Just a Friend To You
Suara kebebasan terdengar sebelum waktunya, membuat beberapa siswa-siswi sedikit kebingungan, tetapi tak ayal ada yang bersorak gembira.
Dikarenakan adanya rapat guru, siswa-siswi SMA Garuda Jakarta, dipulangkan lebih cepat dari jam normal.
Pengumuman yang berasal dari alat pengeras suara yang terdapat di setiap kelas, semakin membuat siswa-siswi di kelas 11 IPA 2 bergembira.
"Maka nikmat mana lagi yang kalian dustakan? Habis jamkos, kita pulang cepet. Mabar kuy!"
"Nonton yuk."
"Nongkrong aja, filmnya bulan ini ngga ada yang seru."
Bagi remaja, pulang cepat adalah suatu nikmat yang tak terkalahkan setelah jam kosong. Berbeda dengan tanggal merah, karena mereka akan merasa dirugikan saat tak masuk sekolah, uang bensin tidak dapat, uang saku juga tidak dikasih, dan yang paling penting ialah mereka tidak merasakan kebersamaan kelas yang tercipta. Sebacot-bacotnya teman sekelas, pastinya mereka akan merindukan masa-masa remaja saat perpisahan itu tiba.
"Yan? Nebeng ya?" pinta Wulan yang sudah memelas. Entah karena hari ini semua yang ia kira tidak berjalan seperti biasa atau karena perasaan sakit hatinya saat bekal yang ia kasih ditolak oleh Dhamar.
Bryan yang tengah membereskan bukunya menoleh. "Aku ada acara nongkrong sama yang lain, Lan."
"Kamu mau nongkrong juga? Nanti aku siap yang bonceng kamu, gimana?" tawar Ivan sembari mengedipkan sebelah matanya. Genit.
Wulan menggeleng pelan, ia akhirnya menepuk pundak Bryan lalu berjalan malas keluar kelas. "Lan? Mau ikut kita nonton ngga?" ajak Anna memberhentikan jalan Wulan yang sedikit lagi akan sampai pintu kelas.
Wulan menoleh menatap wajah Anna yang berbinar, otaknya mencerna sebentar, lalu menggeleng pelan, dan seketika wajah Anna menjadi muram.
***
Kakinya berjalan linglung tak menentu setelah keluar dari gerbang sekolah. Wulan hanya berpikir untuk menemukan angkutan umum di jalan utama, sebelum sampai jalan utama, ia harus melewati beberapa gang kecil.
"Kamu yang apa-apaan! Tebar pesona sana-sini! Kamu pacar aku atau pacar Dhamar?" geram cowok yang sedang menghimpit ceweknya di gang.
Wulan yang mendengar nama Dhamar disebut-sebut langsung terdiam, ia menajamkan indra pendengarannya.
"Kenapa emang kalau aku sama Dhamar? Jangan salahin aku kalau laki-laki lain nyentuh aku, karena nyatanya kamu yang sok naif sama tubuhku!"
"Terus kamu maunya gimana? Seharusnya kamu sadar, kalau Dhamar masih suka sama Wulan."
"Aku ngga peduli!"
"Kalau gitu, lebih baik kita putus," final cowok tersebut lalu berbalik, berjalan keluar dari gang.
"Aku yakin, kamu bakalan nyesel udah mutusin aku!" teriak sang cewek sembari menghentak-hentakkan kakinya.
Cowok yang sudah keluar gang kecil hanya bisa tertawa ironi. Sebelum cewek tersebut keluar, Wulan bergegas mengambil langkah seribu untuk menjauh dari gang tersebut. Suasana hatinya semakin buruk.
Entah mengapa, ia malah malas pulang ke rumah karena pikirannya sedang berkelana tentang perkelahian yang baru saja terjadi. Wulan memutuskan untuk pergi ke kedai es krim yang berada di dekat jalan utama untuk mengembalikan suasana hatinya sekaligus menenangkan pikirannya.
Kring
Bunyi lonceng terdengar nyaring saat pintu kedai es krim terbuka, menandakan seorang pelanggan memasuki kedai es krim tersebut.
"Es krim vanilanya satu, terus di atasnya pakai susu ya, Pak. Saya lagi pengen yang manis-manis soalnya," pesan Wulan sembari tersenyum dan mengeluarkan uang selembar berwarna ungu.
Setelah membayar, Wulan duduk di dekat jendela yang langsung menghadap ke jalan utama. Bisa dibilang kedai es krim ini ramai pengunjung, mulai dari kalangan anak muda yang sekedar nongkrong atau anak kecil yang menyukai es krim.
Uniknya dari kedai ini ialah saat tiga bulan sekali, kedai ini akan mendekorasi ulang dengan tema yang bemacam-macam. Netranya mengedar ke sekeliling, tema yang dipilih kali ini ialah salah satu tokoh kartun yang bisa membekukan segalannya tak lupa dengan boneka salju yang memakai wortel pengganti hidung palsu yang menghiasi wajahnya.
"Pesanannya, Neng." Teguran Pak Emen membuatnya tersadar dari kekaguman dekorasi yang tertata rapi pada kedai yang sudah menjadi salah satu tempat langganannya.
Kring
Kepala Wulan dan Pak Emen serentak menengok ke arah pintu masuk, ingin melihat siapa kali ini pengunjung yang datang. Matanya melotot kaget melihat cowok yang memakai seragam yang sama dengannya.
"Pak Emen! Kepala saya mau pecah nih, tolong yang kayak biasa ya, Pak."
Pak Emen mengangguk lalu bergegas meninggalkan meja Wulan. "Wulan, kan?" sapa cowok yang baru saja memesan.
Wajahnya berubah kaku saat cowok tersebut menghampiri sekaligus menyapanya.
"Enaknya.., aku bakalan nyapa kamu sebagai Wulan atau sebagai cewek yang nguping di depan gang?" Wulan menggigit bibir bawahnya. Terkejut.
"Kamu ngga usah takut, aku ngga bakalan gigi," candanya, tetapi candaan tersebut sama sekali tak mampu membuat Wulan terlihat baik-baik saja.
"Pesanannya, Nak Abrar."
Es krim tiga rasa berpindah tempat, dari di atas nampan yang dipegang Pak Emen menuju meja mereka.
"Makasih, Pak," ujar Abrar tersenyum tulus.
"Berantem lagi sama Neng Nia?" tebak Pak Emen, tepat sasaran.
"Udah putus, Pak."
***
Semenjak pertemuan Abrar dan Wulan di kedai es krim, mereka berdua sering mengobrol dan telponan hingga larut malam.
Abrar bahkan sering mengajak Wulan jalan berdua, naasnya permintaan tersebut tak pernah terjadi. Wulan mempunyai seribu satu cara untuk menolaknya, saat kalimat penolakan tersebut keluar dari bibirnya, saat itu juga hatinya terasa sakit.
Abrar tak tahu pasti kapan dirinya mulai menyukai Wulan, tetapi satu hal yang ia yakini adalah dirinya tak mampu melihat kesedihan yang tercetak di wajah cerianya, ia juga tak rela saat Bryan atau teman cowok sekelas Wulan mengalihkan perhatian Wulan dari dirinya. Bukankah itu yang namanya cinta?
"Abrar," sapa Wulan dengan ceria. Senyumnya terpancar hangat kepadanya membuat Abrar merasakan gelenyar aneh dalam dirinya.
"Mumpung aku bawa bekal, aku mau ngasih Dhamar. Lihat dia ngga?" tanya Wulan disusul dengan pecahan hati seseorang yang luluh lantak.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro