Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Dua Puluh Empat

Tinggal beberapa bab lagi menuju END!

Happy Reading!!!

***

"Ak--aku sudah punya kekasih?" tanya Syana tak percaya. Dia merasa selama ini hanya memiliki teman-teman yang sekadar menjadi teman baiknya saja.

Apakah selama satu tahun yang tak diingat Syana itu dia malah berpacaran dengan Aca?

"Aca, kamu bukannya sahabat aku, ya?" tanya Syana menatap Zen.

"Iya, tapi sekarang aku sudah menjadi kekasihmu."

"Maaf, aku tidak ingat apa-apa." Syana hanya mengingat jika dia dulu sering bermain dengan Aca waktu kecil, setelah itu Aca pun menghilang dan kembali lagi. Masa dalam setahun mereka bisa berpacaran langsung?

Syana lalu menatap ke arah Kyo---yang sebenarnya Aca---gadis itu tersenyum lirih. Padahal Syana jika bisa memilih, dia lebih menyukai Kyo.

"Tidak masalah kalau kamu tidak mengingatku sekarang, yang penting kamu sudah sembuh," ujar Zen.

"Iya, Aca."

"Ya sudah, mau jalan bersamaku?"

"Ke mana?"

"Ke mana saja," jawab Zen.

"Baik."

Syana menatap ke arah Aca yang asli, lalu memberikan kode jika dia akan pergi. Aca mengangguk saja.

"Duluan ya, Kyo. Terima kasih."

"Iya, Syana."

Gadis itu pun pergi bersama Zen. Aca tersenyum lirih. Kejadian ini pun terulang kembali.

Dulu juga sama, bukan? Aca yang menemani Syana ke pasar, saat bertemu Kyo, gadis itu lebih memilih cowok itu.

Walaupun sekarang yang dipakai Zen adalah nama Aca, akan tetapi Aca yang sebenarnya tetap saja bukan pemenangnya.

"Yang penting lo bahagia, Syana."

Aca memutar langkahnya. Apakah ide Zen ini berjalan sesuai ekspetasinya atau tidak, Aca hanya perlu menunggu sampai Syana mengingat semuanya.

***

Zen membawa Syana jalan-jalan menyusuri desa dam kini mereka hendak ke sungai.

"Memangnya untuk apa kita ke sungai?"

"Karena kau pasti belum pernah ke sana, kan?"

"Belum."

"Sungainya bagus, pemandangannya indah. Kuharap kamu menyukainya," ujar Zen.

"Oh, ya? Aku tidak tahu jika ada sungai indah di desa ini."

Tangan Zen menarik tangan Syana, lalu menggenggamnya. Walaupun sempat terkejut, karena cowok itu tiba-tiba menggenggam tangannya, tetapi Syana merespons saja. Lagi pula, mereka kekasih, kan? Jadi tidak ada masalah.

Sesampainya di sungai yang dimaksud Zen. Syana langsung mengarahkan pandangannya.

Gemercik air terdengar jelas, airnya tampak jernih, ada banyak bebatuan besar yang bisa dijadikan tempat duduk.

Mata Syana menatap berbinar, apalagi ada air terjun di ujung sana meluncur deras.

"Wah, kamu benar! Aku belum pernah ke tempat ini. Ternyata emang indah, ya!" teriak Syana sengaja mengeraskan volume suaranya agar bisa terdengar oleh Zen.

"Iya, tempatnya juga tersembunyi. Aku juga baru tahu kemarin."

Syana lalu berjalan menuju air, kakinya dibiarkan menjuntai menyentuh air. Dinginnya langsung menyentuh kulit Syana. Udara yang dihirup juga terasa lebih asri.

"Aku akan sering datang ke sini besok," ucap Syana.

"Boleh. Jika ingin ke sini lagi, silakan ajak Kyo juga," ujar Zen pula.

"Eh, boleh?"

"Memangnya apa hakku melarang?"

Syana tersenyum tidak enak. Dia tak boleh seperti itu, bukankah cowok di hadapannya sekarang adalah kekasihnya? Tidak mungkin Syana jalan bersama cowok lain.

"Kamu kan kekasihku, aku tidak ingin membuatmu cemburu. Tenang aja," ucap Syana tersenyum.

Menatap senyum Syana yang sangat manis dan khas, membuat bibir Zen ikut tertarik untuk mengulas senyum.

Zen baru menyadari jika Syana memang sangat cantik. Apalagi kini wajah gadis itu terkena pantulan cahaya matahari, yang membuat wajahnya semakin cerah.

"Syana ...."

"Iya?"

"Kamu ... cantik, ya."

Pipi Syana dibuat merona. Gadis itu segera memalingkan wajahnya.

"Apa, sih, Aca. Jarang-jarang kamu muji aku tau!"

"Oh, ya?"

"Iya! Kamu dulu kan mulutnya selalu pedas."

Zen menggaruk tengkuhnya yang tak gatal. Ya iyalah, dirinya kan bukan Aca yang asli. Pastinya Zen tidak tahu sikap cowok itu yang sebenarnya seperti apa.

"Sekarang udah tidak lagi. Sejak kita menjadi kekasih," ucap Zen.

Sejujurnya Zen pun tidak terlalu mengerti bagaimana cara memahami wanita. Zen selama ini menyendiri saja, tak ada waktu untuk mengenal seorang gadis.

Mungkin Zen juga tidak tahu apa itu cinta.

"Oh, ya, Syana. Ada yang ingin kubicarakan padamu," ucap Zen tiba-tiba.

"Mau bicara apa, Aca? Ya sudah, langsung saja."

"Matamu ... bewarna biru, kan?"

Syana langsung menangkup wajahnya. "I--iya. Aneh ... ya?"

"Tidak."

Syana juga dibuat heran, kini mata normalnya malah jarang muncul. Mata biru itu yang kini selalu muncul.

"Apa sekarang warna mataku masih biru?" tanya Syana.

"Iya."

Gadis itu menghela napas pelan. "Ya, Ibuku dulu pernah cerita, tentang mata biru ini, tapi aku tidak ingat terlalu jelas, karena sudah lama. Hmm ... aku jadi ingin menghilangkannya."

"Tidak perlu dihilangkan, karena mata biru itu istimewa ... Syana."

"Menurutku tidak."

"Ada yang ingin kutunjukkan padamu," ujar Zen memegang kedua tangan Syana.

"Apa?"

"Tatap mataku sebentar!"

"Baik."

Syana lalu menatap mata cowok itu dalam. Mata mereka langsung sinkron, perlahan mata merah Zen pun muncul membuat Syana terkejut tak percaya.

"Aca ... matamu! Ada apa dengan matamu? A--apa ini salahku?" tanya Syana panik.

"Tenang dulu, Syana."

"Tapi matamu ...."

"Ini sama dengan matamu," ucap Zen. Alis Syana mengkerut.

"Sama dengan mataku?"

"Iya."

"Maksud kamu?"

Zen lalu mengarahkan pandangannya, menatap dalam ke arah air terjun. Saat Zen mengeluarkan kekuatan matanya, air terjun itu tiba-tiba berhenti mengalir.

"A--ada apa dengan air terjunnya?" tanya Syana terkejut, menutup mulut tak percaya.

Zen mengedipkan matanya kembali, mengembalikan pada sebelumnya. Air itu terjun kembali seperti semula.

"Ya seperti itulah. Kamu melihat reaksi mataku, kan?"

"Aku tak menyangka jika ada orang lain yang memiliki mata aneh sepertiku. Matamu bahkan bewarna merah. Aca ... kenapa selama ini kamu tidak pernah memberitahuku?"

"Mata kita tak terlalu sama, Syana. Ada bedanya."

"Apa bedanya?"

"Matamu anugerah, sedangkan mataku kutukan."

"Hah, kutukan?"

"Iya, makanya aku ingin menghilangkan kutukan itu," ujar Zen dengan nada lirih. Semoga caranya seperti ini bisa meluluhkan hati Syana.

"Bagaimana cara menghilangkan kutukan itu?"

"Dengan matamu, Syana."

"Memangnya bisa?"

"Bisa. Matamu bisa menghilangkan mata merahku, tetapi ada efek sampingnya."

"Aku ingin membantumu," ujar Syana membuat Zen langsung girang dalam hati.

"Tapi, bagaimana caranya?"

"Caranya sangat mudah ...."

"Ya, apa?"

"Bunuh orang yang kamu cintai."

Mata Syana melotot lebar. Bagaimana mungkin?

***

Bersambung!

Wah, apakah Syana harus membunuh Kyo/Aca? Atau bagaimana?

See you next chapter gaes!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro