Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Nights

Wulan menangis sejadi-jadinya saat di dalam kamar, ia sudah tak peduli lagi dengan derai air mata yang kian lama membasahi bantalnya.

Suara panggilan dari neneknya tak ia hiraukan saat ia baru saja pulang. Hal itu, membuat dirinya merasa bersalah. Ia lebih rela menangisi Dhamar daripada memeluk neneknya yang kebingungan saat ini.

Ia menyesal kembali ke Jakarta, mengejar Dhamar kembali. Ia seharusnya mendengarkan pesan terakhir ayahnya untuk tak menaruh hati kepada cowok manapun. Mengingat ayahnya, membuat Wulan merasa bersalah sekaligus merindukan pelukan hangat sang ayah.

Sudah lima belas menit Wulan berdiam diri di kamarnya, tangisnya mulai mereda. Ia mulai berdiri dan melangkah keluar dari kamarnya. Ia lapar serta haus, seharusnya ia sedari tadi sudah memanjakan lidah dan perutnya, tetapi karena hatinya gundah gulana, ia malah merugikan dirinya sendiri karena efek patah hati.

"Mbah? Maafin Wulan, ya? Maaf karena sikap Wulan yang ngga sopan sama Mbah," ujar Wulan saat melihat Nem yang tengah duduk di ruang tamu sembari merajut.

Nem yang melihat cucunya keluar dari kamarnya tersenyum lega, ia membereskan rajutannya lalu menyuruh Wulan untuk duduk di sebelahnya.

"Apa yang saat ini Wulan mau lakuin, Mbah bakalan dukung apapun keputusan yang kamu ambil. Asal, jangan sampai ngebuat kamu dan orang-orang yang sayang sama kamu kecewa dengan keputusan yang kamu ambil. Paham?" Wulan mengangguk.

"Mbah, Wulan kangen ayah." Nem tersenyum, ia mengelus rambut sang cucu.

"Kangen main sepedahan bareng, jalan bareng, makan bareng. Ayah selalu minta foto berdua, tapi Wulan selalu kabur. Sekarang, Wulan malah nyesel. Seharusnya Wulan dengerin kata ayah, untuk tak menaruh hati kepada lelaki manapun. Wulan ngerasa bersalah," ujar Wulan sembari menyandarkan kepalanya di pundak neneknya.

"Pantesan yang lain bilang kamu itu versi ceweknya ayahmu. Sikapmu ngga jauh beda, ngerasa bersalah, suka nyesel di akhir, dan ngeyelan. Kamu lihat foto ayahmu yang terpajang di rumah ini, ayah kamu itu selalu ada di samping kamu. Jangan merasa bersalah karena ngga mendengarkan petuah ayahmu." Nem terus mengelus rambut Wulan yang kembali terisak.

"Ayahmu pasti bangga dengan keputusan yang kamu ambil. Walaupun, ayahmu menganggap anak perempuannya akan selalu menjadi putri kecilnya, tetapi ayahmu tahu ... bahwa di masa yang akan datang, ayahmu harus menyerahkan kamu dengan pilihan yang kamu buat."

"Ayah bangga sama Wulan? Walaupun Wulan sering keras kepala dan ngga pernah dengerin petuah ayah?" tanya Wulan polos.

Nem berkata, "Semua ayah bangga sama pilihan anaknya."

***

Mendadak Wulan menyita banyak pasang mata saat tiba di Grata. Mulai dari yang melihatnya secara terang-terangan, menyapanya, hingga mengajak ia kenalan.

"Jadi bintang Grata, nih!" goda Ivan tepat di samping Wulan.

Wulan tertawa, ia bingung harus membalas apa. "Emang aku aneh banget, ya?" Jemarinya membenarkan rambutnya yang tergerai, mencoba merapikan penampilannya.

"Cantik banget, Lan. Silau banget, ngga percaya diri aku di sampingmu," guyon Ivan.

"Pepet terus, sampai mampus," sindir Bryan dengan nada bercanda. Ia baru saja memasuki kelas dan melihat Ivan menggoda sahabatnya.

"Cemburu bilang, Yan," cibir Ivan menanggapi guyonan Bryan.

"Kemarin gara-gara datang ke pestanya Dhamar, kamu jadi populer, Lan. Bukan gara-gara kamu aneh. Story instagramku isinya kamu semua," ujar Ivan menunjukkan beberapa postingan yang membuat namanya naik daun.

Wulan sebenarnya tidak terlalu memikirkan hal itu, ia hanya mersa sedikit aneh dengan suasana yang berbeda dari sebelumnya.

"Lan? Udah makan?" tanya Abrar yang baru saja masuk ke dalam kelasnya.

"Pepet terus, sampai enek. Aku aja yang ngelihatnya enek, gimana Wulan? Ya enggak, Yan?" tanya Ivan sedikit menyindir Abrar.

Abrar tak menghiraukan sindiran Ivan, ia menyerahkan nasi uduk yang ia beli saat berangkat sekolah tadi. "Aku beli lebih, takut kamu masih kepikiran yang kemarin."

Wulan masih diam, padahal nasi uduk yang diberikan Abrar sudah berada di atas mejanya. "Kalau gitu, aku ke kelas, ya?" pamit Abrar yang merasa diabaikan oleh Wulan.

"Kalau udah pergi, jangan balik lagi, ya!" sewot Ivan yang masih memiliki dendam kesumat terhadap anak akselerasi.

Gegara perbedaan kasta sialan yang sudah tercipta sebelum dirinya masuk di Grata, ia mau tak mau putus dengan salah satu anak akselerasi. Padahal ia sudah hampir setahun menjalin hubungan dengan anak akselerasi tersebut.

"Kalau aja dulu, anak akselerasi kagak ikut campur hubunganku dengan Melinda, aku sama dia bisa langgeng kali." Bryan yang tahu sedikit tentang hubungan percintaan teman semejanya, hanya bisa menepuk pundak Ivan, untuk menenangkannya.

"Bryan? Ivan? Bantuin aku move on," pinta Wulan. Bryan dan Ivan serempak menoleh kaget ke arahnya.

***

Saat ini Abrar dan Wulan sedang duduk di salah satu kedai mi ayam di dekat sekolah. Sejujurnya Wulan tak menyukai ide Abrar yang mengajaknya makan berdua, maka dari itu ia diam-diam menyuruh Kumala dan Bryan untuk menghampirinya. Sepertinya, nasibnya hari ini sedikit sial. Karena, orang yang ditunggu-tunggu sampai saat ini belum datang juga.

"Kamu nyari seseorang?" tanya Abrar memecah kegelisahan Wulan yang melanda.

"Aku nyuruh Bryan sama Kumala buat datang, tetapi kok mereka berdua ngga datang-datang?"

"Padahal aku sengaja ngajakin kamu makan berdua, biar aku yang bantuin kamu ngelupain Dhamar." Pesanan mereka yang baru saja tiba membuat perhatian Wulan kepada kalimat Abrar sedikit ia lupakan.

"Aku lapar, ngobrolnya dilanjut nanti aja," ujar Wulan sembali mengaduk-aduk mi ayam yang masih menyemburkan uap panas.

Abrar terdiam, kondisi hatinya semakin memburuk. Ia sudah tak lagi bernafsu untuk makan berdua. "Mesen doang, makan kagak. Sini mi ayamnya buat aku aja, kasian nggak ada yang makan, kan mubazir." Bryan yang baru saja tiba, langsung main asal mengambil mi ayam yang ada di hadapan Abrar.

"Kalian berdua kenapa datang, sih," gerutu Abrar.

"Kita diundang, makanya datang. Ngelupain mantan itu butuh proses, ngga bisa kamu paksa seenaknya," ujar Bryan.

"Semakin lama, malah semakin membekas," bela Abrar dengan enteng.

"Semakin dipaksa, fungsi hati bakalan ngga berfungsi. Ngebet banget kamu sama Wulan, Brar," ejek Bryan. Tangannya dan matanya boleh saja fokus pada mi ayam yang ada di hadapannya, tetapi bibir dan otaknya tidak boleh sampai lengah di saat sahabat-sahabatnya terjerat masalah. Apalagi masalah hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro