Bagian Enam Belas
Hallo-ha. Happy Reading!
***
"Rita ... kamu tahu dari mana?" Tentu saja Syana terkejut mendengar Rita berbicara seperti itu. Padahal selama ini tidak ada yang tahu, Syana sendiri pun baru diberitahu oleh ibunya beberapa tahun yang lalu.
"Kamu meragukan kemampuanku untuk menyelidiki apa pun yang ingin aku ketahui?"
"Ya, aku tahu kamu memang ahli dalam bidang itu, tapi tidak mungkin kamu tahu begitu saja, jika tidak ada yang memberitahumu, kan?"
"Syana ... data kelahiranmu tentu saja terdaftar di desa ini dan kamu tentu tidak lupa jika ayahku kepala desa, kan?"
Syana terdiam. Ya, memang benar. Itu juga sudah bisa menjadi petunjuk.
"Tapi ibuku bilang, tanggal lahirku dipalsukan."
"Ya dan tahun lahirmu dibuat satu tahun sebelum kamu lahir. Tentu di sini terdapat kecurigaan, karena kita seumuran. Saat kamu merayakan ulang tahunmu pun umurmu tak sesuai dengan data palsu itu. Itu saja sudah membuatku curiga. Lalu ditambah lagi saat kita baru mulai berteman. Ada banyak kejadian aneh yang aku alami bersamamu."
Syana tetap diam mendengarkan celotehan Rita. Padahal selama ini Syana menganggap tidak akan ada yang curiga seperti Rita.
"Ketika kamu menangis, maka orang yang membuatmu menangis pasti akan celaka. Entah itu badannya berubah kaku dan menegang. Kamu tahu apa yang tidak orang tahu dan setiap ada keanehan pasti ada cahaya biru yang aku tak tahu asalnya darimana. Lambat laun, aku tahu ... ternyata kilatan biru itu berasal dari matamu."
"Jadi selama ini kamu memperhatikan itu?" tanya Syana.
"Iya, tapi aku sempat tidak percaya juga, karena beberapa tahun belakangan ini tidak ada keanehan itu lagi dan kilatan biru tak muncul lagi."
Ya tentu saja, karena kekuatan mata biru Syana dipindahkan kepada Raini sementara.
"Aku masih tidak percaya jika kamu mencurigaiku selama ini, Rit."
Tangan Raini menepuk pundak Syana pelan. "Hei, aku berkata seperti ini bukan berarti aku membencimu. Aku tidak peduli sebenarnya mau kau pemilik mata biru, putih, hijau, merah, atau lainnya. Aku hanya menyampaikan semua yang kuamati selama ini saja."
Senyum Syana melebar. Dia terlalu takut jika harus bermusuhan dengan Rita. Ya, siapa lagi nantinya yang akan menjadj teman Syana? Rita satu-satunya teman perempuan yanh dimiliki Syana.
"Tapi kamu benar tidak membenciku kan, Rit?"
"Tentu tidak."
"Aku bahagia memiliki teman sepertimu," ucap Syana. Senyum gadis itu terpancar tulus.
"Ah, sudahlah. Aku tidak butuh pujianmu."
Syana terkekeh pelan.
"Sekarang cepat bukakan pintu rumahmu, aku ingin pulang," dengkus Rita, karena Syana mengunci pintu rumahnya rapat-rapat.
"Hehe, sebentar, ya."
Syana pun membuka pintu itu dan mempersilakan Rita pulang. Sebelum itu Rita berpamitan terlebih dahulu dengan Syana.
"Oh, iya, Rit. Aku ingin bertanya. Raja Anjrite sampai kapan berada di sini?"
"Katanya dua hari. Mungkin pulang lusa."
"Oh, baik."
"Kenapa? Masih ingin bertemu dengannya lagi?"
"Ti--tidak. Aku hanya bertanya."
"Ya sudah, aku pulang!" ujar Rita, karena pertanyaan Syana, dia belum jadi pulang.
"Hati-hati ya, Rit!"
"Iya!"
***
"Jadi bagaimana kelanjutannya? Apakah memang gadis itu yang kau inginkan?"
"Ya. Dia yang kucari. Aku tugaskan kau untuk membawanya kemari."
"Baik."
"Tapi jangan sampai ada warga yang tahu."
"Baik."
"Jika gadis itu menolak, paksa saja, pokoknya bawa sampai dia menghadap kepadaku."
"Baik."
Pria itu lalu berbalik. Menyudahi rapat malam ini.
Ternyata, tanpa sepengetahuan mereka, ada sepasang telinga yang mendengarkan percakapan itu.
Siapakah mereka? Lalu, siapa yang mereka bicarakan?
***
Syana menyudahi makan malamnya, karena sudah kenyang. Padahal dia hanya makan tiga sendok saja.
Perasaan Syana tidak enak, entah apa yang dia rasakan sekarang, tetapi Syana menduga akan terjadi sesuatu.
Apa itu? Entahlah, Syana hanya menduga-duga.
Gadis itu bangkit lalu berjalan menuju kaca jendela. Dia menyibakkan gorden yang menutupi, tampak bulan sabit bersinar terang.
"Malam ini bulan sabit, sama dengan malam-malam sebelumnya," ucap Syana.
"Tidak ada yang aneh." Gadis itu menatap langit yang ditaburi bintang-bintang. Gadis itu membuka jendelnya sebentar, merasakan cuaca malam ini. Syana hanya merasakan angin lembut yang mengelus kulit. Buru-buru Syana menutup jendelanya kembali. Dia juga menarik gorden untuk menutupi jendela.
Gadis itu berjalan menuju kamarnya. Dia membawa segelas air putih yang biasanya juga dibawa ke kamar setiap hendak tidur.
Setelah sampai kamar, Syana langsung merebahkan badan di kasurnya, melepas penat.
"Hmm ... kenapa Aca tidak datang, ya?" Daritadi pertanyaan kenapa Aca tidak mengunjunginya selalu membebani Syana.
Ada apa dengan Aca? Apakah dia sakit, makanya tidak datang hari ini? Semua pikiran-pikiran buruk kini menghantui Syana.
"Tidak biasanya Aca tidak tanpa tanpa mengabariku seperti ini. Padahal biasanya jika tidak akan datang, dia pasti bilang hari sebelumnya."
Syana terus berpikir keras. Dia hanya mengkhawatirkan Aca, Syana takut terjadi sesuatu pada cowok itu, sedangkan Syana sendiri tidak tahu di mana rumah Aca.
"Pokoknya kalau kita bertemu lagi, aku akan paksa kamu untuk beritahu di mana rumahmu Aca. Jika tidak, maka aku tidak akan mau berteman denganmu!" ujar Syana kesal. Masa sudah bersahabat selama itu, tetapi dia tak tahu menahu tentang Aca? Syana jadi malu pada dirinya sendiri.
Tanpa sadar, Syana baru mendengar jika ada ketukan pintu di luar sana.
"Wah, jangan-jangan itu Aca? Dia pasti terlambat. Eh, tapi Aca tidak pernah datang malam-malam, sih."
Syana jadi ragu untuk keluar kamar dan membukakan pintu depan.
"Eh, tapi ... ah, apa yang aku pikirkan? Memangnya tamuku hanya Aca? Bisa jadi yang datang Rita atau Kyo, kan?"
Gadis itu langsung bangkit dan berjalan keluar kamar. Dia langsung berjalan ke pintu depan, karena sang tamu tak berhenti mengetuk pintu.
"Iya ... sebentar!" teriak Syana.
Gadis itu pun membukakan pintu pada tamu yang sudahlah tak diundang, tak punya sopan santun pula.
"Iya, ada perlu apa, ya? Malam-malam begini ...." Syana tak melanjutkan ucapannya. Dahi gadis itu mengkerut, menatap ke arah tamu yang tak dikenalnya.
"Maaf, cari siapa, ya?"
"Ya cari Nona Syana," ujar laki-laki itu.
Ada dua laki-laki berbadan besar di hadapan Syana sekarang dan gadis itu sama sekali tak mengenal mereka.
"Maaf, apakah Bapak mengenalku? Tapi, kenapa aku tidak kenal dengan Bapak?"
"Nona Syana ... mari ikut dengan kami!" ajak salah satu dari mereka. Syana langsung menggeleng.
"Ke mana, Pak?"
"Ikut saja!"
"Tidak mau!" Syana sedikit memundurkan langkahnya. Buat apa dia menuruti dua orang yang tak dikenalnya itu?
"Maaf, jika Nona menolak, maka akan kami paksa."
"Aku tidak mau dan jangan paksa aku untuk ikut dengan kalian, jika tidak maka kalian--" Ucapan Syana terpotong, karena kedua orang itu tiba-tiba menyemprotkan sesuatu yang diambil dari saku celananya pada Syana.
Gadis itu sempat hampir terhuyung ke belakang, tetapi ditahannya. Kepala Syana langsung mendadak pening dan semuanya tampak berputar ... lalu, detik kemudian.
Brukk.
Syana pun tumbang.
***
Bersambung!
Hayoloh, siapa tuh yang datang dan bawa Syana? Ada yang bisa nebak?
See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro