Psycho
Rak buku tertata rapi memenuhi ruangan, tak lupa juga sofa dan kursi yang dilengkapi dengan meja di tengahnya yang hampir setiap tempatnya telah diisi oleh manusia-manusia yang tengah menuntut ilmu.
Seketika badannya menegang, matanya menatap tangannya yang telah digenggam erat oleh Dhamar. "Aku ngga mau kehilangan kamu," ujarnya dengan nada rendah.
"Kamu cari buku apa?" tanya Wulan dengan nada tak kalah rendah.
Saat ini mereka berdua tengah berada di Perpustakaan Nasional, rencananya ialah Wulan menemani Dhamar belajar untuk persiapan Ujian Nasional yang akan datang.
"Nanti sekalian ajarin aku, boleh?" tanya Wulan sekaligus meminta.
"Apa coba yang enggak boleh buat kamu, Lan? Tapi, nanti sistemnya kamu kerjain sebisa kamu dulu, kalau ngga bisa, baru nanya aku." Wulan mengangguk mengerti.
Dhamar terus menggenggam tangan Wulan kemanapun ia berada, bahkan saat ia memilih dan mengambil buku, ia tak ingin kehilangan Wulan.
"Dhamar? Aku mau ngambil buku di rak yang itu, tanganku lepasin dulu," pinta Wulan menatap rak yang posisinya tak jauh dari tempatnya berada.
Dhamar menengok, netranya mengikuti ujung jari telunjuk Wulan. "Ayo, aku temenin." Pipinya tiba-tiba memerah, hari ini Dhamar sangat memanjakannya. Perhatian-perhatian kecil ini yang Wulan rindukan bersama Dhamar, pastinya dilengkapi dengan euforia yang bercabang di hati mereka masing-masing.
"Yang mana? Biar aku ambil."
Wulan menggeleng. "Aku ngga pendek, jangan manjain aku mulu. Ngga lihat pipi aku udah merah, nih!" seru Wulan membuat beberapa orang yang tak kedapatan tempat atau memang posisi duduknya lebih enak di dekat rak menatapnya, merasa terganggu dengan kebisingan yang ia ciptakan.
"Maaf," cicit Wulan membuat Dhamar tersenyum kecil.
Dhamar mengelus puncak kepala Wulan, yang diusap malah cemberut dan menatap Dhamar sinis. "Apa? Megang-megang?" sungut Wulan sembari mengambil buku yang ia inginkan.
"Ceritanya ngambek?" goda Dhamar yang sudah kembali menggenggam telapak tangan Wulan.
"Cepetan ambil buku yang mau dikerjain," titah Wulan.
"Kamu ngambil novel?" tanya Dhamar saat menyadari buku tebal yang dipegang oleh sang pacar adalah buku fiksi.
Dengan polosnya Wulan mengangguk sembari memasang cengiran khasnya.
***
Wulan uring-uringan, sudah hampir dua minggu setelah jalan berdua dengan Dhamar ia lewati, tetapi Dhamar seperti hilang. Katanya sibuk, maka dari itu ia tak bisa bertemu dengan Wulan.
Dhamar
Kamu lagi dimana?
Perpustakaan, kenapa?
Udah makan?
Udah.
Aku ganggu, ya?
Iya.
Batinnya merasakan bahwa Dhamar berubah menjadi sedikit lebih dingin dan menjauhkannya, tetapi ada kemungkinan Dhamar seperti itu, karena memang saat ini dirinya tengah sibuk untuk persiapan ujian.
"Bryan? Aku nebeng, boleh?" Bryan mengangguk, sudah hampir dua minggu Bryan dijadikan ojek pribadi Wulan dan ia sama sekali tak keberatan, karena bensinnya setiap tiga hari sekali akan diisi sampai penuh oleh Dhamar. Tentu saja tanpa sepengetahuan Wulan.
"Wulan? Ngga pulang bareng Dhamar?" tanya Abrar saat mereka tengah berada di parkiran motor.
Wulan menggeleng sedih, sepertinya Abrar tengah memancing keributan dengannya.
"Tadi aku lihat Dhamar sama Nia, baru aja pulang." Ucapan Abrar membuat Wulan dan Bryan menegang seketika. Yang satu merasa dirinya kena tipu dan yang satunya lagi merasa bahwa kedoknya akan terbongkar sebentar lagi.
Mampus rutuk Bryan dalam hati sembari memasang wajah tanpa dosanya.
***
Kebetulan yang luar biasa, Dhamar saat ini tengah menunggu tepat di depan rumah Wulan. Tangan kanannya menggenggam paper bag dan tangan kirinya ia masukkan ke dalam kantong celananya.
"Katanya ada di perpustakaan, kok bisa ada di depan rumah?" tanya Wulan dengan nada menyindir.
"Aku mau udahan," ujar Dhamar pelan, tetapi ia yakin bahwa Bryan yang baru saja menyalakan mesin motornya kembali, mendengar ucapannya.
"Buset, sabar apa. Kalau mau bahas urusan rumah tangga, tunggu aku pulang dulu. Baru juga nyalain mesin," gerutu Bryan yang sudah malas mengurusi kisah asmara mereka berdua.
"Kan, kamu sahabatku. Kamu bisa jadi saksi kalau aku sama Wulan hari ini bakalan putus."
"Aku sahabat kalian berdua," ujar Bryan menengahi lalu memutar balikkan motornya dan pergi meninggalkan Dhamar dan Wulan.
"Kenapa?" tanya Wulan. Kedua tangannya mengepal, bukannya ia yang seharusnya kesal karena Dhamar berbohong kepadanya? Lalu.., mengapa Dhamar yang malah memutuskannya?
"Dulu saat kamu mutusin aku, apa kamu ngasih alasannya?" tanya Dhamar.
"Ngga, kan? Begitu juga denganku, silakan kamu tanya diri kamu sendiri. Aku mau mengembalikan hadiah kamu, karena aku ngga butuh," ujar Dhamar memberikan paper bag yang ia bawa lalu pergi meninggalkan Wulan yang sudah menangis.
Tanpa Dhamar sadari, luka yang baru ia torehkan kembali menganga di dalam hatinya dan juga hati Wulan. Beberapa kali Dhamar mencoba bernapas dengan normal, tetapi perasaan bersalah yang begitu besae mencekik rongga pernapasannya.
Tidak semua yang meninggalkan merasa baik-baik saja.
Dan tidak semua yang ditinggalkan merasa tersakiti.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro