Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SOLUSI. 2

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

*****

"OMAIGAT! ITU LAMPU HIJAU!"

Tangan Dima langsung membekap mulut tak tahu diri, dengan asal ceplosnya si pemilik mengungkapkan hal tadi dengan suara mirip toak. Padahal, ini sedang di kelas. Lihat saja, beberapa pasang mata yang sudah datang pagi ini seketika melihat ke arah mereka. Sejurus kemudian, kembali pada aktivitasnya masing-masing.

"Lo tuh direm dong, kalo ngomong!" geram Dima. Seandainya ada alat yang dapat mengatur volume suara seseorang, ia akan membelikannya untuk Ila, supaya tidak asal ngomong!

"Sorry, hehe." Ila mengeluarkan cengiran lebarnya. Kemudian menyambung ucapannya, "berarti itu lo harus perjuangin Ghatsa, Ma!"

"Males!"

"Iih, harus!"

"Kenapa, sih?"

"Karena dia sebenernya perhatian sama lo," ungkap Ila, "kalo enggak, ngapain coba dia ngasih jas hujan ke lo? Itu tanda kalo dia nggak mau lo kenapa-napa dan bukti kalo dia masih perhatian!"

"Ya bisa aja jas hujan itu dari cowok lain yang ada di kaf--"

"Nggak usah ngeyel, ya, Ma! Mana mungkin cowok nggak kenal mau minjemin? Mending dipake buat diri sendiri!"

Kali ini Dima bungkam. Sebenarnya, hatinya berbunga mengetahui fakta --hasil kesimpulannya dan Ila sendiri-- bahwa benda tersebut dari Ghatsa, tapi sakit hatinya masih terasa kala cowok itu memilih bertemu Ana daripada dirinya.

"Gue tau perasaan lo. Mungkin bimbang dan sakit. Lo bimbang karena masih nggak tau apa tujuan perjuangin Ghatsa. Tapi, Ma, gue yakin, di hati kecil lo itu tau tujuan sebenernya. Lo cinta sama dia.

"Di sisi lain, hati lo sakit ngeliat perlakuan Ghatsa ke lo belakangan ini. Tapi, Ma, seharusnya itu cukup jadi alesan lo buat perjuangin dia. Dia terlalu lelah, berjuang nggak lo anggep selama ini. Coba sekarang lo jadi dia, rasain susahnya perjuangin orang yang hatinya beku. Gue tau, itu susah, sakit, tapi apa salahnya dicoba?" Ila mengakhiri kalimatnya dengan senyuman tulus juga usapan di bahu Dima.

"Salahnya adalah gue nikung adik sepupu gue sendiri."

Helaan napas berat Ila embuskan. Pasti titik terlemah Dima adalah keluarganya, padahal kalau dipikir-pikir, Ana itu sudah lebih banyak menyakiti daripada dirinya. Dima terlalu memikirkan perasaan orang lain, walaupun hatinya tengah porak poranda.

Percakapan itu terhenti kala murid-murid berbondong-bondong masuk.  Tak berselang lama, bel pun berbunyi. Sampai seorang guru yang menggunakan baju batik dan rok span hitam memasuki kelas itu. Lipstik merah tidak pernah terlewatkan, juga rambut yang senantiasa disanggul menjadi ciri khas guru itu.

"Selamat pagi, Anak-anak." Bu Menur --nama guru tadi-- mulai menyapa murid-muridnya, sembari matanya meneliti setiap penampilan murid. Dalam kelasnya, semua harus tertib, tidak ada yang bajunya dikeluarkan, rambut cowok terlalu panjang, dan sebagainya. Setelah memastikan muridnya rapi, guru tersebut mulai menuliskan sesuatu di papan tulis.

TUGAS UJIAN PRAKTEK SENI BUDAYA :
-MENYAJIKAN SEBUAH PERTUNJUKAN SENI SECARA BERKELOMPOK (tari, band, drama atau sejenisnya)
-MEMBUAT KARYA SENI PER INDIVIDU (lukisan, kerajinan tangan, atau sejenisnya)

Selepas menuliskan hal tersebut, guru yang mengampu pelajaran seni budaya itu mulai mempersilakan para murid untuk bertanya.

"Bu, kelompoknya cari sendiri?"

"Jangan, Bu, ditentuin aja, nanti pada pilih-pilih!"

"Enak cari sendiri, Bu, nanti kalo dipilihin, ada yang bentrok!"

Suara riuh memenuhi ruang kelas XII IPA 3. Namun, sesaat kemudian semua senyap ketika Bu Menur mengebrak meja dan melayangkan tatapan tajam. "Kelompoknya urut absen. Karena jumlah siswa kelas ini 32, satu kelompok terdiri dari 4 murid," katanya, tegas dan tak terbantahkan.

Sejurus dengan pertanyaan itu, Dima mendesah di tempatnya. Kelompok urut absen apalagi satu kelompok empat orang, hal yang paling dihindarinya. Pasalnya dengan begitu anggota kelompoknya adalah Rinda, Rifky, dan juga ... Ghatsa.

"Kayaknya semesta lagi mau maksa lo buat perjuangin Ghatsa," bisik Ila yang lantas diam ketika diberikan tatapan kesal oleh Dima.

***

Malam itu, kamar Dima tengah dipenuhi kertas-kertas yang berbentuk gumpalan, berserakan seolah menyatakan bahwa pemiliknya tengah pusing habis-habisan. Entah ini sudah kertas ke berapa yang dicoretinya, namun terus saja ia buang kembali.

Astaga ide gue kok mampet banget, sih, dumelnya dalam hati. Entah kenapa guru Bahasa Indonesianya memberi tugas untuk membuat puisi. Masalahnya, otaknya tidak bisa fokus belakangan ini. Selain itu, dia sama sekali tidak pernah membuat jenis karya sastra yang satu itu.

Ini tugas rumah dua hari yang lalu dan baru ia kerjakan sekarang, lalu besok harus dikumpulkan. Astaga, nasib kelas dua belas, ratapnya dalam hati.

Ya, sebagai murid yang sadar bahwa ia sedang berada dalam masa akhir sekolah, sudah jelas deretan ujian dan tugas menghampiri. Mulai dari Ujian Praktik hingga Ujian Nasional. Ujian itu masih sekitar tiga bulan lagi, bahkan masih akan ada Ujian Semester satu nanti, hanya saja memang para guru memberi tugas itu sekarang agar ada persiapan seperti Seni Budaya tadi. Ah, tapi terasa cepat untuk dirinya yang sudah frustasi duluan sebelum ujian.

Ingatannya masih segar jika beberapa waktu lalu ia baru naik kelas, sekarang sudah diberi tahu tentang berbagai jenis ujian. Gadis itu memijat pangkal hidungnya, berusaha meredakan rasa pusingnya.

Suara pintu yang diketuk semakin sukses menghancurkan imajinasinya. Mungkin alam sedang bersekutu untuk membuatnya dihukum oleh guru Bahasa Indonesia esok hari. Lagi, ia hanya bisa mendesah dan mengembuskan napas kasar.

"Ada apa, Kak?" tanyanya begitu melihat seseorang yang berdiri di depan pintu kamarnya adalah kakaknya.

"Boleh masuk?"

Dima hanya mengangguk lemah. Sebelum membuka pintu secara sempurna, ia terlebih dahulu memperingatkan kakaknya, "Jangan kaget sama kondisi kamar Dima, ya."

Baru saja Gita akan mengangguk, tapi pemandangan di depannya saat adiknya membuka pintu kamar sepenuhnya sontak membuat ia terperangah. "Allahuakbar!"

"Allah MahaBesar, Kak," timpal Dima jenaka. Sudah ia sangka kalau kakaknya akan kaget.

"Ini kamar abis kena puting beliung apa gimana, sih, Dek? Berantakan banget!" omel Gita sembari memunguti kertas yang berserakan di sana-sini.

"Cuma abis kena badai, Kak. Badai kegalauan," canda Dima, lantas mengikuti Gita mengambili gumpalan kertas yang dibuangnya sembarangan karena ini juga ulahnya.

Sementara Gita yang mendengar jawaban adiknya itu hanya menggelengkan kepala sembari mencibir, "Dasar bucin!"

Usai membereskan kekacauan yang terjadi, keduanya berbaring di atas kasur. Mata Dima menjadikan bagian atas kamar sebagai objek penglihatannya, sedangkan Gita menatap adiknya dari samping.

Udara malam itu cukup dingin. Meskipun pintu balkon ditutup, hawa dingin masih terasa di dalam kamar, dengan intensitas yang berbeda tentunya. Dikarenakan suasana seperti ini, jalanan depan rumah Dima amat sepi. Barangkali orang-orang yang ingin keluar, menahan keinginannya, memilih meringkuk di atas kasur agar tidak kedinginan.

"Papa udah kasih kamu izin?"

Mendengar pertanyaan yang menjurus ke berbagai hal itu, Dima tersentak. "Izin apa?"

"Izin perjuangin orang yang kamu sayang."

Kening Dima berlipat menandakan semakin banyak hal yang dipikirkannya. Paling utama adalah dari mana kakaknya tahu tentang hal itu?

"Semenjak kamu pulang malam-malam dengan kondisi basah kuyup, Kakak langsung bilang ke Papa buat ngawasin kamu. Mungkin kamu nggak nyaman, tapi itu supaya kita mudah mantau kamu. Kakak juga jelasin kalau Papa nggak seharusnya trauma, soalnya Ghatsa sama cowok di masa lalu Kakak itu beda.

"Awalnya Papa nggak percaya, terus pas Ghatsa jemput kamu pagi-pagi, Papa setuju sama Kakak, Ghatsa beda dari masa lalu Kakak. Dan mulai hari itu, kamu dimata-matai. Kayaknya kemarin Papa ngomong sama kamu, pasti ngasih izin, ya?"

Tanpa sadar kepala Dima mengangguk. Diam-diam keluarganya sangat peduli. Eh? Ya, pastilah! Mana ada keluarga yang tidak peduli dengan anggota keluarga lain? Meskipun dirinya diam, nyatanya keluarganya tetap tahu masalah ini.

"Tapi Dima masih ragu, Kak. Ghatsa itu kayak bunglon, sesaat bisa perhatian banget, terus berubah jadi dingin. Belakangan ini paling parah, dia dingin ke Dima, tapi deket sama Ana. Dia tuh nggak ngasih tau dengan jelas perasaannya gimana, sampai aku merasa nggak ada gunanya perjuangin dia."

Mendengar itu, Gita menggeleng keras kemudian menyahuti perkataan adiknya, "Dia layak diperjuangkan, Ma. Lebih baik kamu perjuangkan sebelum waktunya habis. Kalian sudah kelas tiga SMA, nggak lama lagi lulus dan pergi kejar cita-cita masing-masing. Sebelum kesempatan kamu hangus, lebih baik perjuangin dan tanyain perasaan dia ke kamu itu gimana."

Keadaan kamar menjadi senyap. Dima mengelanakan pikirannya ke kejadian-kejadian sebelumnya. Ghatsa sudah berjuang banyak untuknya, menemaninya saat ia jatuh. Pasti cowok itu memiliki alasan untuk perlakuannya kepada Dima belakangan ini.

Ia menghela napas kasar. Tugas Bahasa Indonesia sama sekali tidak lagi menarik atau memang tidak menarik sejak tadi. Setelah membicarakan hal ini, fokus Dima jadi beralih.

"Kamu tidur, gih. Kakak juga mau istirahat. Selamat malam."

Gita keluar dari kamar, meninggalkan Dima kembali dalam pikirannya. Menentukan sebuah keputusan yang bisa saja mengubah alur hidupnya.

*****

Halo gais~
Ada yang kangen Ghatsa? Cie Ghatsa nggak nongol lagi :v lagi diumpetin dia soalnya😂
Btw, maaf baru update lagi. Emak baru selesai UN gais. Iya-iya tau, kok, kalian nggak nanya😅
Gimana part kali ini? Yuk, ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya iya~
Terima kasih sudah membaca❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro