SANDARAN
Happy reading :)
Maafkan typo .-.
~
Kita sama. Sama-sama membutuhkan tempat sebagai sandaran. Sudah, tak usah ditahan. Mari berbagi kesedihan.
*****
Tempat curhat. Mungkin bagi sebagian orang, mempunyai teman curhat itu enak. Bisa dijadikann tong sampah istilah kasarnya. Pokoknya semua hal-hal yang dialamin bisa dibagi sama teman. Sayangnya, tidak untuk Dima. Gadis itu amat sulit menceritakan hal yang dialaminya ke orang lain. Lebih baik disimpan untuk dirinya sendiri.
Akan tetapi, kedatangan Dika malam ini jelas membuat Dima terpaksa cerita. Cowok itu pasti ngotot dan ngeyel kalau Dima bilang nggak papa. Selain Ila, Dika yang peduli banget sama Dima. Meskipun, Dima tak banyak cerita kepada keduanya.
"Dik, gue udah bilang kalo gue nggak papa," rutuk Dima sambil sedikit berteriak.
Keduanya sedang berada di atas kuda besi milik Dika, membelah jalanan Kota Jakarta. Mulanya, Dima jelas menolak mentah-mentah, tapi saat Dika mendapat izin dari mama Dima, jadi cewek itu tidak bisa menolak lagi. Kadang, Dima kesal dengan sifat Dika yang terlalu care padanya, padahal ke cewek lain, boro-boro deh. Ngomong aja seuprit!
"Nggak percaya! Kata nggak papa itu kebohongan yang selalu ada, apalagi keluarnya dari mulut cewek. Kemungkinan bohongnya makin gede." Dika membalas ucapan Dima tidak dengan berteriak, hanya sambil menatap gadis itu dari spion motor bagian kiri.
Nah, kan. Pokoknya kalau mau mengelak sama Dika itu nggak bakal bisa. Itu cowok biasanya ngomong bisa dihitung jari suku katanya, tapi sekalinya peduli, bisa rempong banget. Ngalah-ngalahin emak rebutan sayuran!
"Yaudah-yaudah gue mau cerita. Berhenti dulu, capek gue dari tadi di atas jok motor mulu," sungut Dima.
Dika menyengir. Cengiran yang sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah ditampilkan di hadapan orang lain. "Karena tempatnya belum sampe, makanya belum berhenti," katanya.
Dima membelalak. "Gue kirain lo sengaja gak berhenti supaya gue mau cerita ke lo," ucap Dima menyatakan kekagetannya. Dikarenakan tadi ia berpikir bahwa Dika sengaja tidak memberhentikan motor supaya Dima mau cerita. Ternyata salah.
"Makanya jangan kepedean!" ledek Dika.
Sementara itu, Dima hanya melengos. Sadar kalau ia terlalu percaya diri. Mungkin efek belakangan ini dekat dengan Ghatsa, jadi over tingkat pd-nya. Eh, kok jadi Ghatsa? Dima segera menggelengkan kepalanya, menepis bayangan yang tiba-tiba melintas.
"Ngapain geleng-geleng gitu? Mikirin Ghatsa? Buruan turun, udah sampe." Dika sangat mengesalkan malam ini. Doyan sekali meledeki.
"Nih." Dima menyerahkan pelindung kepala yang ia pakai pada Dika. Matanya menatap tempat ini. Sebuah taman yang masih banyak ditumbuhi pepohonan. Lampu-lampu dipasang sebagai sumber penerangan. Beberapa pengunjung juga tampak di sekitar taman itu.
Setelah melepas helm, Dika mengamit jemari tangan kiri Dima dan menyatukannya dengan tangan kanannya. Keduanya berjalan menyusuri paving-paving yang disusun sedemikian rupa untuk lalu lalang.
"Duduk!" perintahnya, ketika sampai di sebuah hall yang ada pada taman itu. Tempat ini menghadap langsung ke arah waduk.
Dima menuruti perintah Dika. Matanya masih sibuk meneliti bagian-bagian taman ini. Ini kali pertama dirinya datang ke sini.
"Jadi, lo sama Ghatsa kenapa?" tanya Dika membuka topik.
Sedangkan yang ditanya, mulai mengalihkan fokus dari taman kepada Dika. Rautnya bimbang. Menimang-nimang dari mana ia harus menceritakan.
"Cerita aja dari apa yang dilakuin Ana ke lo sampe Ghatsa lo suruh ngejauh," saran Dika, tapi dengan nada sedikit mendesak.
Seusai mengembuskan napas kasar, Dima mulai bercerita, "Ana nggak ngapa-ngapain gue. Justru Ghatsa yang bikin kecewa. Dia bilang mau ngehadepin masalah bareng, tapi kemarin dia nganterin Ana pulang. Dia tuh kayak nggak bisa ngelepas Ana, tapi di satu sisi dia juga nggak mau kehilangan gue." Dima menjeda ucapannya sejenak. "Awalnya gue emang nggak mau buka hati buat Ghatsa terkait luka di masa lalu itu. Tapi seiring perjuangan Ghatsa, bikin hati gue mulai luluh. Setelah itu, malah Ghatsa bikin kecewa lagi. Gue kecewa, Dik," adu Dima. Perlahan, ia mulai terisak.
Menyadari kondisi gadis di sampingnya kurang baik, Dika merengkuh tubuh mungil Dima. Mengusap lengan cewek itu agar merasa sedikit tenang.
Terluka itu sakit. Sakitnya bukan jangka pendek saja, tetapi jangka panjang juga. Seperti ketika memaksa luka itu dibuka kembali, sudah pasti sakitnya terulang lagi. Dima menyayangkan takdir di akhir masa SMA-nya serumit ini.
"Ma ...," panggil Dika, "gue tau susahnya ngelupain orang yang bikin kita jatuh cinta untuk kali pertama. Sekuat apa pun dilupain, pasti bakal keinget. Apalagi sampe sering ketemu, jadi makin susah ngelupainnya."
Dima mengangguk dalam rengkuhan Dika seraya dalam hati membenarkan ucapan cowok di sebelahnya. "Lo tau prinsip gue, Dik. Bahkan beberapa hari belakangan ini gue ingkarin prinsip itu dengan deket sama Ghatsa. Gue pikir Ghatsa beneran berubah, ternyata sama aja, masih jadi penoreh luka yang nyata," tutur Dima meluapkan semua hal yang dirasakannya.
"Posisi kita sama, Ma. Jatuh cinta tapi nggak ditakdirkan bersama. Lo sama Ghatsa, gue sama Ana."
Sontak saja Dima menoleh cepat. Sungguh, ia baru tahu fakta ini. "Dik, lo ..."
Dika mengangguk. Ia menatap air waduk yang tenang. Meratapi kisah cintanya yang juga semenyedihkan Dima. "Gue suka sama dia, Ma. Sejak awal ketemu, entah kenapa gue rasa sebenernya dia baik. Tapi waktu tau kalo dia suka sama Ghatsa, seketika gue nggak berdaya. Ana tipe cewek yang pantang menyerah, pasti berjuang habis-habisan buat dapetin cintanya. Dan kalo lo kemarin liat dia dianter sama Ghatsa, pasti itu semua rencana yang disusun dia."
"Dik, tapi lo pasti sakit."
Dika tertawa miris mengetahui pasti Dima terkejut tentang hal ini. "Tenang aja, Ma. Gue lebih kuat dari lo. Sekedar nutupin rasa gue sama dia mah itu hal kecil."
"Tapi dia itu ..."
"Iya gue tau. Karena hal itu juga gue terpaksa berusaha ngilangin rasa ini, walaupun hasilnya tetep nihil dan berakhir gue cuma pendem perasaan ini," potong Dika.
Semilir angin malam ini mengisi keterdiaman antara Dima dan Dika. Keduanya sama-sama meratapi kisah cinta yang terasa menyiksa.
"Jujur aja gue kaget waktu tau tentang perasaan lo itu, Dik. Tapi gue setuju sama pendapat lo kalo Ana itu sebenernya baik. Mungkin sekarang dia lagi perjuangin cintanya dengan cara yang bikin dia terlihat jahat. Gue jadi mikirin perasaan lo tiap kali Ana deketin Ghatsa padahal lo suka sama dia. Sakit ya, Dik?" Pertanyaan bodoh memang. Meskipun demikian, Dima tetap mempertanyakannya.
Dika menggeleng. "Nggak sakit, cuma nyesek," balasnya sambil terkekeh.
"Dik, gue siap jadi tempat cerita lo. Cukup rasa suka lo ke Ana aja yang dipendem, masalah lo jangan. Bagiin ke gue, biar bukan cuma lo yang jadi tong sampah gue." Dima menatap mata Dika. Memberikan sorot meyakinkan agar cowok itu mau berbagi segala kesedihan padanya.
Dika tersenyum. Tangan kanannya terulur mengusap puncak kepala Dima. "Lo juga. Kita sama, Ma. Sama-sama butuh sandaran. Mari bagi kesedihan yang kita rasakan. Jangan sampe depresi gara-gara kisah cinta, apalagi udah kelas tiga SMA. Bener-bener bukan waktu yang tepat buat galau karena cinta."
Rasa hangat menjalar dalam hati Dima. Tentunya karena usapan dan perkataan Dika. "Makasih ya, Dik. Kalo karena nggak lo paksa buat cerita, gue nggak bakal tau fakta besar ini. Seorang Sandika Dewanata suka sama Ana."
Nada bicara Dima kali ini jelas lain. Sengaja menggoda cowok di sebelahnya. Yang kata orang adalah es batu, ternyata bisa jatuh cinta juga. Sama cewek tak terduga pula!
"Nyesel gue tadi kasih tau lo," kesal Dika.
"Ututu Dika sok ngambek." Dima malah menekan-nekan pipi Dika.
"Udah deh, Ma. Yang penting lo udah lega karena cerita semuanya. Nggak papa deh, lo tau rahasia terbesar gue. Seenggaknya lo nggak setertekan tadi. Inget, lo punya gue buat tempat bagi cerita," ujar Dika. Cowok itu bangkit dari duduknya. Lantas mengulurkan tangan kepada Dima. "Yuk, pulang. Tamannya udah mau tutup."
Dima mengangguki. Dalam batinnya ia bersyukur banyak karena memiliki Dika. Tempat cerita yang pasti bisa didatangi kapan saja. Soalnya kalau sama Ila, takut cewek itu ember terus cerita ke Rey, nanti malah si Rey cerita ke Ghatsa. Bisa makin panjang urusannya.
Mereka telah sampai di depan gerbang rumah Dima. Setelah turun, Dima lantas memerintahkan agar Dika langsung pulang saja, biar nanti Dima yang jelasin ke mamanya.
"Yaudah, gue pulang dulu. Salam buat Tante sama kak Gita," pamit Dika.
"Iya. Hati-hati di jalan."
Dika mengangguk. Seolah teringat sesuatu, ia mengurungkan niat menstater motornya. "Oya, gue saranin lo jangan terlalu deket sama Saka. Soalnya dia kayaknya suka sama lo, takutnya nanti malah timbul masalah baru," saran Dika.
Bukan kayaknya, emang suka kali. Dima membatin sebab teringat kejadian beberapa waktu lalu saat Saka menyatakan suka padanya. Jelas itu memusingkan Dima.
"Heh! Malah ngelamun. Denger nggak?" Dika menyadarkan.
"E-eh, iya denger. Gue nggak bakal terlalu deket sama dia deh."
Dika menarik sudut-sudut bibirnya hingga membentuk sebuah lengkungan. "Bagus. Besok gue jemput."
Tanpa menunggu persetujuan, Dika segera menyalakan motornya dan meninggalkan area rumah Dima.
Mata Dima mengikuti tubuh cowok yang baru mengantarnya. Meskipun sudah tidak tampak, Dima masih berdiri di tempatnya. Bibirnya mengembang menampilkan senyum kecil. "Thanks, Dik."
*****
Haloo!
Gimana part kali ini? Kalian bisa lihat sisi lain dari seorang Dika. Cuslah ramein komentar.
Oh iya, aku minta pendapat kalian nih. Kira-kira kalau aku adain rp, kalian gimana? Menurut kalian perlu atau enggak? Silakan komen-komen, yaa~
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu kelanjutan cerita ini.
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro