Bagian Lima
Hallo, semua. HAPPY READING!!!
***
"Terima kasih," ucap Rita saat Raini dan Syana sudah mengantarkannya sampai rumah.
Raini tersenyum dan Syana mengangguk berkali-kali.
"Ya sudah. Ayo kita pulang, Nak!" ajak Raini. Syana menurut saja.
"Syana, sebentar!" panggil Rita.
Syana menoleh ke belakang, menatap Rita yang berjalan menghampirinya.
"Ada apa, Rita?"
"Ini ada uang untukmu, karena sudah mengantarkanku pulang."
Syana tersenyum. "Tidak perlu, Rita, karena aku tulus menolongmu."
"Aku juga tulus memberimu uang."
"Terima kasih, tetapi uangnya kamu simpan kembali saja."
"Tapi, ...."
Tangan Raini mrnyentuh pundak Rita pelan. "Ibu tidak keberatan mengantarmu pulang, jadi tidak usah sungkan."
"Terima kasih ... Bu," ujar Rita pada akhirnya, menyimpan kembali uangnya.
"Sama-sama. Ibu dan Syana pamit pulang dulu, ya!"
"Iya."
Raini menarik tangan putrinya melangkah pergi dari sana. Tangan Raini menggenggam tangan mungil milik Syana.
Pada perjalanan pulang, jalanan yang tampak sepi itu mendadak ramai. Kening Raini mengkerut, apa yang sedang terjadi?
"PENCURI!" teriak orang-orang. Mata Raini lalu mengarah pada seseorang yang sedang lari terbirit-birit sembari membawa tas. Wah, tidak salah lagi, pasti orang itu pencurinya!
Buru-buru Raini melepaskan sepatunya, lalu bersiap membidik target. Saat dirasanya pas, sepatu Raini melayang mengenai seseorang yang diduga pencuri itu.
Orang-orang yang mengejar di belakang segera menghampiri sang pencuri yang sudah terduduk di jalan.
"Ini Pak pencurinya!" teriak Ibu-ibu berbadan kurus itu.
"Bu--bukan! Bukan aku pencurinya!"
Para warga yang menggerubungi bersiap untuk menghajar pria berkepala botak itu. Namun, tiba-tiba seorang anak kecil datang menghalanginya.
Raini menoleh ke kanan dan kiri tak menemukan Syana. Di mana putrinya itu?
"Kamu minggir, jangan di sana, nanti kena!"
"Minggir, Dik. Bahaya!"
"Bapak-bapak salah orang, bukab Bapak botak ini pencurinya!" ujar gadis kecil itu yang tak lain adalah Syana.
Mendengar suara putrinya, buru-buru Raini menghampiri ke asal pemilik suara. Ia melongo menatap anak semata wayangnya itu sedang berada di tengah-tengah warga yang hendak menghakimi si pencuri.
"Syana kemari, Nak!" suruh Raini, tetapi tak digubris Syana.
"Ayo tangkap pencurinya!" sorak ibu berbadan kurus tadi. Mata Syana menatap tajam ke arah ibu tua itu.
Tanpa disadari orang-orang mata Syana sudah berubah menjadi biru. Gadis itu lalu menunjuk ibu berbadan kurus berambut keriting.
"Ibu ini pencurinya!" ujar Syana. Matanya kembali normal.
Entah kenapa saat ditatap oleh gadis kecil itu, sang ibu berbadan kurus yang bernama Titi itu tak bisa bergerak.
"Syana, kamu bicara apa? Jangan buat Ibu malu, Nak," ujar Raini panik.
"Jika Bapak-bapak tidak percaya, silakan cek saja tas yang dibawa Ibu itu!" suruh Syana.
Bapak yang berdiri di sebelah Titi pun menurut saja, jika ucapan anak kecil itu ternyata benar bagaimana? Lebih baik ia memastikan saja dahulu.
Saat tasnya direbut, Titi tak bisa menahan, karena semua badannya terasa menegang tak bisa digerakkan.
Apa yang terjadi padanya? Titi jadi panik sendiri. Apalagi tasnya sudah berada di tangan warga.
Bapak yang memanggil tas itu pun segera memeriksanya, yang lainnya pun ikut melihat.
Pak Tino---Bapak yang mengambil tas Titi. Mengeluarkan sebuah dompet dari tas itu. Dompetnya ada tiga.
"Itu dompetku!" ujar Ibu-ibu berambut pendek yang baru menyadari jika dompetnya sudah tidak berada di tasnya.
"Wah, ternyata benar. Kau pencurinya!" ujar Tini, diikuti oleh teman-temannya yang lain. Titi langsung dikepung, tidak bisa lari ke mana lagi.
Mereka pun dengan mudah menangkap Titi, karena wanita berambut keriting itu tidak bisa lagi lari untuk kabur.
"Terima kasih ya, Dik!" ujar Tino mewakili yang lain. Syana hanya mengangguk singkat.
Raini menghampiri putrinya itu, memastikan telebih dahulu apakah Syana baik-baik saja.
"Kamu baik-baik saja, kan, Nak?"
"Aku baik-baik saja, Bu." Mata Syana beralih menatap bapak yang sudah dituduh mencuri itu.
Raini yang sudah melemparkan sepatunya tadi jadi merasa tidak enak.
"Ma--maaf," ujar Raini.
"Ya."
Pria itu bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu, untung saja ada orang yang tahu siapa pencuri sebenarnya.
"Syana, kamu cepat kasih tahu Ibu, kenapa kamu bisa tahu jika Ibu-ibu itu pencurinnya?"
"Aku melihat kebohongannya, Bu."
"Ya bagaimana caranya?"
"Entahlah, Bu, tetapi tadi aku merasakan mataku aneh, pasti berubah lagi."
Raini berpikir sebentar, apa karena itu? Memangnya apa saja kekuatan dari mata biru milik Syana? Raini sempat memikirkan itu, tetapi menurutnya mata biru Syana hanya bisa menyembuhkan luka biasa.
"Ya sudah, ayo kita pulang!" ajak Raini, Syana mengangguk menurut.
***
"Syana, Ibu boleh minta tolong?"
Gadis kecil itu sedang membaca buku di kamar. Mendengar suara ibunya, ia langsung bangkit.
"Iya, Bu!"
Syana segera menghampiri Raini. Ada apa ibunya itu memanggil?
"Tolong belikan beras ke warung Bu Anis, Nak."
"Baik, Bu."
Raini mengeluarkan uangnya, lalu memberikan kepada Syana.
"Seperti biasa, ya."
"Iya."
Syana langsung mencari sepatunya. Ia melangkah ke luar.
"Hati-hati ya, Nak!" teriak Raini dari dapur.
"Iya, Bu."
Syana melangkah meninggalkan rumah. Warung Bu Anis tidak terlalu jauh, tetapi juga memakan waktu jika berjalan kaki dari rumahnya.
Syana berjalan sendiri di jalanan itu, ada banyak pohon-pohon besar yang berbaris di tepi jalan.
Sedikit lagi sampai, tetapi langkah kaki Syana mendadak berhenti saat melihat seseorang di depan sana sedang bersandar di pohon. Tanpa ragu Syana langsung menghampiri.
"Aca!" panggil Syana sangat yakin jika anak laki-laki yang bersandar di pohon itu adalah orang yang ia temui beberapa hari yang lalu.
Sontak anak laki-laki itu menoleh saat sebuah suara memanggil namanya. Ia pun terkejut menatap gadis itu.
"Kau ...."
"Jangan katakan jika kau lupa namaku! Aku Syana. Masih ingat denganku?" tanya Syana ikut duduk di samping Aca.
"Aku tidak lupa, tetapi aku memang tidak pernah mengingat namamu," ujar Aca santai yang membuat bibir Syana melengkung ke bawah.
"Ya sudah, lebih baik aku tidak usah menghampirimu." Syana bangkit hendak pergi.
"Mau ke mana?" tanya Aca yang membuat Syana menoleh singkat.
"Ke warung!"
"Ikut," kata Aca yang membuat Syana heran.
"Tidak usah! Aku bisa sendiri," ujar Syana.
"Emangnya siapa pula yang ingin menemanimu? Aku ke warung, karena memang ada yang ingin kubeli saja."
Cukup sudah! Kata-kata Aca selalu saja menusuk bagi Syana. Walaupun mereka masih kecil, tetapi tentu Syana tahu mana kalimat yang tepat saat digunakan bersama teman.
"Aduh," ringis seseorang. Sontak Syana langsung menoleh ke sumber suara. Siapakah itu? Buru-buru Syana segera menghampiri orang itu.
Bersambung!
Halo! Jangan lupa vote dan comment-nya, ya. Mau bilang alur ini sedikit lambat ya, Guys! Jadi nikmati dulu sebelum masuk ke konflik utama hehe.
Thank you!
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro