Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SOLUSI.1

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

*****

Sinar keemasan matahari berangsur meredup. Bukan karena hari akan usai, tetapi awan-awan pekat yang berarakan menutup cahayanya. Lamunan Dima tersadar karena perubahan keadaan itu. Ia segera beranjak dari taman yang sejak tadi didiaminya.

Setelah menyambar cardigan cokelat di kamar, ia beralih ke dapur. Biasanya Mamanya menggunakan motor matic untuk ke pasar, jadi kuncinya pasti diletakkan di atas meja makan agar lebih mudah mencari.

"Cari apa sih, Ma?" tanya Nita yang melihat putrinya mencari-cari sesuatu.

"Kunci motor Mama mana?"

"Dipake Kakak, kayaknya baru pulang, tuh, di depan. Kamu mau ke mana?"

Alih-alih menjawab pertanyaan mamanya, Dima justru berpamitan pada perempuan paruh baya itu, "Mau ada urusan, Ma. Aku pamit, ya!"

Sementara Gita baru saja masuk rumah, sudah dikagetkan dengan kehadiran adiknya yang tiba-tiba, meminta kunci motor.

"Mau ke mana sih, Ma?" Pertanyaan yang sama seperti tadi, namun Dima juga tak menjawab pasti.

"Udah pokoknya ada, Kak. Aku berangkat, ya."

"Eh, itu mau hujan, Kakak ambilin mantel dulu, ya!"

Dima menggeleng kuat. "Nggak usah. Nanti kelamaan. Udah, ya. Assalammualaikum." Gadis itu segera berlari menuju motor setelah mencium tangan kakaknya.

Niatnya tadi juga ingin pamit pada Papanya, tapi tidak menemukan di sudut rumah mana pun, alhasil cukup kakak dan mamanya saja. Diwakilkan, anggap saja begitu.

Motor matic yang dikendarai Dima telah terparkir di sebuah halaman rumah, yang pagarnya tak terkunci sehingga ia bisa langsung masuk. Selepas mematikan mesin kendaraan beroda dua itu, dia segera mencari orang yang ingin ditemuinya.

Pintu bercat cokelat itu menampakkan akan terbuka, setelah diketuk beberapa kali. Dima mendesah lega begitu melihat yang membukakan pintu untuknya, adalah orang yang ingin ditemuinya.

"Ada apa, Ma? Tumben ke sini nggak ngabarin?"

Gadis yang hanya mengenakan celana jeans selutus dan kaos bermotif zig-zag hitam-putih yang dibalut cardigan itu menyengir lebar. "Mau curhat, Dik." jawabnya enteng.

"Astaga," desah Dika begitu mengetahui maksud sepupunya datang kemari, saat langit mendung. "Ayo masuk!"

Kedua remaja itu memilih di ruang tamu saja untuk tempat curhat sebab tidak memungkinkan di taman, cuaca tidak mendukung, rintik hujan baru saja turun.

"Kenapa, sih? Kayaknya lo semangat banget?"

Dika memilih buka suara dan banyak bicara, soalnya Dima pasti kalau ada masalah, perlu solusi dan nggak mungkin dirinya hemat bicara.

"Gue bingung, Dik. Papa tau semua soal Ghatsa, dia nyuruh gue perjuangin apa yang sepatutnya diperjuangin." Gadis yang kini duduk di sofa sebelah Dika menceritakan garis besar masalahnya.

"Lo yakin bokap lo bilang gitu?"

"Iya yakin!" Untuk meyakinkan Dika, maka Dima menceritakan kejadian di taman tadi. Biar lebih jelas dan Dika tidak ragu.

"Gila," komentar Dika begitu Dima selesai cerita. Dia jelas mana tahu kalau tingkat ke-overprotective-annya sebesar itu. Sampai memata-matai anaknya sendiri!

"Heh, lo ngatain bokap gue?!"

"Eh, bu-bukan, Ma. Maksudnya gila aja bisa sedramatis itu."

"Ah ... Dika, seriusan gue bingung." Dima mengacak rambutnya frustasi. Dia, tuh, ke sini mau minta solusi atau minimal pendapatlah dari Dika, bukan malah komentarin papanya!

Sekarang Dika mulai ikut memikirkan solusi yang tepat bafi Dima. Ia paham, dalam pikiran gadis itu pasti berkecamuk banyak keinginan. "Lo coba aja perjuangin."

Sudah ia duga, Dika akan memberi solusi ini. "Gimana caranya?"

"Lo nggak tau?" beo Dika. Mendapat respons gelengan, Dika berdecak dalam hati. Astaga, sepupunya ini ....

"Lo, sih, terlalu sering diperjuangin, sampe nggak tau cara perjuangin," kata Dika diiringi kekehan.

Sesaat itu juga bibir Dima mengerucut. Mau mendebat, tapi yang dibilang Dika benar. Nggak mendebat, tapi kok kayaknya nancep banget di hati kata-katanya!

"Yaudah sekarang gimana???"

"Lo coba hubungin dia, ajak ketemu, terus omongin berdua," saran Dika. Kiranya hal itu yang baik dilakukan untuk saat ini.

Mengikuti saran itu, tangan Dima pun bergerak lincah di atas ponsel dengan untuk mencari nomer Ghatsa dan mengirimi pesan, seperti saran Dika.

Ghatsa

Bisa ketemu?

Mata Dima bergerak menyapu seluruh penjuru ruangan. Tangannya meremas handphone yang ia genggam.

Lama banget, sih, balesnya, decaknya dalam hati. Sebenarnya alasan terbesar Dima bingung mau memperjuangkan Ghatsa atau tidak, adalah karena dia sendiri bingung, apa alasan ia memperjuangkan cowok itu? Bukankah lebih baik memperjuangkan nilainya, mengingat dirinya sudah memasuki masa akhir sekolah? Tapi, kalau kepikiran terus begini, gimana bisa perjuangin nilai?!

"Heh, Ma! Ponsel lo getar, tuh."

Sesaat itu tangan Dima bergerak spontan, melihat penyebab ponselnya bergetar.

Ghatsa

Gak bisa. Gue ada urusan. Sorry.

Helaan napas berat diembuskan dari hidung Dima. Pertanda yang tidak baik tentunya, itu kesimpulan Dika.

"Dia nggak bisa, Dik."

Pernyataan itu membuat Dika tersentak. Padahal tadi ia sudah membayangkan ekspresi Ghatsa yang mendapat pesan dari Dima duluan, tapi yang terjadi ini malah di luar ekspektasinya.

Ketika keduanya terdiam, suara sepatu beradu dengan lantai membuat dua pasang mata itu menoleh ke sumber suara. Ana tengah berjalan menuruni tangga. Dika langsung berwaspada, khawatir adik tirinya akan berbuat macam-macam.

"Gue mau jalan sama Kak Ghatsa. Pamitin ke Mama, buru-buru soalnya."

Kalimat singkat dan jelas itu seketika meruntuhkan hati Dima. Baru saja Ghatsa bilang sibuk, jadi ini yang dimaksud kesibukannya?

Dika menepuk bahu Dima beberapa kali. Tentu saja ia memahami keadaan hati Dima. Hati cewek mana, sih, yang kuat dibohongin? "Ma ...." Panggilan itu sengaja digantung olehnya.

"Gue balik, ya. Makasih waktunya," ucap Dima, bangkit dari duduknya.

"Gue ambilin mantel, ya? Kayaknya masih hujan," tawar Dika. Kondisi di luar masih hujan, meskipun tidak sederas sebelumnya.

Kepala Dima menggeleng lemah. Semangat yang tadi ada, waktu akan cerita, mendadak hilang. "Nggak usah, cuma gerimis, kok."

Nekat. Gadis itu menerobos air yang turun dari langit itu, intensitasnya sudah mulai kecil-kecil.

***

Di depan sebuah toko yang telah tutup,  seorang gadis tengah memeluk badannya sendiri, berusaha mengurangi rasa dingin yang menghinggapi.

Bagus, Dima. Dua tawaran jas hujan lo tolak, terus sekarang kalo gini, siapa yang tepot? dumelnya dalam hati. Ia juga tidak paham, kenapa langit setega ini padanya. Meskipun, rumahnya dengan rumah Dika hanya berjarak beberapa kompleks, kalau hujannya sederas saat ini --padahal tadi hanya gerimis-- dijamin besok dirinya tidak akan masuk sekolah.

Alam seolah bersepakat membuat tubuhnya yang dingin, ditambah hatinya yang membeku. Di depan sana, sebuah kafe yang biasa dipakai untuk anak muda nongkrong. Dia tidak bisa ke sana dikarenakan di kantong cardigannya sama sekali tidak ada uang. Jangankan uang, dia berangkat saja seperti dikerjar hantu!

Namun, alasan hatinya membeku adalah sepasang muda-mudi yang duduk di dalam kafe itu. Kaca transparan yang dipasang, membuatnya leluasa melihat isi bangunan tersebut. Bibirnya tertawa miris. Baru saja ia berniat berjuang, tetapi hatinya berasa sudah dihempas duluan.

Ghatsa dan Ana. Dua remaja itu tampak tengah menikmati makanan mereka, sembari tertawa bersama. Ah, apa hal ini juga yang dirasakan Ghatsa kala dicueki oleh dirinya?

"Mbak."

Kepala Dima menoleh ketika seorang bapak-bapak mendatanginya dan mengalihkan fokusnya. "Ada apa, Pak?"

Sebuah jas hujan berwarna biru diserahkan oleh bapak-bapak itu. "Ini ada titipan buat, Mbak. Dipakai, ya. Nggak baik perempuan di luar waktu hujan, apalagi ini udah sore," tutur sang bapak yang tidak diketahui namanya oleh Dima.

"Ini punya siapa, Pak?" Jelas saja Dima perlu mempertanyakan asal jas hujan ini, pasalnya terasa ganjil bila seorang bapak yang tidak dikenalnya, meminjaminya jas hujan sementara bapak itu tampaknya juga tak membawa benda ini.

"Nggak tau namanya, tapi dari mas yang di kafe sana itu."

*****

Haloo~
Gimana part kali ini? Maafkan kemarin daku lupa mau update '-'
Yang dukung Dima perjuangin Ghatsa mana hayoo? Yuk, ramein komentar~
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya, ya!
Terima kasih sudah membaca❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro