Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SORE KEDUA

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

~
Langit tahu kapan ia harus menurunkan hujan dan membuat dua insan mengulang kenangan.

*****

Tetes peluh mulai membasahi pelipis Dima. Ia menghela napas, lalu mencuci tangannya. Hukuman telah selesai ia jalankan. Dengan segera, ia meninggalkan toilet, lalu berjalan ke ruang guru untuk mengambil tasnya yang ditahan oleh Bu Wati sebagai jaminan, agar ia melaksanakan hukuman.

"Udah selesai, Ti?"

Dima tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang berjalan di belakangnya untuk dirinya. Kenal betul dan sudah pasti bahwa pelakunya adalah dia yang belakangan ini memenuhi pikiran Dima kembali.

"Ti, jawablah," mohon Ghatsa. Pria itu telah menyejajarkan langkahnya dengan Dima.

Dima masih bergeming. Tenaganya telah terkuras, karena membersihkan toilet tadi. Jadi, sekarang ia tidak mau membuat tenaganya semakin sedikit hanya karena meladeni Ghatsa.

"Ti, gue mau ngeramal. Bentar lagi kita ada di satu tempat yang sama." Ghatsa masih berusaha mencari topik supaya bisa mengobrol dengan gadis di sampingnya ini.

Ya iyalah, Bego! Mau ke ruang guru, ya jelas gue sama lo bakal satu tempat yang sama! batin Dima. Malas sekali membalas ucapan Ghatsa yang sudah jelas jawabannya.

"Ti, gue kangen lo, nih. Pulang ini, jalan yuk!" ajak Ghatsa sambil mengamit tangan kanan Dima.

Dima menggeram kesal, lalu menghentikan langkahnya dan menyentakkan tangan Ghatsa yang menggenggam jemarinya. "LO TUH KATANYA MAU JAUHIN GUE. SEKARANG KENAPA DEKETIN GUE LAGI, SIH, GHAT? LO PIKIR HATI GUE MAINAN? LO PIKIR BISA MASUK KE HIDUP GUE LAGI SETELAH APA YANG LO LAKUIN KE GUE?" bentak Dima. Ia terlampau kesal. Biar saja ia teriak-teriak begini, toh saat ini sekolah sudah sepi.

Ghatsa mundur satu langkah. Tidak menyangka respons Dima akan seperti ini. Apakah ia sangat keterlaluan? Apakah ia terlalu mempermainkan Dima? Tapi, bukan begitu niat Ghatsa. Cowok itu masih memandang Dima menyetabilkan napas yang naik turun karena terlalu emosi. Setelah dilihat Dima sedikit tenang, Ghatsa merengkuh tubuh gadis yang tingginya hanya sebatas bawah telinganya itu.

"Berhenti permainin hati gue, Ghat." Dima mengucapkan dengan nada bergetar. Tak lama kemudian, terdengar isakan dari bibirnya.

Ghatsa mengelus rambut Dima. "Asal lo tau, gue nggak pernah sekali pun berniat permainin hati lo, Ti. Gue emang slengean, sering gombal sana-sini, tapi perasaan gue nggak pernah main-main. Gue serius sayang sama lo," tutur Ghatsa. Cowok itu melepaskan pelukan yang telah mengendur. Tangannya bergerak menghapus jejak air mata yang ada di pipi Dima.

Dima merasakan jantungnya bekerja lebih cepat. Bibirnya sangat tidak tahan untuk tak tersenyum. Alhasil, setelah ditahan sekuat tenaga, bibirnya tetap membentuk sabit.

Saat semua jejak air mata di wajah Dima sudah banyak berkurang, Ghatsa menatap Dima dengan pandangan yang menentramkan. "Gue nggak bisa lagi berhenti gangguin lo, karena dengan hal itu bisa bikin gue seneng. Gue nggak bisa lagi bohongin diri gue kalo sebenernya gue butuh lo, bukan Ana. Bantu gue, Ti. Tolong gue buat kasih pengertian ke Ana kalo yang gue mau itu lo, bukan dia," pinta Ghatsa.

"Ghat, kita omongin ini nanti aja. Gue mau ambil tas dulu, keburu Bu Wati pulang." Dima meneruskan jalannya menuju ruang guru. Ghatsa pun mengikuti.

Langit mulai gelap. Bukan karena dewi malam akan menyapa, tetapi karena sang tirta ingin melepas rindu dengan bumi. Mungkin, karena awan tak bisa menahan, rintik air pun mulai menetes, jatuh ke bumi. Semakin lama, rintik itu berubah menjadi tetesan yang cukup deras.

Dua insan yang sempat beradu mulut tadi, harus duduk di depan gedung Koperasi Siswa yang kebetulan menyediakan sebuah kursi panjang. Dima dan Ghatsa menatap hujan yang bukannya semakin reda, justru semakin deras. Hawa dingin pun mulai dirasakan keduanya. Ramalan Ghatsa terjadi, keduanya ada di tempat yang sama.

"Ti, dingin ya?"

"Selama lo masih normal, pasti lo ngerasain dingin," ketus Dima menyahuti pertanyaan kurang berfaedah dari Ghatsa.

Ghatsa menggaruk tengkuknya sambil merutuki dalam hati pertanyaannya yang snagat tidak berbobot tadi. Tapi, mau gimana lagi? Memang kapasitas otak Ghatsa kan segitu, jadi bisanya nanya begitu. "Masih inget awal kita ketemu pas SMP nggak, Ti? Waktu itu lagi hujan juga dan kita kejebak berdua." Ghatsa mengalihkan topik, mencari bahan pembicaraan yang sekiranya bisa mendapat jawaban baik dari Dima. Ya, minimal tidak ketus dan singkat seperti biasanya.

"Inget."

Ternyata usaha Ghatsa gagal. Dima hanya memberikan satu kata sebagai jawaban. Ia kembali memutar otak untuk mencari sepotong kenangan di masa putih biru dengan hujan menjadi saksi bisu pertemuan keduanya, agar bisa dijadikan bahan obrolan. "Waktu itu lo cupu banget, Ti. Masih dikuncir dua. Tipe kutu buku banget, deh. Tapi, gue malah tertarik," ujar Ghatsa bermaksud menarik ingatan Dima ke masa yang tengah diingatnya.

Dima masih memasang wajah datar, walaupun pikirannya juga ikut melayang ke masa yang diceritakan Ghatsa.

"Dan sebenernya gue seneng banget bisa deket sama lo waktu itu. Sayang, setelah kejadian di kafe hari itu, lo bener-bener ilang dari hidup gue."

Ghatsa terus menceritakan kenangan keduanya semasa dulu. Tak peduli Dima menyimak atau tidak, cowok itu tetap bercerita sambil menerawang jauh ke depan.

"Gue nggak tau salah apa. Tapi, sejak hari itu, gue ngerasa ada yang hilang dari hidup gue, Ti. Dan waktu masuk sini, gue seneng banget bisa satu sekolahan sama lo. Cuma lo banyak berubah. Bukan Dima yang dulu. Sekarang jadi lebih jutek ke cowok dan udah nggak dikuncir dua lagi." Ghatsa terkekeh mengingat ketika awal masuk sekolah ini, ia berusaha mencari informasi tentang Dima.

"Lo mata-matain gue?" Dima akhirnya menyahut. Soalnya dari cerita Ghatsa tadi, bisa disimpulkan kalau cowok itu selama ini mengintainya.

Ghatsa tertawa pelan. "Ya abisnya gue rindu lo, Ti. Makanya, gue cari informasi tentang lo. Sayangnya, kita nggak satu kelas waktu kelas sepuluh sama sebelas. Dan di kelas dua belas, beruntungnya kita sekelas, jadi gue ada alasan buat deket sama lo," balas Ghatsa sambil cengar-cengir.

"Tukang modus!"

"Julukan baru buat gue ya, Ti? Wah, bangga deh gue. Yes, gue tukang modus!"

"Nggak waras!"

"Gue waras, Ti. Seratus persen warasnya."

"Nggak ada orang yang seneng dijulukin tukang modus, nah lo malah seneng kayak abis menang kuis!"

"Karena yang ngasih julukan lo, jadi walaupun jelek tetap terasa istimewa." Ghatsa tertawa saat melihat Dima bungkam dan menjadi salah tingkah. Ini yang paling disukai Ghatsa dari Dima, sikap salah tingkah dibalik sikap cewek itu yang galak.

"Gue mau pulang," kata Dima. Ia bangkit dari kursi dan mengusap bagian belakang roknya karena sedikit lecek.

Ghatsa mencekal tangan Dima. "Gue anter, ya," tawar Ghatsa.

"Nggak usah. Gue nggak mau lo kena masalah. Gue duluan." Dima melepaskan genggaman Ghatsa di pergelangan tangannya, lalu berjalan menuju luar sekolah, karena hujan sudah reda dan hanya menyisakan rintik kecil saja.

Sore keduanya bersama Ghatsa ditemani hujan dan sepotong kenangan yang diceritakan cowok itu. Tak dapat dipungkiri bahwa hati Dima senang sekali saat Ghatsa mengingat begitu bagus tentang kenangan mereka. Namun, ketika cowok itu menyebut kejadian di kafe, sontak membuat Dima merasakan perih itu kembali. Di hari itu terjadi perubahan besar di hidup Dima, hingga ia menjadi seperti sekarang ini. Ya, terkadang sedikit ucapan akan terasa sangat sensitif ketika menyangkut kejadian yang tak diinginkan di masa lalu.

Tentang permintaan Ghatsa yang mengharuskan Dima menolong cowok itu untuk menjelaskan kepada Ana, kalau Ghatsa tidak bisa terus memaksakan hatinya menyukai Ana, itu masih Dima pertimbangkan. Terlalu berisiko jika dilakukan. Namun, jika tidak dilakukan juga memiliki efek lain. Contohnya, membuat hatinya sesak.

Di sepanjang jalan menuju rumah dengan ojek online yang dinaikinya, Dima terus memikirkan hal itu. Hingga ia sampai di halaman rumah dan melihat Kakaknya sedang ngobrol dengan Ana. Keduanya tampak senang. Melihat raut berseri kakaknya yang telah kembali, Dima menemukan jawaban dari hal yang memenuhi pikirannya tadi. "Maaf, Ghat."

*****

Halohaa~
Gimana part kali ini? Yuk, ramein komentar.
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri ya~
Terima kasih❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro