Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Delapan

Happy Reading! Kali ini time skip Syana, ya. Bab sebelumnya udah spoiler kalau Zen-nya udah besar kan? Nah, sekarang mari kita lihat Syana-nya.

***

Tahun demi tahun berganti dengan cepat, siang dan malam seakan berganti secepat kilat. Kini, Syana yang dulu masih kecil dengan tubuh mungilnya sudah tumbuh menjadi remaja cantik yang memesona.

Saat ini gadis itu tepat berumur tujuh belas tahun. Rambut sebahunya kini sudah sepinggang.

Syana sangat mirip dengan ibunya, Raini. Bak pinang dibelah dua, keduanya tampak seperti anak kembar, apalagi sekarang tinggi Syana sudah melebihi tinggi ibunya.

"Selamat ulang tahun, Sayang!" ujar Raini memberikan kue dengan deretan lilin angka tujuh belas di atasnya. Syana tersenyum senang, segera menghampiri Raini.

"Terima kasih, Ibu ...." Gadis itu lalu mencium pipi ibunya singkat.

Raini meletakkan kue itu di atas meja, ia lalu menarik putrinya itu ke pelukan.

"Terima kasih sudah menjadi anak Ibu yang paling baik. Ibu bangga sama kamu. Syana anak yang pintar, yang selalu Ibu banggakan!"

Syana tersenyum mendengarnya. "Ibu juga Ibu terbaik yang Syana punya. Jangan pernah tinggalkan aku ya, Bu!"

"Ibu akan selalu berada di sampingmu."

Raini pun mencium kening putrinya itu sangat lama. Ada rasa hangat yang menyentuh hati Syana. Gadis itu semakin memeluk ibunya erat, enggan melepaskan.

"Aku sayang Ibu."

"Ibu pun begitu, Nak."

Syana tersenyum senang. Perlahan pelukan itu dilepaskan oleh Raini.

"Ayo, makan dulu kuenya!" suruh Raini. Syana mengangguk setuju.

"Biar aku saja yang potong kuenya, Bu." Syana lalu mengambil pisau dan memotong kue tersebut menjadi beberapa bagian.

"Ini suapan spesial untuk Ibu!" ujar Syana senang. Ia lalu mengarahkan sendok berisi kue itu ke mulut Raini, dengan senang hati ibunya itu menerima suapan Syana.

"Sekarang gantian, ya. Ibu pula yang menyuapkan kamu."

Mereka pun saling suap-suapan sampai kue itu habis. Setelah itu keduanya berbincang-bincang singkat dan tertawa pelan.

"Anak Ibu makin cantik saja, ya. Jika begini Ibu jadi kalah cantik sama kamu."

Syana terkekeh pelan. "Masih cantikan Ibu. Aku, kan, hanya salinan dari Ibu."

Raini ikut terkekeh. Tiba-tiba garis senyum Raini menghilang. Wanita itu tampak menghela napasnya pelan.

"Sayang ...."

"Iya, Bu?"

"Sini!" suruh Raini agar Syana mendekatinya. Gadis itu menurut saja. Raini lalu merengkuh badan putrinya itu kembali.

"Janji sama Ibu tetap bahagia, ya!"

"Aku akan selalu bahagia saat bersama Ibu."

"Ibu akan selalu bersamamu, maka berbahagialah setiap saat."

Raini lantas bangkit dari duduknya, lalu berjalan mundur ke belakang membuat Syana heran.

"Ibu mau ke mana, Bu?"

Raini tak menjawab dan hanya tersenyum.

"Ibu? Jawab, Bu! Ibu mau ke mana?"

Raini sama sekali tak mengindahkan ucapan putrinya. Wanita itu lalu membalikkan badan meneruskan langkahnya yang semakin menjauhi Syana.

"Ibu! Jangan pergi, Bu!"

"Ibuuu!"

"IBU!"

Syana tersentak dari tidur panjangnya. Napasnya tampak masih tak beraturan. Dia mengatur napas terlebih dahulu agar lebih tenang.

"Kamu sudah bangun?"

Syana terkejut mendengar sebuah suara yang sangat asing di telinganya. Gadis itu menatap sekeliling. Menyadari jika dia sedang tidak berada di rumahnya sekarang. Di manakah Syana berada? Kenapa dia bisa di sini?

Kepala Syana terasa sangat berat, gadis itu meringis merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri.

Dia teringat akan mimpi tadi. Oh, apakah perayaan ulang tahun bersama ibunya itu hanyalah sebuah mimpi? Bukan!

Ulang tahunnya itu memang dilaksanakan bersama Raini ... satu tahun yang lalu.

"Ibuuu," lirih Raini mulai mengeluarkan air mata kembali.

"Kau baik-baik saja?" tanya  orang yang sejak tadi berdiri di samping kasur itu. Syana sama sekali tak menoleh. Tak peduli siapa pun orang itu, yang terpenting sekarang adalah ... ibunya.

"Tolong tinggalkan aku sekarang!"

"Tapi ...."

"Aku mohon, tinggalkan aku sekarang juga!"

"Baik!" Laki-laki itu menurut saja, mungkin nanti akan dia coba kembali mengajak gadis itu berbicara.

Syana mengusap mukanya. Air mata seakan tak berhenti mengalir dari pelupuk matanya.

Tepat satu tahun yang lalu ... saat Syana berumur enam belas tahun, Raini pergi meninggalkan Syana untuk selamanya.

Mimpi Syana tadi hanyalah bayangan kenangan satu tahun lalu yang selalu menghantuinya. Ya, singkatnya Raini sudah meninggal dunia.

Kenapa? Apa yang terjadi?

Perlu diketahui, sejak umur sepuluh tahun mata biru Syana tidak lagi pernah muncul sampai sekarang. Syana tidak tahu kenapa mata biru itu tak pernah lagi muncul.

Saat itu, Syana tidak berada di rumah, karena dia sedang pergi sekolah. Sepulangnya Syana kembali ke rumah, dia melihat ada tamu yang datang.

Syana tidak tahu siapa tamu tersebut, yang pasti Syana hanya melihat seperti seorang laki-laki berbadan kekar.

Syana bahkan sempat menyapa laki-laki dewasa itu, tetapi karena dia merasa tidak usah ikut camput, Syana berlalu ke kamarnya.

Tak lama kemudian, terdengar suara gaduh dari luar. Syana buru-buru keluar kamar. Alangkah terkejutnya gadis itu melihat ibunya sudah tergeletak tak berdaya.

"IBUUU!"

"Jangan mendekat, Syana!" tegur Raini membuat langkah Syana terhenti.

"Apa yang kau lakukan pada ibuku!" bentak Syana menatap laki-laki itu tajam.

"Syana larilah! Menjauh dari laki-laki itu!" teriak Raini kesusahan, karena kesadarannya hampir saja lenyap akibat darah yang semakin banyak mengalir dari mulutnya.

"Aku tidak mungkin meninggalkan Ibu," ujar Syana menolak.

"Ibu mohon, larilah!"

Laki-laki itu yang sudah tidak sabar segera menghampiri Syana.

"Jangan lari gadis manis!"

Melihat laki-laki itu yang semakin mendekat, barulah Syana berlari, tetapi sudah terlambat. Tangannya dicekal oleh laki-laki itu. Kekehan sinis terdengar darinya.

"Jangan sakiti putriku!"

Laki-laki itu menarik Syana agar ikut dengannya, tetapi gadis itu menolak.

"Ayo ikut denganku! Atau kau mau aku bersikap kasar?"

"Aku tidak mau!"

"Sepertinya kau memang keras kepala, baiklah jika itu yang kau mau." Laki-laki itu mengambil sesuatu benda tajam dari saku celananya.

Raini yang melihat itu memelotot, kesadarannya yang sudah semakin menipis membuatnya kesusahan bergerak.

Benda tajam itu hendak menyentuh Syana, akan tetapi sebuah cahaya mendahuluinya. Benda tajam yang merupakan pisau itu terjatuh ke lantai, bersamaan dengan laki-laki itu yang langsung tumbang.

Syana masih syok dengan apa yang tiba-tiba terjadi. Dia langsung menatap ibunya yang tergeletak di lantai. Buru-buru Syana menghampiri Raini.

"Ibu ... bangun, Ibu!"

Syana tidak mengerti apa yang terjadi, dari mana cahaya itu berasal?

Dengan kesadaran yang masih tersisa, Raini menggapai tangan Syana.

"Sayang ... maafkan Ibu."

Syana terkejut menatap mata ibunya yang berubah menjadi biru? Bukankah mata biru itu adalah matanya?

"I--ibu sengaja meminta mata birumu untuk dipindahkan ke Ibu sementara, Nak, karena di saat kamu berumur enam belas tahun, mata biru itu akan membuat fenomena bulan purnama biru bencana yang akan menghancurkan desa. Nyawamu akan terancam. Maka dari itu, Ibu meminta Dewi Bulan untuk memindahkan mata birumu kepada Ibu dengan nyawa Ibu yang menjadi taruhannya."

"Ibu, apa maksudnya ini?"

"Jagalah mata biru ini, Nak, karena jika tidak akan membahayakan dirimu. Mata biru ini ... Ibu kembalikan," ucap Raini menatap mata Syana membuat suatu saluran untuk berpindah.

Setelah selesai, mata Raini pun tertutup dengan senyum di wajahnya.

"Ibuuu!" teriak Syana memeluk ibunya itu yang sudah tak bernapas. Tanpa Syana sadari, sekarang matanya pun sudah berubah menjadi biru.

***

Bersambung!

Hmm kira-kira ada yang tau gak siapa laki-laki yang hendak membawa Syana tadi? Terus apa tujuannya?

Cukup sampai sini dulu, deh, untuk selengkapnya lagi mari kita kupas di bab selanjutnya hehe.

Semoga gak bosan, ya. Maaf kalau susah dicerna, tapi ini gak terlalu rumit kok sebenernya.

Terima kasih yg udah mau baca!

~Amalia Ulan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro