Bagian Dua
Halo-ha. Jangan lupa pencet bintangnya, ya!
Happy Reading!
***
Tujuh tahun kemudian.
Seorang gadis kecil bersurai hitam sebahu, sedang asyik bermain di luar rumah. Ia bersama teman-temannya sedang bermain tanah liat.
Hanya ia anak perempuan di antara empat orang anak laki-laki lainnya yang ikut bermain. Ia hanya memiliki teman laki-laki sekarang, karena teman perempuan tak ada yang mau bermain dengannya.
Gadis kecil, berponi, memiliki pipi gembul itu bernama Arisya Nalla. Ibunya memanggil Syana.
Gadis yang lahir tepat saat bulan purnama biru, fenomena yang konon diyakini penduduk Desa Alwaly adalah fenomena lahirnya kembali reankarnasi sang leluhur legenda.
Entahlah, itu hanyalah cerita rakyat yang tak dipercaya sebagian orang. Raini---ibu dari Syana---merahasiakan tentang itu. Ia tak mengatakan jika bayinya lahir pada saat fenomena, karena jika warga tahu, maka banyak yang akan mengincar bayinya.
Syana yang asyik bermain tanah liat bersama temannya, tak peduli baju yang sudah kotor dan tangan yang dipenuhi tanah liat, yang penting ia bisa bermain.
Tiba-tiba ada yang melempar tanah liat itu ke arah Syana, refleks gadis itu menutup matanya, karena takut jika tanah itu mengenainya.
"Maaf, Syana. Aku tidak sengaja," ujar Dono menghampiri Syana, diikuti teman-temannya yang lain.
"Syana, kau tidak apa-apa, kan?" tanya Haru khawatir.
"Dono, ini salahmu!" ujar Reza menyalahkan.
Di saat yang lainnya sibuk bertanya, Kyo berbeda. Ia langsung menangkup muka Syana, lalu meniup mata gadis kecil itu pelan.
"Tanah liat itu mengenai matamu, ya?" tanya Kyo, setelah selesai meniup mata Syana.
"Tidak mengenaiku, tapi sekarang mataku sakit," ucap Syana yang masih memejamkan matanya. Terasa berdenyut dan perih.
"Pokoknya ini semua salah Dono, kita laporkan saja ke Pak Kepala Desa," ujar Reza yang masih belum puas menyalahkan Dono, sedangkan Dono tampak takut.
"Sudah teman-teman, ini bukan salah Dono," ucap Haru menengahi.
Syana mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia membuka kelopak mata perlahan.
Semua temannya berhenti berdebat dan mereka fokus menatap Syana. Alangkah terkejutnya mereka melihat suatu keanehan yang terjadi.
"Syana! Mata kau ...." Reza memundurkan langkahnya. Entah kenapa ia malah takut.
"Mataku kenapa?" tanya Syan tak mengerti.
"Mata kau berwarna biru," jawab Haru.
"Apa?" Syana mengerjap-ngerjapkan matanya kembali, tetapi bola mata biru itu tetap tak berubah.
"Syana, apa yang terjadi denganmu?" tanya Kyo.
"Ini salahku? Apa ini salahku?" tanya Dono panik. Apakah ulahnya melempar tanah liat membuat mata Syana seperti itu?
"Mata kau berwarna biru. Apa jangan-jangan kau ...." Haru tak melanjutkan ucapannya. Syana langsung berlari, menjauhi teman-temannya.
Ia langsung pergi meninggalkan mereka. Syana tidak tahu apa yang terjadi padanya, tetapi melihat teman-temannya yang semakin takut, membuat Syana segera menghindar.
Gadis kecil itu lalu berhenti di sebuah pohon. Ia memilih duduk bersandar di situ. Syana memegang kedua pipinya. "Apa yang terjadi pada mataku?"
"Hei, kau sedang apa di sini? Jangan-jangan kau mengintipiku, ya?" Sebuah suara langsung mengalihkan perhatian Syana. Gadis itu menolehkan kepalanya ke samping.
Tampak seorang anak laki-laki yang baru saja memasang celananya.
"Apa yang kau lakukan di situ?" tanya Syana polos.
"Metik durian," ujarnya senggeng. "Ya kencinglah! Kau pasti mengin--"
"Eh, tidak-tidak! Kau salah paham. Ak--aku baru saja datang."
Anak laki-laki bermuka datar itu menekuk mukanya. "Kau monster, ya?" ujarnya pula.
"Eh?"
"Mata kau biru, kau pasti siluman katak tak berleher."
Syana semakin tak mengerti dengan ucapan cowok di depannya itu.
"Eh, tapi katak emang tidak ada lehernya, kan?" ucapnya yang malah melontarkan sebuah pertanyaan.
"Kamu aneh," komentar Syana. Anak laki-laki yang tampak seumuran dengannya itu pasti tidak waras.
"Terserah," ujarnya, lalu hendak berlalu pergi. Namun, entah kenapa Syana malah ingin mengikutinya.
Syana akhirnya berjalan mengekori anak laki-laki itu. Tidak tahu ingin ke mana, yang pasti Syana mengikutinya saja.
"Tadi mengintipiku kencing, sekarang mengikutiku pula? Apa yang kau mau?"
"Aku ... aku ...."
"Aduh, dasar wanita," ujar anak laki-laki itu mencibir.
"Maaf," ucap Syana.
"Rumah kau di mana?"
Syana hanya menggeleng, ia tak ingin pulang dulu sekarang. Entah kenapa Syana tak siap ingin bertemu dengan teman-temannya. Ia tahu mereka pasti masih syok melihat matanya.
Dulu, saat Syana masih berumur lima tahun, ia pernah kehilangan teman-temannya karena mereka takut melihat mata Syana yang tiba-tiba berubah.
Maka dari itu, Syana takut jika teman-temannya yang sekarang sama seperti temannya yang dulu. Mereka bahkan membenci Syana.
Temannya yang dulu adalah dua orang anak perempuan, makanya Syana tak punya teman perempuan lagi, karena yang lainnya sudah dihasut oleh dua orang itu agar tak usah berteman dengan Syana.
Untung saja Reza dan yang lainnya mau menerima Syana.
"Jika tak mau pulang, jangan mengikutiku!"
"Nama kamu siapa?" tanya Syana pada akhirnya.
"Ada apa kau menanyakan namaku?"
"Hm?" gumam Syana heran. Apakah menanyakan nama saja salah? Padahal niat Syana hanya ingin berkenalan.
"Ah, jika kau memang ingin sekali tahu namaku, akan kuberi tahu. Namaku ...." Anak laki-laki itu terdiam, jadi ragu menyebutkan namanya.
"Namamu?" pancing Syana.
"Aca."
"Aca?" ulang Syana tak percaya. Bukankah nama itu lebih cocok untuk anak perempuan?
"Jangan menghina namaku! Atau kupanggil kau monster durjana!"
Syana terkekeh pelan. Ia lalu menarik tangan Aca, mengajaknya bersalaman.
"Namamu bagus," ujar Syana.
"Sudah kubilang jangan menghi--"
"Aku serius. Nama itu pasti memiliki arti. Tanyakan saja pada orang tuamu artinya."
"Orang tuaku tidak ada," ujar Aca santai.
"Maksudmu? Maaf, apakah mereka sudah meninggal?"
"Bukan, tetapi aku yang sudah meninggalkan mereka."
"Kamu kabur dari rumah? Kenapa?" tanya Syana terkejut.
"Ah, kenapa aku malah membicarakan ini pada kau! Sudah, pergi sana! Jangan pernah ikuti aku lagi!" ujar Aca tegas. Ia langsung pergi menjauhi Syana.
Gadis kecil itu menangis. Air matanya meluncur begitu saja. Hal yang paling menyakitkan bagi Syana adalah ditinggalkan.
Ya, seperti ayahnya yang sudah meninggalkan ia dan ibunya berdua.
Syana berjalan mendekati sungai yang kebetulan ada di dekat situ. Ia lalu melihat pantulan dirinya di air sungai yang jernih. Syana menatap wajahnya yang murung. Namun, tiba-tiba ia terkejut menatap matanya yang sudah kembali normal.
"Hufh, akhirnya mataku kembali semula," ujar Syana. Gadis itu lalu duduk di batu besar yang ada di sana, menjuntaikan kakinya menyentuh air.
"Mata biru yang sangat indah. Kau hanya punya dua pilihan. Membunuh atau ... dibunuh!"
Syana langsung menoleh ke kanan dan kirinya. Bisikan itu tiba-tiba terdengar di telinganya, tetapi Syana tak melihat satu orang pun. Bulu kuduk gadis itu langsung berdiri.
Siapa yang membisikan itu padanya? Lalu, apa maksudnya?
***
Bersambung!
***
Hallo-ha. Thank you yang udah baca, maaf kalau gak anu, ya, hehe. Ini masih awal-awal.
Pada penasaran gak gimana pula dengan si bayi mata merah? Hehe mungkin agak lama ya ketemunya.
Makanya, yuk, baca terus cerita ini sampai abis!
Terima kasih.
Salam hangat,
~Amalia Ulan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro