Bagian Dua Puluh Tujuh
Hai Gaes, harusnya ending sekarang, tapi kayaknya aku tambahin 1 bab lagi deh. So, bab selanjutnya Ending, ya!
Happy Reading!!!
***
"Kyooo bertahanlah. Kamu kenapa bisa seperti ini, Kyo?"
Aca tak menjawab, pandangannya mengabur, tetapi cowok itu bisa mendengar suara Syana.
Isak tangis Syana mengusik pendengaran Aca, suatu hal yang tak disukainya yaitu melihat Syana menangis. Tak dibiarkan satu tetes air mata pun mengalir dari mata gadis yang dicintainya itu.
Zen yang berada di luar juga memilih masuk melihat Aca. Cowok itu berjongkok, menatap ke arah Aca yang kesakitan.
Mata merah Zen bersinar. Bersamaan dengan itu, darah kembali menyembur dari mulut Aca.
Syana langsung mendekap cowok itu, karena tidak kuat melihatnya tersiksa.
"Syana ... ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu," ucap Zen tiba-tiba.
"Bisakah kamu membicarakannya nanti saja? Sekarang kita harus mengobati Kyo terlebih dahulu!" ujar Syana.
"Bantu aku membawa Kyo ke rumah sakit!" suruh Syana, tetapi Zen tak bergeming.
"Aca! Kamu dengar, kan?"
"Aku bukan Aca," ucap Zen langsung membuat Syana mendengkus pelan.
"Bukan saatnya sekarang untuk bercanda, Aca! Cepat bantu aku membawa Kyo ke rumah sakit!"
"Dia juga bukan Kyo."
Syana memutar bola mata malas. "Aca, hentikan leluconmu! Aku sedang tidak ingin bercanda. Keadaan Kyo sangat darurat!"
"Gemasya, mungkin kau saja yang menjelaskannya, karena Syana tidak percaya padaku."
Aca yang sedang kesusahan menahan kesadarannya agar tetap tersadar malah disuruh menjelaskan. Tentu cowok itu hanya diam dengan mata terpejam.
Akan tetapi, Aca tidak punya pilihan lain. Jika dia tak memberitahukan, akankah sampai akhir hayatnya Syana tak mengetahui dirinya sebagai Aca?
"Syana ...."
"Kyo, kamu diam saja. Jangan berbicara dulu!" ujar Syana, karena darah masih banyak mengalir dari mulut Aca.
"Ak--aku ... Aca."
Mata Syana melebar. Apa yang cowok itu bicarakan? Syana sama sekali tak percaya.
"A--aku bu-kan Kyo. Aku ... Aca."
Syana menggeleng masih tak percaya, sedangkan Aca berusaha sekuat tenaga yang tersisa untuk memberitahu.
Tangan Aca meraba pipi Syana, lalu mengelusnya pelan. Dengan tatapan lirih Aca mengatakan ....
"Aku ... Aca-mu ...."
Setelah itu perlahan tangan Aca yang berada di pipi Syana luruh dan terjatuh ke lantai bersamaan dengan Aca kehilangan kesadarannya.
Hal tersebut malah memicu munculnya mata biru Syana. Gadis itu mendadak merasakan kepalanya berdenyut.
Dia merasakan dejavu.
Dalam sekejap, semua bayangan kejadian satu tahun lalu yang tak diingat oleh Syana terputar kembali di otak gadis itu.
Sampai akhirnya Syana mengingat ... kematian Kyo, karena berusaha melindunginya.
Badan Syana terasa lemas, kepalanya terasa berat dan hampir saja kepala gadis itu terbentur menyentuh lantai. Untung saja ada Zen yang menahan tubuhnya dari belakang.
"Kyo ...," lirih gadis itu.
"Kau sudah mengingatnya?"
Syana mengangguk lemah. Tatapannya beralih pada laki-laki yang mengaku bernama Kyo selama ini sedang tergeletak tak sadarakan diri.
Gadis itu kembali duduk dengan tenang sembari mengusap rambut Aca.
"Aca ...," lirih Syana dengan air mata yang kembali mengalir.
"Maafkan aku," ucap Zen menunduk. "Ini semua adalah bagian dari rencanaku."
"Apa maksudmu?"
"Aku yang melukai Aca."
PLAK!
Tamparan itu langsung mendarat di pipi kanan Zen. Cowok itu memejamkan mata, merasakan perih di pipinya.
"Apa yang kau rencanakan, hah?"
"Maaf ... selama ini aku hanya terobsesi untuk menghilangkan mata kutukan ini. Aku sudah terlalu banyak kehilangan orang-orang yang berharga, maupun orang yang tidak berdosa."
"Aku sudah banyak membunuh ...."
"Lalu, sekarang targetmu adalah Aca? Hah, iya? Jawab!"
"Bukan."
"Lalu?"
"Targetku adalah kamu ... Syana."
Mata biru Syana langsung bersinar.
"Tapi karena Aca bersedia menjadi tumbal, aku tidak jadi membunuhmu," ujar Zen.
Cowok itu teringat akan diskusinya bersama Aca pada waktu itu.
"Jadi kalau aku mati, Syana tak jadi kau bunuh, kan?" tanya Aca.
"Tapi aku tidak berniat membunuh kau. Nyawa kau tidak ada jaminannya agar mata kutukan ini hilang. Tidak usah berkata konyol."
"Aku hanya berusaha untuk melindungi Syana. Walaupun ... nyawaku taruhannya."
"Sepenting itukah Syana bagimu?"
"Ya. Aku sangat mencintainya."
Jadi, sebelum Zen menjemput Syana tadi untuk berjalan-jalan sampai mengajak gadis itu ke taman.
Zen sudah bertemu dengan Aca di depan rumah Syana.
Aca sendiri yang bersedia untuk menjadi tumbal mata Zen dan dia ingin tempat terakhirnya adalah rumah Syana.
"Tapi sebelum itu, aku ingin kau membunuhku setelah kalian pulang saja. Aku ingin memastikan Syana pulang dengan selamat."
"Baiklah."
Maka dari itu, saat Zen mengantarkan Syana pulang. Mata merahnya langsung menyerang Aca yang berada di dalam rumah Syana.
Zen menghela napas pelan. Dia menatap ke arah Syana yang menatapnya dengan tatapan tajam penuh kebencian.
"Apa manfaatnya bagi mata kau itu setelah membunuh Aca?" tanya Syana.
Gadis itu memilih mendekap tubuh Aca, dia masih merasakan detak jantung cowok itu walaupun melemah.
"Dia belum mati kan?"
"Jika kau ingin menyelakainya lebih dari ini, akan kubunuh kau!" ujar Syana. Mata birunya semakin pekat.
Itulah yang ditunggu-tunggu Zen daritadi. "Ya, biarkan aku membunuhnya sampai mati."
Mendengar itu tentu saja Syana langsung naik pitam. Dia dikendalikan oleh emosi.
"AAARGH!" teriak Syana, karena tak kuat menahan gejolak mata birunya.
Zen mengambil belati yang disembunyikan dari balik punggungnya sejak tadi.
"Syana ...."
Gadis itu tak mendengar, dia masih kesusahan mengendalikan mata birunya yang lepas kendali.
"Bunuh aku ... Syana," ucap Zen menyodorkan belati itu pada Syana.
"Ayo ... bunuh aku!"
Akankah Syana membunuh Zen?
Setelah melihat Aca yang belum tentu selamat, apakah Syana siap kehilangan Zen untuk selamanya?
Sebenarnya inilah maksud bagian rencana Zen tersebut. Dia sengaja menyakiti Aca terlebih dahulu, memancing amarah Syana. Dengan begitu, gadis itu akan emosi dan rela membunuhnya.
Saat Zen terbunuh, mata kutukannya akan hilang, bersamaan dengan mata Syana yang bisa menyembuhkan Aca kembali. Setelah itu, mata biru Syana pun akan lenyap.
Namun, semua itu ada di puncak keputusan Syana. Apakah dia akan menuntaskan semua rencana Zen itu dengan cara menancapkan belati ke jantung Zen?
Mana yang akan dipilih Syana.
Menyelamatkan Aca atau membunuh Zen?
***
Menuju -1 Ending!
Keputusan Syana nanti penentu endingnya gaes. Menurut kalian Syana harus memilih apa, nih? Yuk, kasi tau aku di kolom komentar!
See you next chapter Ending. Thank you yang udah baca sampai part ini.
Semoga suka, ya!
Terima kasih. Jangan lupa voment-nya.
Salam hangat,
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro