Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TAK SAMA

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

~

Waktu selalu memiliki kendali. Entah untuk mengendalikan situasi atau kondisi hati.

*****

Dima dan Dika telah sampai di sebuah bangunan bertuliskan Rumah Sakit Jiwa pada sisi depan gedung. Keduanya tergesa-gesa menyusuri halaman Rumah Sakit itu. Dika masih bertanya-tanya apa yang terjadi, sebab seingatnya, sudah sebulan ia dan Dima tidak kemari karena disibukkan beberapa kegiatan rumah atau pun sekolah.

"Sus, gimana keadaannya?" tanya Dima ketika memasuki sebuah ruangan dan membuka pintu dengan keras, hingga menghasilkan suara berdebum kuat. Mata Dima membelalak, ketika melihat seorang wanita paruh baya berdiri dengan senyum terukir di bibir wanita itu. Baju yang dikenakan bukan seperti baju biasanya. Ia mengenakan celana jeans selutut dengan kaos lengan panjang berwarna cokelat.

"Kakak?" beo Dima.

Perempuan yang dipanggil kakak tadi, mendekat ke arah Dima dan segera menghambur memeluk adiknya. "Kakak rindu kamu," bisiknya.

"Kakak ...?"

"Setelah terapi rutin, saudari Gita telah sembuh dari depresi yang dialaminya. Kami telah memberikan obat untuk menjaga kestabilannya," ucap Dokter dari arah belakang Dima.

Dima melepas pelukan pada kakaknya. Ia memutar tubuhnya dan menatap Dokter tadi antusias. "Benar begitu, Dok?" Dima memastikan dan dijawab anggukan oleh dokter tersebut. Luapan bahagianya tidak bisa dideskripsikan lagi. Setelah kurang lebih, satu tahun kakaknya dirawat di sini, karena depresi, kini kakaknya telah sembuh.

Gita mengalami depresi karena setelah mengetahui bahwa ia hamil, pacarnya tidak mau bertanggung jawab dan justru menyuruhnya aborsi. Dengan tegas ia tolak keinginan itu. Hingga sembilan bulan, Gita lalui dengan sindiran pedas tetangga-tetangga dan sikap papanya yang ketus. Sampai pada akhirnya, ia melahirkan anaknya. Sayang, pada hari kedua setelah kelahirannya, bayinya meninggal dan hal itu menimbulkan shock berat baginya. Sampai akhirnya, Gita depresi, bahkan sering melakukan percobaan bunuh diri, lalu keluarga Dima memutuskan agar Gita dirawat di rumah sakit ini.

"Kamu yakin, kalau kita pulang nanti, kakak bakalan diterima sama papa dan mama?" Gita menatap ragu ke arah adiknya yang kini duduk di sebelahnya. Keduanya memilih menaiki taksi, sebab tadi Dima kemari bersama Dika, jadi ia memilih memesan taksi online. Sementara, Dika membuntuti keduanya menaiki motor.

"Kakak nggak usah khawatir. Sebenarnya papa dan mama juga rindu ke kakak, cuma mereka nggak berani jenguk, terlalu nggak tega buat lihat kondisi kakak." Dima menenangkan kakaknya. Ia memberi pelukan hangat pada perempuan yang ia nantikan kesembuhannya ini.

"Terima kasih, Ma." Gita membalas pelukan adiknya. Cukup lama ia dirawat dan beruntungnya terapi ia jalani dengan rutin dan lancar, apalagi beberapa bulan belakangan ini. Sehingga, dirinya bisa kembali pulih lagi.

Dima membuka pintu rumahnya. Dika dan kakaknya mengikuti di belakangnya. "Assalammualaikum," salamnya. Mama sedang duduk di ruang tamu dengan menonton televisi, itu hal pertama yang ia lihat ketika memasuki rumah. "Ma, lihat siapa yang dateng."

"Gita!" seru mama Dima. Perempuan itu segera menghampiri anak gadisnya yang tersenyum kikuk di dekat pintu. "Kamu udah sembuh, Nak?"

"Udah, Ma." Gita menyalami tangan mamanya.

Nita segera menubruk tubuh anak sulungnya. Melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu. Terlebih rindu ibu kepada anak, tidak ada yang menandingi beratnya. "Syukurlah. Kita makan dulu, ya. Papa pulang seminggu lagi," ajak Nita. Kemudian, ia membawa putrinya ke dapur dan tak lupa menuruh Dima meletakkan tas yang dibawa Gita ke kamarnya.

Dima bahagia. Ia tahu, setiap kejadian pasti memiliki alasan. Jika kehilangan, di alur selanjutnya akan disajikan pertemuan yang lebih menyenangkan. Tidak usah meratapi dengan sedu sedan. Semangat bisa didapatkan dari berbagai kemungkinan. Bahkan, yang paling tidak memungkinkan.

*****

Dima memilih buku karya Tere Liye untuk ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Ia ingin membaca buku ini di taman, mencari suasana baru selain perpustakaan sebagai tempat bacaan.

Bangku yang kemarin ia duduki dengan Ghatsa, kini dipilih lagi untuk membaca buku yang ia bawa. Tempat ini sejuk, ada pohon kemuning yang tumbuh cukup tinggi dan membuat tempat ini menjadi teduh.

"Boleh duduk di sini?"

Suara itu menhentikan kegiatan Dima membaca. Ia menoleh ke samping kanan, sumber suara itu berada. Di sana, ia dapati Saka Purnama, ketua ekskul jurnalis tahun lalu. Ya, Saka satu angkatan dengannya dan saat ini tentunya sudah berhenti menjadi ketua.

"Duduk aja. Ini tempat umum, siapa aja boleh duduk," kata Dima. Kemudian, buku yang tadi ditutupnya, kembali dibuka untuk lanjut membaca.

"Gue nggak ganggu lo, kan?" Saka begitu sungkan. Bahkan, ia duduk di ujung bangku itu.

"Kalo lo nanya terus, itu baru ngeganggu," balas Dima. Nada bicaranya cukup ketus. Mood bacanya sedang baik, kalau diganggu terus, bisa-bisa ia akan kehilangan minat baca lagi.

"Oh, oke. Gue nggak ganggu." Saka menimpali gugup. Jujur saja, duduk di sebelah gadis yang disukainya sejak kelas dua itu membuat hatinya deg-degan. Untuk mengurangi rasa itu, dia mulai memainkan kamera yang tadis sengaja ia bawa.

Dima tadinya ingin fokus membaca, tapi mendengar suara lensa kamera berbunyi ketika dipakai mengambil gambar, ia menutup kembali buku fiksi yang sejak tadi menemaninya. Bukan karena kesal, justru dirinya tertarik pada kegiatan yang dilakukan Saka. "Lo ... suka fotografi?"

Saka menoleh mendengar pertanyaan dari arah sebelah kirinya. "I ... iya," jawabnya dengan nada sedikit gagap, "lo mau gue ajarin?"

Dima mengangguk antusias. Sejak dulu, ia ingin belajar fotografi, karena ia sendiri suka alam apalagi mengabadikannya. "Mau, dong!"

Keduanya terus belajar memotret sampai tidak menyadari perputaran waktu. Tak menyadari kalau di ujung koridor ada yang tengah mengepalkan kedua tangannya, menahan amarah. Tatapannya setajam elang, air mukanya menegang, auranya berubah garang.

"Kak Ghatsa!" Ana menepuk lengan kiri Ghatsa begitu ia sampai di sebelah pria itu.

Gerakan itu membuat Ghatsa menoleh dan melupakan kejadian menyesakkan yang baru ia saksikan. "Ada apa, Na?" Ia berusaha selembut mungkin bertanya pada Ana. Ini keputusannya, jika Dima menjauh, maka Ghatsa harus rela. Lalu, gadis di sampingnya ini tidak mungkin ia buat kecewa, meskipun sejujurnya Ghatsa menyimpan banyak tekanan, biarlah itu jadi risiko untuknya sendiri.

"Antar Ana ke kelas," rengek Ana. Setelah kembali dari London, kemudian dipertemukan kembali dengan Ghatsa, maka Ana tidak akan melepaskan orang yang dicintainya, lagi.

Ghatsa mengangguk kaku, ia mengamit jemari Ana. "Yuk!" Sengaja ia memilih jalan dekat taman, ingin melihat respons Dima bagaimana. Sayangnya, yang diharapkannya tak terwujud. Dima bahkan sibuk berkutat dengan kamera milik Saka. Ghatsa melangkah lemas untuk meneruskan jalannya menuju kelas Ana. Semuanya sudah tak sama dan itu risiko dari keputusannya.

Sementara Dima yang duduk di bangku itu mulai meletakkan kamera milik Saka ke bangku sisi kanannya. Mendadak dadanya terasa kekurangan oksigen. Niatnya tadi akan memotret tanaman pucuk merah dekat koridor, tetapi siapa sangka, yang dilihatnya justru dua remaja tengah bercengkrama.

"Lo kenapa?"

Suara Saka membuyarkan lamunannya. Mengusir rasa sakit yang sejak tadi menikam hatinya. "Gue nggak papa, kok," jawab Dima dengan seulas senyum tipis.

"Gue nggak tau kenapa kalian para cewek suka banget sama jawaban nggak papa untuk pertanyaan kenapa. Gue nggak tau kenapa kalian para cewek suka membohongi diri kalian sendiri. Dan gue nggak tau, kenapa kami para cowok malah menaruh perhatian lebih buat sikap kalian yang kayak gitu. Aneh, ya," tutur Saka. Ia menatap hamparan langit biru yang kini telah ditambah hiasan awan putih.

"Kadang emang nggak ada yang bisa dilakuin cewek selain bilang nggak papa dan membohongi diri sendiri," timpal Dima. Ia turut memandangi langit, seperti Saka.

"Ya. Gue tau. Dan itu alasan terbesar cowok pengen jaga cewek. Kayak gue." Saka merasa aneh pada ucapannya. Menurutnya, ini terlalu frontal.

"Lo mau jaga siapa?"

"Lo." Saka mulai menatap ke samping, tempat Dima duduk. Ternyata gadis itu juga menatap ke arahnya. Saka benar-benar merasakan keanehan pada dirinya. Sepertinya ia sudah terlalu nyaman berkomunikasi dengan Dima, padahal baru sebentar. Jadi, sekarang untuk mengungkapkan perasaannya pun, Saka tidak segugup tadi.

"Maksud lo apa, Ka?"

Saka menatap dalam kedua bola mata Dima. Sorot matanya ia buat seteduh mungkin, memberi ketenangan bagi siapa pun yang menatapnya. "Gue suka sama lo, Ma."

*****

Jangan lupa pencet tombol bintang di pojok kiri, ya!😁
Terima kasih sudah membaca❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro