Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Dua Puluh Lima


Halo-ha. Happy Reading!!!

***

Sejak tadi Syana mencoba memejamkan mata agar terlelap, tetapi tetap saja gadis itu tidak bisa menyelam ke alam mimpi. Hal itu dikarenakan ucapan Aca---Zen---tadi padanya.

Jika harus membunuh orang lain demi menyelamatkan cowok itu, tentu Syana juga tidak mau. Berarti sama saja dia menyelamatkan seseorang dan melukai sekaligus.

Di satu sisi Aca---Zen---mengatakan jika dia sudah menderita dengan mata merah yang dimilikinya itu.

"Aku harus apa?"

Satu hal lain terlintas dalam otak Syana. Kenapa dia tidak mencoba tuk menghilangkan mata birunya pula? Sudah tidak ada gunanya, bukan?

"Katanya mataku ini bisa menyembuhkan, tetapi jika tidak kugunakan lebih baik mata ini dihilangkan saja, bukan?"

"Maaf Aca, tapi sepertinya aku tidak bisa membantumu menghilangkan mata kutukan itu," ucap Syana lalu membaringkan badannya ke kanan, memejamkan mata. Perlahan rasa kantuk pun mulai menyerang.

Akhirnya ... Syana bisa tertidur nyenyak.

***

"Jadi, apa rencana kau selanjutnya? Apa tak masalah jika kita tidak memberitahu Syana kejadian satu tahun yang lalu?" tanya Aca.

Saat ini cowok itu sedang berada di rumah Zen, untuk membahas tentang Syana.

Sejujurnya Aca tidak ingin berpura-pura menjadi Kyo, karena Aca ingin Syana tahu dengan dirinya sendiri---bukan orang lain.

"Maaf, tapi Syana belum menyetujui permintaanku."

"Ya tentu saja dia tidak setuju. Kau pikir nyawa orang itu tidak berharga?"

"Bukan itu masalahnya, tetapi siapa orang yang dicintai Syana? Memangnya ada?" tanya Zen yang membuat Aca bungkam.

Sepengetahuan Aca, Syana hanya menyukai Kyo, dia juga tidak tahu apakah gadis itu benar-benar mencintai Kyo atau sekadar suka saja.

"Ya percuma dia melukai orang yang katanya dicintai, tetapi sebenarnya bukan orang itu yang dicintainya. Tidak akan berefek pada mataku."

"Mata kutukan kau sangat merepotkan," ucap Aca hendak pulang.

"Jangan pulang dulu. Masih ada hal yang harus kita bicarakan."

"Apa?"

"Kau mencintai Syana, bukan?" tanya Zen membuat Aca membuang mukanya. Apa-apaan maksud cowok itu. Lagi pula bukan urusannya, bukan?

"Jika benar, apakah Syana mencintai kau?" tanya Zen lagi.

"Aku tidak tahu. Tanyakan sendiri pada Syana," jawab Aca.

"Tidak usah takut, walaupun Syana mencintai kau, belum tentu dia mau membunuhmu."

"Aku juga tidak takut jika dibunuhnya, tetapi dia tak mungkin sanggup," ujar Aca tersenyum miring.

"Ya, kau benar. Tapi satu hal yang perlu kau tahu."

"Apa lagi?" dengkus Aca.

"Aku mencintainya."

Mata Aca melotot tak percaya. Zen jatuh cinta pada Syana? Sejak kapan? Padahal mereka baru bertemu satu tahun yang lalu.

"Lalu?" tanya Aca. Apakah dia ingin menantangi Aca untuk mendapatkan hati Syana?

"Jadi ... kalau aku ingin menghilangkan mata kutukan ini. Aku harus membuatnya mencintaiku, lalu ... membunuhku."

Aca tertawa. "Lelucon apa yang sedang kau bicarakan? Jika ingin menghilangkan mata itu, kenapa kau tidak bunuh diri saja dari dulu? Bukankah mata itu akan cepat hilang?"

"Sayangnya tidak semudah itu, Pangeran Gemasya."

Aca mendengkus saat nama aslinya disebut, apalagi ditambah embel-embel pangeran. Aca tidak suka.

"Kau benar, aku bisa saja bunuh diri agar mata ini juga hilang dariku. Akan tetapi hilang dariku, bukan berarti mata ini akan lenyap seutuhnya. Mata ini akan mencari korban selanjutnya," ucap Zen.

Cowok itu memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali. Mata merahnya pun muncul.

"Aku ingin menjadi korban terakhir mata kutukan ini, agar tidak ada lagi korban selanjutnya. Maka dari itu, yang bisa melakukannya hanyalah si pemilik mata biru," ucap Zen. Aca hanya diam. Tak tahu harus berkomentar apa.

Dia bukan Zen, jadi Aca tentu tidak tahu harus apa, karena Zen yang mengalami.

Dua-duanya memiliki permasalahan yang berbeda. Saat ini Aca diberatkan oleh beban kerajaan. Ibunya ingin mengangkat Aca sebagai raja, tetapi cowok itu terus lari dan menolak.

"Berarti kau siap mati?" tanya Aca memperjelas maksud ucapan Zen tadi.

"Ya, bagaimana lagi?"

"Memangnya tidak ada cara lain?"

Zen menghela napas gusar. "Tentu ada, tapi aku tidak mungkin melakukannya."

"Apa?"

"Jika aku ingin mata merah ini abadi tanpa kutukan dan aku tetap hidup, caranya adalah ...."

Zen tampak berat mengatakannya, satu kali lagi dia menghela napas.

"Aku harus membunuh Syana."

"Kau tidak berniat membunuhnya, kan?" tanya Aca dengan intonasi yang meninggi. Tidak mungkin dibiarkannya jika ada yang ingin menyakiti Syana.

"Tujuanku sebenarnya itu ... tapi aku tidak bisa melakukannya karena ... ya seperti apa yang sudah kukatakan tadi. Aku mencintainya, tidak mungkin aku membunuhnya."

Ada perasaan lega yang timbul dalam hati Aca. Setidaknya Zen tidak akan membahayakan nyawa gadis itu.

"Jadi ... kau siap mati?" tanya Aca lagi. Mulut cowok itu memang tak berubah.

"Ya siap tak siap, tapi tidak tahu jika nanti berubah pikiran."

Apakah Zen akan mengorbankan dirinya sendiri agar bisa menghilangkan mata kutukan itu tuk selamanya?

***

Pagi ini Syana sudah menerima tamu, siapa lagi jika bukan Aca dan Zen. Dua laki-laki itu memang sering menemani Syana akhir-akhir ini.

Mereka sering membawakan bahan-bahan makanan, lalu dimasak oleh Syana, nanti dihidangkan pula oleh gadis itu pada mereka kembali.

Sepsrti saat ini, pagi-pagi mereka sudah berada di rumah Syana menyuruh gadis itu memasak, membuatkan mereka sarapan.

Tentu saja Syana tak menolak. Dia malah bahagia, karena selalu ditemani mereka berdua. Jadi, Syana tak akan merasa kesepian terus.

"Sarapannya sudah selesai!" ujar Syana yang tak membutuhkan waktu lama untuk membuat sarapan.

"Terima kasih, Syana."

"Terima kasih, Manis."

Ada dua jawaban berbeda dan yang jawaban kedua itu adalah ucapan Zen.

"Aca ... mah ...." Syana tersenyum malu-malu. Padahal yang memujinya adalah Zen.

Aca yang asli hanya bisa tersenyum senggeng. Zen memang memanfaatkan kesempatan.

"Ayo, dimakan dulu!" suruh Syana.

"Iya, Sayang."

"Iya, Syana."

Lagi dan lagi Syana dibuat salah tingkah. Namun, sekarang yang memanggilnya sayang itu bukanlah Zen, melainkan Aca yang asli.

"Kyo ... kamu bisa aja," ucap Syana tersenyum malu.

Zen terkekeh, lebih tepatnya kekehan meledek Aca, karena tak mau kalah dengannya.

Setelah itu mereka melanjutkan sarapan bersama.

"Syana ... setelah ini ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Zen.

"Mau bicara apa, Aca?" tanya Syana. Kenapa tidak di sini saja langsung?

"Nanti saja, aku hanya ingin berbicara empat mata."

Aca melirik tak suka. Lirikan itu malah dilihat oleh Syana. Gadis itu terkekeh dalam hati.

Apakah Kyo cemburu? batin gadis itu.

"Baik, Aca. Nanti kita bicara di taman saja," ucap Syana sambil tersenyum.

Kira-kira apa yang ingin dikatakan oleh Zen? Sungguh, Syana tak bisa menebak, karena ada banyaknya tebakan-tebakan dalam otaknya.

***

Bersambung!

***

Jangan lupa vote dan komennya, hehe.

Thank you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro