Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SALAH PAHAM

Happy reading :)
Maafkan typo .-.

~
Hati dan pikiran harus diusahakan sejalan. Jika hati lebih dominan, apalagi dengan pernyataan yang belum terbukti kebenarannya, bisa jadi bumerang untuk sebuah hubungan.

*****

     Kening mengerut dan tatapan kaget menyambut kedatangan dua cowok di depan pintu rumah Dima. Yudi yang membukakan pintu itu karena kebetulan ia telah pulang dari luar kota, tentu saja kaget melihat dua remaja pria datang pagi-pagi begini.

     "Ada apa, ya?" tanyanya. Mengenyahkan ekspresi kaget yang semula ada. Rautnya berubah tegas.

     "Mau jemput Dima, Om," jawab Dika.

     "Terus kamu?" Yudi beralih menatap cowok di sebelah Dika. Menatap dari ujung kaki hingga kepala, mencoba mengingat-ingat siapa laki-laki di depannya ini.

     "Saya mau jemput Eti, Om," balas Ghatsa.

     Belum saja selesai Yudi mengingat nama anak itu, malah sudah dibuat bingung lagi. "Eti siapa?"

     Ghatsa menepuk dahinya keras. "Anu ... maksud saya itu Dima, Om. Dari SMP saya manggilnya Eti," ralatnya, sekaligus memberi penjelasan dan memberi tahu Yudi kalau dirinya dan Dima telah berteman sejak bangku Sekolah Menengah Pertama.

     "Siapa kamu mau jemput anak saya?" tanya Yudi. Nada bicaranya jelas menunjukkan kewaspadaan.

     "Kalo sekarang sih, belum siapa-siapanya, tapi doain saya bisa jadi menantunya, Om, aja," balas Ghatsa sambil cengar-cengir. Tidak tahu kalau yang di depannya ini seorang singa berwujud manusia, tidak jauh beda dengan Dima.

     Kelopak mata Yudi terbuka sempurna. Mulutnya menganga. Tak percaya dengan ucapan remaja di depannya ini. "Memang anak saya mau sama kamu?" gertaknya.

     Ghatsa mundur selangkah. Terkejut karena gertakan Yudi, tapi tetap tak menghentikan candaan yang ia lemparkan. "Nah, dulu sih sempat suka, Om. Tapi saya kira bercanda, jadi saya nggak seriusin. Terus sekarang saya ketemu Eti lagi, pas saya udah suka sama dia. Jadi saya lagi usaha bikin Eti suka lagi sama saya. Doain saya ya, Om," cerocosnya.

     Dika yang berada di sebelah Ghatsa berdoa dalam hati, semoga temannya tidak diusir oleh papa Dima atau lebih parahnya langsung dikata-katain. Lain kali Dika harus memberi tahu sahabatnya itu agar tidak asal nyeplos!

     "Kam--"

     Belum selesai ucapan Yudi, terpotong oleh Dima yang sampai di sebelahnya. "Ada apa sih, Pa?"

     Mendengar suara berisik ketika makan, Dima lantas berniat mengecek. Sama terkejutnya dengan Yudi tadi saat melihat dua temannya berdiri di teras rumahnya.

     "Mau jemput kamu." Nada bicara Yudi dingin. Pastinya ia masih mengingat kejadian yang menimpa anak sulungnya dua tahun silam. Sebagai seorang ayah, tentu tidak ingin kejadian tersebut terulang lagi.

     "Dima nggak nyuruh mereka jemput, Pa."

     "Kamu berangkat sama Dika aja," putus Yudi.

     Tak ada penolakan dari Dima.   Namun, ada kesal yang menerobos dalam hati Ghatsa. Tidak menyangka kalau papa Dima justru menyuruh putrinya berangkat dengan Dika daripada dengannya. Sudah susah-susah nyerocos, malah Dika yang kepilih, padahal itu cowok diam aja.

     Seusai mengambil tas, Dima kembali lagi ke teras. "Ayo berangkat, Dik," ajaknya dan disetujui oleh Dika.

     Sementara itu, Ghatsa masih bergeming di tempatnya. Dima sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Sorot mata Ghatsa meredup.

     "Kamu belum mau berangkat?" tanya Yudi, sedikit mengusir.

     "Oh, ya, saya berangkat dulu, Om. Assalammualaikum," pamitnya sembari mencium tangan Yudi.

     Sepanjang jalan, hatinya terus bertanya, sebenarnya hubungan Dima dan Dika apa? Bagaimana sahabatnya itu mendapat izin dari papa Dima dengan begitu mudah? Padahal yang diketahuinya, papa Dima tidak sembarangan mengizinkan putrinya pergi dengan lelaki, makanya tadi dia optimis diizinkan menjemput Dima sebab dulu waktu SMP sudah sering jalan berdua. Satu hal yang bisa Ghatsa pikirkan adalah Dika sudah mendekati keluarga Dima.

***

     Seragam putih abu-abu yang melekat di tubuh Ghatsa telah basah oleh keringat. Jam istirahat kali ini, cowok itu menghabiskan waktu untuk bermain basket. Ia sendiri, sementara anggota geng STAR lain hanya duduk di tepi lapangan.
Bola oranye tak henti dipantulkan oleh tangan kanannya. Napasnya berderu, matanya menyiratkan kekesalan. Sejak awal sampai di sekolah seperti itu dan pasti hal tersebut disadari oleh temannya yang lain.

     "Itu bocah kenapa, sih? Segitunya dicuekin Dima sampe main basket nggak ada capeknya?" komentar Rey yang merasa sebal dengan tingkah Ghatsa, gara-gara itu, Rey jadi nggak bisa ke kantin. Ya, gimana pun, dia punya solidaritas yang tinggi sesama teman.

     "Kan lo temen seotaknya, ngapain nanya kita," cerca Anan bermaksud mengingatkan bahwa Ghatsa dan Rey itu kapasitas otaknya sama saja.

     Mata Rey melirik sinis. "Kayaknya lo emang lebih baik diem terus daripada ngomong deh, Nan. Sekalinya ngomong bener-bener jleb di hati," rutuknya.

     Anan hanya mengendikkan bahunya acuh. Sedangkan Dika menatap tubuh yang berlarian di lapangan basket itu. Ia jelas paham kalau semua kekesalan Ghatsa itu bersumber darinya. Perlahan, bibirnya melengkung, senyum sampai ke mata cowok itu.

     "Biar gue samperin dia," putusnya. Kakinya menapaki lapangan dan menghentikan permainan basket Ghatsa.

     "Kagak capek lo?" celetuk Dika begitu sudah berada di dekat Ghatsa.

     Sontak saja Ghatsa membiarkan bola oranye yang sejak tadi menjadi fokusnya, menggelinding menjauhinya. "Peduli apa lo?" sarkasnya.

     Sebenarnya Dika ingin terkekeh, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat. "Biar gue tebak, lo cemburu sama gue?"

     Pertanyaan itu begitu telak. Menembus hati hingga ke otak. Ghatsa bergeming, tak bisa mengelak.

     "Lo ngapain cemburu sama gue?"

     "Menurut lo aja, gue udah berjuang buat ngajak balikan si Eti, eh malah lo nikung duluan sampe diizinin bokapnya buat berangkat bareng. Tadinya juga gue nggak mau bahas, tapi lo yang mulai," balas Ghatsa.

     Sungguh, kali ini perasaan geli yang ada di perut Dika sudah tidak bisa ditahan lagi. Bahunya naik turun, sementara tangannya memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa.

     "Ngapain lo ketawa?"

     "Duh, Ghat ... makanya kalo nggak tau tuh nanya, jangan sok ngambil kesimpulan sendiri. Udah tau kondisi otak lo nggak mewadahi, pake segala sok pinter lagi," cibir Dika.

     Sudah dongkol, jadi makin dongkol. Ghatsa mendadak menyesal berteman dengan cowok dingin yang irit omong, sekalinya bicara suka to the point.

     "Dima itu sepupu gue," ungkap Dika.

     Dua indra penglihatan Ghatsa langsung membelalak. "Sepupu?" beonya.

     Dika mengangguk. "Makanya bokap Dima izinin gue berangkat bareng dia, karena gue sepupunya. Dan nggak ngizinin bareng lo soalnya bokapnya Dima trauma," jelas Dika.

     "Trauma kenapa?"

     "Di hari yang sama waktu lo bilang ke Dima kalo kalian cuma temenan, di rumahnya, ada tragedi. Kakaknya Dima dihamili sama orang nggak bertanggung jawab bahkan sampe masuk RSJ gara-gara waktu anaknya dilahirin, terus meninggal," terang Dika.

     Kontan saja Ghatsa melongo. Jadi alasan Dima menjaga jarak dengan semua cowok adalah ini. Lalu alasan Dima dan Dika terlihat dekat juga karena mereka sepupuan.

     "Lain kali jangan sok pinter," cerca Dika.

     "Berisik lo!"

     "Mending lo pikirin cara biar Dima bisa berubah baik lagi ke lo soalnya alesan dia nyuruh lo ngejauh itu karena lo anterin Ana dan Dima tau. Jelas dia kecewalah, Bodoh!"

     "Tapi gue cuma nganterin, lagian si Ana bilang kalo dia mau minta maaf ke Eti jadi gue bantu," kilah Ghatsa. Mana tau kalau waktu dia mengantar Ana, Dima jadi sekecewa itu.

     "Ya lo jelasin ke Dima, bukan ke gue," suruh Dika.

     Ghatsa menepuk pundak Dika. "Lo mirip Mario Teguh, Dik, nggak es batu lagi," ledek Ghatsa.

     "Cuma gara-gara masalah lo berdua nih, gue keluar dari karakter asli gue." Dika melayangkan tatapan sebal ke arah Ghatsa.

     Sempat tergelak, Ghatsa lantas meninggalkan Dika. "Nan, balik kelas woi!" teriaknya mendahului Anan. Peduli setan dengan Rey, pasti cowok itu cuma merutukinya sejak tadi, bukan membantunya.

     "Heh setan! Nggak tau terima kasih lo sama gue!" protes Rey, tetapi tak diindahkan oleh Ghatsa.

*****

Hai!
Gimana part kali ini? Cuslah ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu kelanjutan ceritanya, ya~
Terima kasih sudah membaca❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro