat yang Ardan tinggalkan untuk Zen.

Anak laki-laki yang kini sudah berumur lima belas tahun itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

"Aku tidak akan membiarkan nyawa Ayah sia-sia," ujarnya. Kakinya pun melangkah pergi, menjauh dari tempat itu. Dia bahkan berniat meninggalkan kota itu dan pergi ke mana saja agar tidak bertemu orang-orang yang akan mengganggu ketenangan hidupnya.

Sejak saat itu pula Zen tidak melepaskan topengnya.

Ya, begitulah perjuangan Ardan agar Zen tidak menderita, walaupun yang dia rasakan sekarang juga penderitaan.

Sepertinya penderutaan tersebut tidak akan berakhir dalam hidup Zen. Dia akan terus dihantui oleh perasaan bersalah.

***

Bersambung!

Sampai jumpa next chapter! Anu--kalau chapter ini nggak paham, suatu saat akan diulas lebih lengkap ya, ini kayak spoiler bab-bab selanjutnya aja, kayak pembukanya aja.

Oke see you next chapter!







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro