Bagian Dua Puluh Delapan
Happy Reading!!!
***
Syana menatap ke arah Zen yang memaksanya untuk menancapkan belati itu. Syana mencoba meredam amarahnya. Dia tak ingin dikuasai oleh rasa emosi. Akan tetapi, saat melihat Aca yang terluka parah dan sudah tak sadarkan diri membuat gadis itu kembali bergejolak untuk membenci Zen.
"Ayo ... lakukan saja, Syana."
Akan tetapi, sangkupkah Syana membunuh Zen?
Akankah Syana mau menjadi pembunuh hanya karena amarahnya?
Gadis itu menghela napas pelan. Dia memejamkan mata, menenangkan diri sendiri. Perlahan, mata birunya pun berubah menjadi normal kembali.
"Zen ...."
"Iya, Syana."
"Apa kau tidak menyayangi nyawamu?"
"Memangnya apa alasan untukku untuk menyayangi nyawa sendiri? Sedangkan di luaran sana sudah banyak nyawa orang yang kurenggut."
"Aku tanya sekali lagi ... apa kau tidak menyayangi nyawamu? Apakah bagimu nyawamu itu tidak berharga?"
"Aku menyayanginya, tapi nyawa ini sudah tidak berharga."
"Kenapa?"
"Karena aku sudah mengotori diriku sendiri. Jadi, nyawa ini sudah tidak pantas lagi dalam diriku."
"Benarkah?"
"Iya, Syana. Ayo, bunuh aku! Biar aku bisa tenang."
Syana menarik napas kembali, lalu mengembuskannya pelan.
"Aku tidak punya nafsu membunuh, akan tetapi aku ingin bertanya satu hal padamu kembali."
"Apa?"
"Apa tujuan kau ingin mati? Apa alasannya?"
"Ya, seperti yang sudah kukatakan, aku ingin melenyapkan mata kutukan ini, Syana. Agar tidak ada lagi korban selanjutnya."
"Dengan cara mengorbankan dirimu sendiri, begitu?"
"Iya. Aku tidak peduli, yang penting kutukan ini hilang dan tidak ada lagi korban yang akan merasakan hal yang sama."
Tangan Syana lalu menyentuh pundak Zen pelan. "Zen, aku mengagumimu."
Zen terkejut, apa maksud Syana? Kenapa dia tiba-tiba berbicara seperti itu?
"Apa maksudmu?"
Syana mendekat ke arah Zen. Lalu ... tiba-tiba menghambur ke pelukan laki-laki itu membuat Zen terkejut.
Kenapa?
Apa yang dilakukan Syana.
"Aku sudah mengingat semuanya. Aku tahu selama ini kau selalu memperhatikanku. Aku mengingat semua momen-momen kita."
Ya, ingatan gadis itu memang sudah kembali. Dia juga mengingat kematian Kyo.
Lalu, Zen---pria yang dulu menculiknya, dengan motif menyelamatkan. Cowok itu pun juga menyamar sebagai Aca.
Ya, mungkin kenangan mereka singkat, karena keduanya pun baru dekat. Akan tetapi, ada rasa kagum tumbuh di hati Syana terhadap Zen.
Cowok itu sangat kuat, tegar, dan tak pernah menyerah. Dia selalu berusaha mencari apa pun yang ingin diketahuinya. Berbeda sekali dengan Syana yang sangat fakir ilmu selama ini, apalagi dia yang tak tahu apa-apa tentang mata birunya.
Sejak kedatangan Zen, Syana jadi mengenal apa kekuatan mata birunya dan semua dampak yang diberikannya. Ternyata yang menderita itu adalah pemilik mata merah.
Syana diberi ujian sedikit saja sudah mengeluh dan putus asa. Berbeda sekali dengan Zen.
"Zen ... aku mengagumimu. Sikap dan sifatmu membuatku tersadar, jika ada orang yang lebih kuat dari besi dan baja. Kau hebat Zen."
Cowok itu tersenyum tipis. "Syana, sudahlah. Jangan memujiku seperti itu. Aku hanya ingin mati secepatnya."
Syana melepaskan pelukannya. Dia lalu menatap mata Zen.
Mata merah itu berubah normal.
Kedua mata mereka menjadi hitam seperti biasanya kembali.
"Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan padaku?"
"Hah?"
Syana melirik ke arah lain. Dia hanya ingin memancing Zen agar berbicara.
"Bukankah kau ... mencintaiku?" tanya Syana menahan malu.
"Ya, aku memang mencintaimu, tetapi ada orang yang lebih mencintaimu. Dia adalah ... Aca, sahabat kecilmu."
Syana kembali menatap mata Zen. "Jadi, kau tidak mengiginkanku?"
"Memangnya pantaskah aku memilikimu?"
"Kenapa kau menanyakan itu?"
"Ya, aku sadar diri saja, Syana. Aku tidak berhak di sampingmu. Ayo ... bunuh aku sekarang, bunuh aku, Syana! Ayo!"
"DIAM, ZEN!" bentak Syana. Air matanya pun mengucur. Syana jika marah memang disertai dengan air mata.
"Aku tidak bisa membunuhmu."
Telunjuk Zen menarik dagu Syana agar gadis itu mengangkat kepalanya, menatap ke arah cowok itu.
"Kau menginginkan mata merah ini abadi?"
"Tapi tolong, beri aku waktu untuk melakukannya."
"Bukankah sekarang waktu yang tepat?"
"Tidak! Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Tolonglah, aku tidak akan membunuhmu. Lebih baik sekarang kau pergi saja."
"Kau yakin? Bagaimana dengan Aca? Kau ingin membiarkannya terluka lebih lama?"
Syana lalu menatap ke arah Aca. Wajah cowok itu sudah memucat.
"Aku akan mencoba menyembuhkannya sekarang, mengurangi lukanya, setidaknya aku masih biaa melakukan itu walaupun Aca tidak akan bisa sembuh secepatnya."
"Tapi, Syana--sekarang waktu yang te--"
"Jika kau terus memaksaku, maka lebih baik belati itu menancap pada diriku sendiri. Itu yang kau mau?"
"Eh, ja--jangan, Syana. Aku minta maaf. Akan tetapi, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika kau menunda lagi ...."
Kapan cerita ini akan tamat? Hehe bukan, ya!
"Aku bisa terbunuh sendiri karena menunggu terlalu lama."
"Beri aku waktu satu hari, sebelum itu aku ingin mengajak kau jalan-jalan," ucap Syana.
"Aku mengerti maksudmu, pasti kau ingin mengukir kenangan indah supaya aku pergi dengan bahagia, kan? Tidak perlu, Syana. Selama ini aku sudah banyak melewati penderitaan."
"Beri aku waktu satu hari lagi. Pulanglah sekarang! Atau belati itu membunuh diriku sendiri!" ancam Syana.
Zen mengacak rambutnya gusar. Kenapa rencananya malah diotak-atik oleh Syana? Bukankah semua sudah hampir berjalan menuju puncak.
"Pulanglah, Zen. Datang kemari lagi besok."
Zen menarik napas pelan. "Baiklah, jika itu yang kau mau."
Syana tersenyum. Zen pun berdiri, lalu pamit undur diri.
Syana mulai mengobati Zen dengan mata birunya yang sudah menyala. Walaupun tidak bisa sembuh total, Syana sudah bisa mengobati luka-luka luar Aca dan semetara cowok itu pasti baik-baik saja.
"Maaf ya, Aca. Aku hanya bisa mengobatimu sampai sini. Besok akan kupanggilkan dokter."
Sebenarnya apa rencana Syana? Kenapa dia tak jadi membunuh Zen?
"Maaf Aca ... aku malah berpikir sebaliknya. Aku tidak bisa membunuh Zen begitu saja, ya walaupun itu keinginan dia sendiri. Selain itu juga mataku pasti bisa memyembuhkanmu langsung. Akan tetapi, aku memiliki rencana lain ...."
Kira-kira apa yang dipikirkan oleh Syana?
Gadis itu tersenyum pelan. "Maaf, Aca ... aku berencana untuk ... mati bersama Zen."
Bersambung!
***
Halo, Guys. Maaf ya, gaknjadi tamat sekarang hehe. Satu bab lagi, kok.
See you, ya!
Salam,
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro