Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

RETAK

Happy reading :)
Maafkan typo.-.

~
Sesuatu yang pergi hanya berkemungkinan kecil kembali. Setidaknya masih ada kemungkinan.

*****

Senin pagi, cuaca cukup cerah. Atau bisa dikatakan sangat panas. Sinar matahari menyengat kulit para murid yang berbaris di lapangan, melaksanakan upacara. Tampak sekali raut lelah di wajah mereka, bahkan ada yang pingsan karena tidak kuat dengan panasnya.

Dima. Gadis itu masih berdiri tegak dengan wajah serius mengikuti upacara. Ia tidak merasakan panas yang begitu menyengat, sebab Ghatsa dengan senang hati berdiri di depannya dan menghalau sinar matahari yang terik.

"Lo baik-baik aja, kan, Ti?" tanya Ghatsa pelan sambil menoleh sekilas ke arah Dima. Khawatir jika gadis itu kenapa-napa, karena baru sembuh dari sakitnya.

"Gue nggak papa. Lo pikir gue selemah itu apa, sampe lo kira gue kenapa-napa," ketus Dima.

Ghatsa menghela napas. Dima selalu begini, ketus di setiap waktu. Meskipun begitu, Ghatsa tak pernah bisa membenci gadis itu, efek terlalu cinta. Namun, sepertinya ia lupa bahwa terlalu cinta bisa membuat seseorang lupa segalanya. Cinta selalu memiliki dampak. Entah positif atau negatif, tergantung cara menyikapi.

"Padahal gue berharap lo kenapa-napa."

Dima membelalak. "Maksud lo?!"

"Ya, kalo lo kenapa-napa terus pingsan, kan gue bisa gendong lo ke UKS." Ghatsa menyengir lebar.

Dima memukul punggung Ghatsa. "Tukang modus!"

Ghatsa terkikik pelan. Sementara Dima mendengkus kesal.

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas. Sebagian dari mereka tentunya pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka karena sejak tadi cacing di perut minta jatah.

Dima kali ini juga memutuskan pergi ke kantin, tidak ke perpustakaan untuk membaca buku. Alasannya? Ghatsa menyeretnya. Kata Ghatsa ia harus ke kantin untuk isi asupan, bukan sibuk dengan buku berhalaman ratusan. Jangan berpikir bahwa Dima tak menolak. Bahkan gadis itu dan Ghatsa sampai harus kejar-kejaran di sepanjang koridor. Begitu Ghatsa menangkap Dima, ia segera menyeret ke kantin.

"Lo mau makan apa, Ti?" tanya Ghatsa sesaat setelah keduanya sampai di kantin dan Dima telah duduk di salah satu bangku.

"Makan hati!" Dima menampilkan raut tak suka. Masih kesal dengan Ghatsa yang seenak jidat memaksanya.

"Pait loh, Ti. Lo doyan?" Ghatsa bertanya dengan nada yang membuat Dima ingin menendang cowok itu, jika saja sedang tidak berada di kantin.

"Nggak sepait janji mantan yang nggak ditepatin!" Sontak Dima menutup mulutnya. Sadar akan ucapannya yang mulai ngelantur.

"Emang punya mantan? Bukannya lo belum pernah pacaran? Oh, kode biar balikan sama mantan gebetan lo ini, ya?"

Dima menatap Ghatsa tajam. "Cepetan pesen sana!"

Ghatsa tertawa. Melihat Dima yang kesal seperti itu merupakan hal menyenangkan baginya. "Oke, gue pesen dulu. Jangan kemana-mana, mantan gebetan bakal cepetan balik," kata Ghatsa dan langsung pergi dari hadapan Dima, takut jika cewek itu semakin murka.

Dima mengeluarkan ponselnya. Ia membenarkan poni rambutnya yang sampai sedikit menutupi matanya. Sambil menunggu Ghatsa, tangannya asik bergerak di atas layar ponselnya. Membuka satu per satu aplikasi sosial media yang dimilikinya. Mulai dari WhatshApp, Instagram, sampai Twitter, tapi semuanya sama, sepi.

"Nggak usah sok main hp gitu, kalo cuma bolak-balikin menu."

Dima mengangkat kepalanya. Ia melihat Ghatsa berdiri dengan membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dan dua gelas es jeruk. "Sok tau banget sih, lo," kesal Dima.

"Udah tau, sih. Lo jomlo, kalo buka sosmed pasti sepi. Biar hp lo ada gunanya, mending buat chattingan sama gue," ucap Ghatsa sembari menaikturunkan alisnya bermaksud memberi tawaran pada Dima.

"Ogah!" tolak Dima. Ia segera memakan bakso yang tadi disodorkan oleh Ghatsa.

Sebenarnya Ghatsa masih ingin menggoda Dima, tapi mengingat jam istirahat hanya sebentar, ia urungkan niatnya. Lebih baik memakan bakso pesanannya.

Tanpa disadari keduanya, sejak tadi dari sudut kantin ada seseorang yang menahan amarah. Ana. Wajah putih gadis itu bersemu merah. Bukan karena tersipu, tetapi marah.

"Cerita kalian nggak akan menyenangkan," ujarnya sambil tersenyum sinis. Lalu ia bangkit dari bangku itu dan pergi ke tempat tujuannya.

***

Ghatsa berjalan menyusuri koridor menuju parkiran dengan menggendong tas di pundak kanannya. Tangan kirinya dimasukkan ke saku celana. Mungkin, jika orang lihat sekilas, Ghatsa itu cowok perfect banget. Memang tak setampan Dika, tetapi senyumnya banyak bikin kaum hawa terpana. Itu sekilas, karena nyatanya otak cowok itu sama sekali nggak bikin terpana, justru malah merana sebab terlalu gesrek.

Pulang sekolah ini, ia berniat untuk pulang bersama Dima. Namun, gadis itu bersikeras menolaknya. Alhasil ia mengalah, tahu kalau Dima takut akan 'sesuatu'.

Sesampainya di parkiran, motor para murid sudah berkurang. Ia menghampiri tempat parkir tetapnya, di bawah sebuah pohon mangga. Ketika hendak menaiki motornya, tak sengaja ia mendengar suara isakan. Penasaran, segera dicari sumber suara itu.

"Ana," lirih Ghatsa begitu mendapati Ana duduk bersandar pada pohon mangga itu.

Ana menoleh dan menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya. "Kak Ghatsa," balasnya dengan suara sedikit serak.

"Lo ngapain di sini ... nangis?"

"Kak Ghatsa ...." Ana segera menghambur memeluk Ghatsa. Isakannya belum reda, seakan hatinya benar-benar tersiksa.

"Hey, lo kenapa?" Ghatsa melepas pelukan itu. Ditatapnya Ana dengan tatapan tak mengerti. Bagaimanapun, ia tak tega melihat gadis yang sempat menjadi sahabat masa kecilnya itu menangis. Walaupun, kemarin ia sendiri yang menyakiti gadis itu.

"Maafin Ana, Kak. Ana nggak bisa jauh dari kakak. Kemarin Ana kebawa emosi sampe nampar Kak Dima. Ana nyesel, Kak," adu Ana. Air matanya kembali mengalir membasahi pipi gadis itu.

Ghatsa menatap Ana lembut. "Gue udah maafin lo, cuma jangan diulangin lagi, ya. Itu bener-bener bukan Ana yang gue kenal," timpal Ghatsa. Ia berpikir untuk memberikan kesempatan kedua, karena yakin Ana bisa berubah dan kembali ke sifat gadis itu yang dulu.

"Makasih ya, Kak. Kita bisa temenan lagi?"

"Bisa. Tapi lo harus minta maaf juga ke Dima."

Ana mengangguk cepat. "Pasti. Besok aku pasti minta maaf sama Kak Dima."

"Bagus. Yaudah, yuk gue anter pulang," ajak Ghatsa.

"Beneran?" tanya Ana dengan tatapan berbinar.

Ghatsa mengangguk. "Yuk!"

Keduanya meninggalkan halaman sekolah. Melaju membelah jalanan Kota Jakarta.

Tanpa diketahui Ghatsa, seorang gadis masih berdiri di halte menunggu jemputan. Ada sesak yang menjalar di dadanya. Dima. Mendadak harapan akan masa lalunya yang kembali pun buyar. Hatiknya retak. Menyadari bahwa memang sesuatu yang pergi hanya berkemungkinan kecil kembali. Juga, salahnya terlalu banyak berharapp padahal sakit hati sudah tampak di depan mata.

"Gue kecewa, Ghat," lirihnya diiringi cairan bening lolos dari kelopak matanya.

*****

Halo! Apa kabar kalian? Merindukan Ghatsakah?😂
Gimana part kali ini? Yuk, ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya, ya~
Terima kasih sudah membaca❤


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro