YANG TERLUKA
Happy reading :)
Maafkan typo .-.
~
Luka yang tercipta tanpa pembuka, akan sulit dicari penutupnya. Satu hal yang bisa dilakukan, hanya merasa walau harus sakit karenanya.
*****
Bel berbunyi empat kali pertanda usai pelajaran kali ini. Serentak tentunya para murid semangat memasukkan buku mereka ke tas. Menyunggingkan senyum terbaik. Tak lupa menyiapkan tenaga untuk berlari di koridor dan berdesakan dengan murid lain.
Sepasang sepatu pantofel hitam menyusuri koridor dengan tenang. Pemiliknya sama sekali tak terpengaruh oleh siswa-siswi lain yang ingin segera pulang. Lebih baik pelan-pelan daripada buru-buru terus saling tabrak, ah, enggak deh.
Sebuah benda ia rasakan mendarat di bahu kanannya, memaksa dirinya berhenti dan memberikan fokus pada seseorang yang telah di sampingnya. Baru saja bibir mungilnya akan menampilkan senyum, seketika diurungkan. Ekspresinya berubah menjadi datar, menunjukkan ketidaksukaannya.
"Halo, Eti!"
Dima mendumel dalam hati. Menyesal ia tadi berhenti untuk meluangkan waktu, ternyata cowok ini yang muncul.
"Mau pulang, Ti?"
Dasar bodoh! umpat Dima dalam hati. Sejak tadi hanya bisa membatin sambil meratap mengapa Ghatsa masih begitu otaknya. Nggak ada perkembangan sama sekali!
"Lo lagi puasa ngomong lagi ya, Ti? Oh ... atau lo abis makan lem lagi, jadi nggak bisa ngomong? Ah, tapi tadi pagi lo bisa ngomong kok," cerocos Ghatsa yang semakin membuat Dima gregetan.
Tidak mau menghabiskan tenaganya, Dima membawa tubuhnya pergi meninggalkan Ghatsa. Biar ngomong sama tembok!
Sesampainya di parkiran, mulut Dima terbuka. Tatapannya linglung begitu melihat motor yang membawanya berangkat sekolah tidak ada. Baru saja ia berniat menghubungi si penanggung jawab, tapi ponselnya segera diserobot oleh tangan lain.
"Makanya, Ti, jangan sombong apalagi sama mantan gebetan sekeren gue. Kan gue tadi mau kasih tau lo, kalo Dika udah pulang duluan." Ghatsa memasukkan ponsel milik Dima ke saku bajunya.
"Kok?"
"Kok apa, Ti? Jangan satu kata doang dong ngomongnya. Mentang-mentang suara lo bagus, terus ngomong cuma dikit."
Mata Dima melirik malas. "Kok bisa Dika ninggalin gue? Kan udah janji mau ngajarin tugas," omelnya.
"Lo tau kan, kalo Dika orangnya setia kawan. Nah, jadi dia nyuruh gue buat anterin lo. Kasih momen buat kita berdua gitu, Ti."
Dalam hati, Dima sudah menyerapahi tindakan Dika. Kurang ajar sekali meninggalkan Dima dengan si kupret! Sudah tahu kalau papa Dima sedang di rumah dan pasti membuat masalah baru kalau dia diantarkan oleh Ghatsa. Selain itu, Dima tidak sudi bareng Ghatsa. Masa habis marah-marah, terus semotor?
"Gue naik taksi," putus Dima.
Ghatsa segera menahan pergelangan tangan Dima. "Eits, tidak bisa. Lo harus sama gue atau handphone lo nggak balik," paksanya.
Benar-benar sial! Dima melupakan nasib ponselnya. "Buruan. Ke rumah Dika!" suruhnya pada Ghatsa. Terpaksa.
Senyum kemenangan tercetak jelas di bibir Ghatsa. Untung saja kalau urusan seperti ini, otaknya pandai sekali. Good job! serunya dalam hati.
***
Sesampainya di halaman rumah milik Dika, gadis yang berada di boncengan Ghatsa itu segera turun. Melupakan bahwa masih memakai helm, ia berjalan cepat memasuki rumah Dika. Mau protes sama Dika!
Setelah tiga kali memencet bel, keluarlah seorang perempuan paruh baya membukakan pintu. "Eh, Dima, kan?" tanyanya.
Kepala Dima dianggukkan pertanda mengiyakan pertanyaan perempuan itu. "Tante Tika, Dika di rumah, kan?"
"Iya di rumah. Itu lagi di kamar, main gitar," timpal Tika, mama Dika, "eh, itu siapa?" sambungnya begitu menyadari kalau di belakang Dima ada seorang cowok yang ia tafsir setara dengan putranya.
"Halo, Tan. Saya Ghatsa, temen Dika juga." Ghatsa memperkenalkan diri.
Mendadak sikap Tika berubah. "Aduh ... ternyata temen Dika juga ganteng. Ayo-ayo masuk, biar Tante panggilin Dikanya. Sini sini," ajak Tika. Matanya langsung kinclong lihat cowok ganteng sejenis Ghatsa. Memang dia tipe emak-emak zaman now, nggak mau kalah sama remaja yang ngejar cogan juga.
Ingin menolak, tapi sungkan. Mau protes, takut jadi tersinggung. Perasaan Ghatsa sebimbang itu. Pastinya risih, apalagi ketika tangannya dan tangan mama Dika terpaksa menyatu, semakin risih!
"Oiya Dima, kalo mau masuk, helmnya dilepas dulu. Emang kamu nggak capek pake helm terus?" ingat Tika lalu melanjutkan langkahnya sambil masih menyeret Ghatsa.
Dima mengumpat dalam hati. Gegara terlalu kesal dengan Dika, ia jadi tidak fokus. Alhasil ia melepas helm itu kemudian meletakannya di atas meja teras Dika.
"Dik, kok lo balik duluan sih?" protes Dima padahal Dika masih harus menuruni satu anak tangga lagi untuk sampai ke lantai dasar.
"Sabar dong, Ma, sabar. Katanya mau suruh ngajarin tugas, kok malah ngomel?" Dika berusaha bersikap manis, pasalnya kalau Dima sudah ngamuk, susah dijinakin ibaratnya.
"Nggak usah sok manis ya!" gertak Dima.
Gagal sudah rencana Dika untuk baik-baikin Dima. Ketahuan duluan. "Ya maaf deh, gue cuma mau kasih waktu lo sama Ghatsa buat selesein masalah kalian. Siapa tau kalo semotor bisa buat ngobrol," kelakar Dika. Dia nggak mau disalahkan, lagipula itu tadi emang rencananya dengan Ghatsa, jadi bukan salahnya saja.
"Ngobrol pala lo botak! Ogah banget gue ngobrol sama dia."
"Sabar sih, Ma, astaga. Duduk dulu coba," saran Dika. Ia menarik tubuh Dima menuju kursi di ruang tamu.
Kedua tangan Dima menyilang di depan dadanya. Menatap sepupunya dengan tatapan nyalang.
"Biasa aja dong, liatinnya. Kan, ini nggak sepenuhnya salah gue," bela Dika.
"Tapi tetep aja lo penyebab gue balik sama itu mantan gebetan. Lo tau sendiri kalo gue lagi mau jauhin dia!" omel Dima. Bahu gadis itu naik turun. Seluruh emosinya meluap, bahkan tanpa sadar benda bening mengalir membasahi pipinya. Belakangan ini dia mudah sekali menangis. Saat membahas Ghatsa terutama. Pada saat itu juga pasti seperti ada tangan yang mencengkram hatinya, membuat menjadi sesak.
Dika berpindah tempat duduk. Merapat ke dekat Dima. Ia dapat merasakan bajunya basah dan air mata Dima menembus kain itu. Dada bidangnya ikut basah. Dia ikut merasakan sakit yang Dima rasa.
Semenjak mamanya menikah lagi dengan papa Ana dan ia menjadi sepupu Dima, saat itu pula gadis yang tengah terisak ini membagikan apa yang pernah terjadi di masa silam atau pun apa yang dirasakannya. Makanya, saat seperti ini Dika amat paham keadaan Dima.
"Yaelah, dateng ke rumah orang cuma buat nangis," cibir seseorang yang baru memasuki rumah. Tentu saja langsung melihat ruang tamu dan mendapati dua manusia yang duduk di sana.
"Na, masuk rumah tuh salam kek, malah nyinyir gitu." Dika mengingatkan adik tirinya ini. Sungguh ia pandai menyembunyikan perasaannya pada gadis ini.
Ana tak menggubris, justru beralih topik. "Di depan itu motornya kak Ghatsa. Orangnya mana?"
"Sama mama di dapur," timpal Dika singkat.
Setelah mendapat jawaban itu, Ana langsung bergegas ke dapur sebab ingin menemui Ghatsa.
"Dik ...," panggil Dima dengan suara serak karena habis menangis.
"Hm." Dika menjawab gumaman sembari mengalihkan tatapan yang sebelumnya menatap kepergian Ana dengan nanar itu ke Dima.
"Lo sakit, Dik?"
"Nggak. Gue sehat." Dika menjeda ucapannya, lalu menyambungnya, "hati gue yang sakit."
Dima menarik tubuhnya dari pelukan Dika. "Harusnya Ana tau kalo lo suka sama dia, Dik. Minimal lo lega karena udah ngungkapin perasaan lo," sarannya.
Dika menggeleng seraya tersenyum miris. Ia tak berani untuk melakukan hal itu, lebih baik disimpan sendiri. Bukankah saat sudah tahu kalau cinta kita akan ditolak, lebih baik kita memendamnya saja? Siapa tahu Tuhan berbaik hati menyatukan dengan cara tak terduga. Begitu keyakinan Dika.
"Harusnya lo yang mulai buka hati buat Ghatsa, Ma. Nggak perlu trauma sama kejadian yang menimpa kakak lo, nggak semua cowok kayak gitu. Mungkin saat itu emang nasib kakak lo harus mendapat 'perlakuan' gitu," tutur Dika. Tangannya bergerak mengelus rambut Dima.
"Kakak gue sampe masuk RSJ gara-gara cowok bejat itu, Dik. Gue nggak mau, apalagi yang gue dapetin dari Ghatsa itu banyak kecewanya, rasanya susah kalo mau percaya tentang cinta lagi."
"Cinta tiap orang itu nggak sama. Mungkin awalnya emang kecewa, tapi siapa tau kalo dijalanin, malah akhirnya bahagia."
Hening. Dima larut dalam pikirannya, sementara Dika membiarkan gadis di sampingnya mengambil keputusan.
Tak ada yang menyadari bahwa di anak tangga kedua, seseorang berdiri dan mendengarkan semua percakapan tadi. Posisi Dika dan Dima membelakangi tangga, hingga tidak ada yang melihat Ana berdiri di sana. Sudut bibir kanan gadis itu terangkat, tatapannya berubah bengis. Lo bakal hancur, Dima.
*****
Halo!
Gimana part kali ini? Yuk, ramein kolom komentar.
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya, ya~
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro