Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Memories

Wulan termenung di atas kasurnya, ia masih saja memegang Al-qur'an, padahal sudah lima menit yang lalu ia selesai mengaji.

"Wulan? Makan malam dulu." Ketukan pintu dari luar menyadarkan Wulan dari lamunannya.

Pikirannya tiba-tiba saja kosong. Semenjak adegan Wulan yang kaget dan langsung melarikan diri dari hadapan sang mantan, dirinya mendadak tidak fokus pada apa pun.

"Iya, Mbah." Semenjak Wulan tinggal di Jakarta, dirinya memang tinggal bersama neneknya. Selain karena ingin menemaninya, ia juga tak mau merepotkan tante atau pun budenya yang sudah memiliki anak.

Menu khas rumahan yang membuatnya betah menginap di rumah neneknya kapan saja, menjadi salah satu alasannya untuk menjadi tempat tinggalnya sementara saat ia berada di Jakarta.

"Wulan minta maaf, Mbah. Seharusnya Wulan bantuin masak," cicit Wulan yang masih kurang fokus walaupun di hadapannya terdapat makanan kesukaannya.

"Ngga papa, Lan. Udah duduk aja, Mbah juga ngga ngerasa direpotin, kok. Habis makan, kamu langsung belajar aja," ujar Nem, sejujurnya Wulan tidak tahu nama panjang neneknya sendiri. Karena saat melihat kartu keluarganya, nama neneknya hanya Nem, tidak ada lagi lanjutannya.

"Nanti biar Wulan yang nyuci piring, Mbah. Kalau Mbah yang lakuin, kulit jari-jarinya bisa keriput."

Nem yang baru saja menelan nasi dengan udang yang dibumbui asam manis merasa bahwa cucunya meledeknya menatap Wulan dengan tatapan tak terima. "Mbah emang udah tua, tapi kulit Mbah itu masih kenceng, ya."

Wulan hanya tertawa mendengarnya, ia sudah lama tidak mengobrol hal-hal remeh seperti ini.

"Kamu daritadi kurang fokus kenapa, Cu?" tanya Nem yang sedikit lagi menyelesaikan makannya.

"Mbah tahu kan, kalau Wulan datang ke Jakarta mau ketemu mantan Wulan? Ternyata mantan Wulan itu anak akselerasi, dia pintar banget, udah gitu ganteng lagi, Wulan ngerasa ngga sebanding sama dia. Apa mungkin," ucap Wulan mengigit bibir bawahnya ragu-ragu, "Wulan harus ngerubah apa yang ada di diri Wulan, supaya sebanding sama dia?"

Wulan menatap tak percaya, dirinya sedang seriusnya bercerita, tetapi dengan mudahnya neneknya menertawai curhat colongannya.

"Ih, Mbah ... Wulan kan lagi cerita," sungutnya tak terima.

"Lagian, kamu loh pinter-pinter, tapi giliran kayak gini jadi bodoh." Nem masih saja tertawa melihat Wulan yang merajuk seperti anak kecil.

"Kamu itu cantik, pintar, gemesin gini, apa yang mesti diubah? Cinta itu ngga mandang rupa, apalagi tahta, kalau memang cinta yang kalian bangun itu murni. Masalahnya, kalian masih sekolah, harusnya belajar. Bukan malah mikirin cinta menye-menye kayak gini," ujar Nem masih sedikit tertawa.

"Katanya cinta ngga mandang rupa, tapi Dhamar pas ngelihat aku, dia malah lupa," sungut Wulan yang masih kesal.

"Berarti tandanya, dia udah ngga cinta kamu, Lan," simpul Nem membuat kekesalan Wulan berlipat ganda.

***

Wulan mencoret-coret belakang bukunya dengan tulisan asal. Ia masih saja kepikiran dengan Dhamar, bahkan saat pelajaran yang baru saja selesai ia sering kehilangan fokusnya.

"Lan? Kamu ngga papa?" tanya Anna sedikit mengguncang pundak Wulan dari samping.

Wulan langsung sadar dari lamunannya dan monoleh ke arah Anna yang menatapnya bingung. "Anna kenapa?" Anna menghela napasnya lelah, yang seharusnya bertanya kan dirinya, mengapa Wulan malah bertanya balik kepadanya? Ia sudah memanggil Wulan berkali-kali, sebelum ia mengguncangkan pundak Wulan, tetapi teman semejanya ini tak menyaut.

"Kamu seriusan ngga papa, Lan? Daritadi aku ngerasa kamu kurang fokus," ujar Anna, matanya sedikit melirik hasil absurd selama kelas berlangsung yang ada di belakang bukunya.

Wulan yang melihat sudut mata Anna yang menatap coretan asalnya langsung menutup bukunya rapat-rapat, kedua sudut bibirnya terangkat, menampilkan lesung pipinya.

Anna memberikan buku catatan yang belum ia masukkan ke dalam tasnya, "Aku yakin kamu bakalan butuh ini, besok jangan lupa dibalikin, ya?" pinta Anna membuat Wulan mengangguk dan berterima kasih.

"Anna? Aku mau cerita sekaligus minta saran, boleh?" izin Wulan dengan cengiran khasnya.

Anna mengangguk, ia menyiapkan kedua telinganya untuk menjadi pendengar Wulan kali ini.

"Kamu tahu Dhamar? Dia anak akselerasi," ujar Wulan sekaligus menanyakan tentang kepopuleran sang mantan.

"Dhamar? Yang tinggi punya lesung pipi itu?" tanya Anna, Wulan mengangguk semangat saat tahu bahwa teman semejanya mengetahui Dhamar.

"Dia dulu mantanku." Anna melotot kaget, "Serius? Demi apa?!" teriak Anna tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Anna? Jangan keras-keras," tegur Wulan yang sedikit malu, karena fokus teman sekelasnya langsung beralih ke dirinya dan Anna.

Anna menampilkan senyum lima jarinya, tanda ia menyesal. "Dulu aku pernah sahabatan sama dia, Bryan, dan Kumala. Sampai akhirnya dia ngajak aku jadian, terus kita udahan gara-gara aku harus ke Makassar. Aku putus gara-gara aku ngga mau egois, ngga mungkin kita pacaran jarak jauh di umur yang masih kecil, kalau diingat lagi emang agak geli, sih." Wulan sedikit terkekeh mengingatnya.

"Kamu tahu ngga, sih? Kencan pertama kita di arena bermain keluarga, pas di sana kita sempet kepisah gara-gara ramai. Aku pergi ke pusat informasi buat nemuin dia, padahal kita sama-sama megang hape dan arenanya juga ngga luas banget. Kalau keingat, gobloknya sampai ke dna," ujar Wulan membuat Anna terkekeh.

"Aku ngga nyangka, otakmu kalau berhubungan dengan cinta bisa jadi bego gini," ledek Anna.

"Emang, Dhamar itu dulu juga bucin banget. Malem-malem ngajakin sepedahan beramai-ramai biar ngga keliatan modusnya mau jalan sama Wulan. Mungkin, kalau yang diajakin aku sama Kumala doang, masalahnya yang diajakin dia anak se-RT, mau ngajakin bangunin orang sahur apa mau demo, sih?" Anna yang mendengar aduan Bryan tertawa terbahak-bahak.

"Sumpah, anak aksel bisa sebego itu? Bucin banget."

Wulan seketika tersenyum, ia mendengar salah satu rahasia yang ia tak pernah dengar dari Dhamar sendiri.

***

Wulan tersenyum menatap lembaran kertas yang berisi fotonya dan Dhamar zaman dulu dengan keterangan anak hilang.

Wulan melakukan ide jahil ini, karena ia ingin Dhamar menemuinya, menanyakan kabarnya, dan alasan dari semua apa yang dilakukan Wulan. Selain itu, ia ingin Dhamar mengingat semua kenangannya bersama Wulan. Tanpa pernah melupakannya lagi.

Teman-teman sekelasnya berjanji akan membantunya membagikan lembaran yang ada di tangannya saat jam isthirahat nanti.

Teman-teman sekelasnya mengira bahwa Wulan membenci anak akselerasi maka dari itu, Wulan berniat mengerjai mereka. Perbedaan gedung, fasilitas, serta aturan yang diberikan membuat siswa-siswi reguler iri dan dengki.

"Idih, bisa banget dieditnya, Lan. Pakai aplikasi apaan?" tanya Ivan yang melihat foto mereka dilembaran yang baru saja dibagikan Wulan.

Dahi Wulan mengerut bingung.
"Daripada nanya, mending disebarin aja," ucap Wulan.

Ivan dan teman-teman sekelasnya berlari ke luar kelas dan mulai membagikan lembaran yang dibuat oleh Wulan.

Di waktu yang sama, tetapi di tempat yang berbeda, gedung anak akselerasi saling melemparkan lelucon tentang kejadian yang baru saja terjadi.

"Berani banget itu anak reguler, bisa-bisa jahilin salah satu di antara kita," ujar Nia yang baru saja tiba.

"Itu cewek ngga ada otak kali, ya."

"Penggemarnya Dhamar kali, sangking sukanya sama Dhamar jadi kayak gitu sikapnya."

"Idih, obsesi banget. Amit-amit, deh."

"Ceweknya cantik banget. Nih, mereka sama-sama punya lesung pipi dan ini kayaknya foto Dhamar pas masih beberapa tahun yang lalu." Anak cowok yang baru saja tiba memberikan selembaran yang tak sengaja ia dapatkan.

"Bisa aja diedit, aplikasi edit sekarang banyak tahu, Brar. Kudet banget."

"Mar? Kamu ngga kenal dia, kan?" tanya Nia yang takut kalau mereka berdua benar-benar pernah dekat.

Dhamar diam, tetapi kedua tangannya sudah mengepal. Amarahnya memburu, tetapi ia tak tahu bahwa hatinya diam-diam membuncah kegirangan, mengetahui bahwa Wulannya juga merindukannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro