PESTA AIR MATA
Happy reading :)
Maafkan typo .-.
~
Mengalah tidak akan membuatmu menjadi rendah.
*****
Dima tengah bersiap dengan dress selutut berwarna biru dongker yang melekat pas di badannya. Rambut yang biasa ia cepol secara asal, kini sengaja digerai dengan tatanan sedemikian rupa. Bagian akhir dari kegiatan berdandannya ini, ia mengoleskan lip tint pada bibirnya agar tidak kelihatan pucat.
Setelah memastikan tampilannya pas, gadis itu mengambil flat shoes berwarna senada dengan dressnya untuk ia pakai sebagai alas kaki. Sekali lagi, dilihat pantulan bayangannya di kaca. Lalu, ia beralih mengambil sling bag untuk tempat beberapa barang yang akan dibawa.
Malam ini, Dima akan pergi ke pesta ulang tahun Ana. Ya, sore tadi, Ana ke rumahnya ternyata berniat memberi undangan ulang tahun. Sempat kelabakan, karena Dima lupa tanggal dan belum menyiapkan apa-apa, akhirnya bermodalkan izin dari mama untuk mengendarai motor, gadis itu mencari kado untuk Ana.
"Ma, Dima berangkat dulu, ya," pamitnya pada mama yang tengah duduk di ruang tamu bersama kakaknya.
"Iya. Hati-hati ya," pesan sang mama.
Dima mengangguk. Ia beralih menatap kakaknya. "Kak, yakin nggak mau ikut?"
"Nggak ah, kan Ana ngundang temen-temen sekelasnya sama yang deket sama dia aja. Nanti kalo kakak dateng, keliatan tua."
Dima terkekeh. "Emang tua, kan?" goda Dima.
"Durhaka ya, sama kakak sendiri," geram Gita.
"Biarin wleee. Kan, emang tua," ejek Dima. Senang sekali ia bisa membuat kesal kakaknya seperti ini.
"Ah, udah, kalian ini berantem terus kalo deket. Sana kamu berangkat, Ma, udah ditunggu Dika," lerai Nita agar kedua putrinya berhenti bertengkar.
Sontak saja Dima melotot. Padahal, seingatnya tadi, ia tidak menyuruh Dika menjemputnya, lalu kenapa cowok itu ke sini? "Kok, mama nggak bilang kalo Dika ke sini?" protes Dima.
"Ya mama kira kamu udah tau. Kan, ada hp," balas Nita tanpa menatap Dima. Ia masih fokus menonton acara di televisi.
"Ish, aku aja nggak tau," sungut Dima.
"Yaudah sih, sana berangkat daripada berisik." Gita mulai membalas tindakan adiknya yang mengesalkan tadi.
Dengan langkah cepat, Dima ke luar rumah dan menghampiri Dika yang duduk di atas jok motor. Cowok itu memakai kemeja flanel berwarna merah maroon dengan bawahan celana jeans hitam.
"Dik, lo nunggu lama?" tanya Dima begitu sampai di dekat Dika. Pasalnya, ia tidak tahu kalau Dika menjemputnya untuk pergi ke pesta Ana.
"Nggak kok, cuma setengah jam," balas Dika santai.
Namun, Dima justru membelalak mendengar jawaban Dika, walaupun bernada santai. "Astaga kenapa lo nggak chat? Pasti lo lumutan nunggu selama itu."
"Santai sih, Ma. Udah buruan naik, bentar lagi pestanya dimulai."
Tak mau mengulur waktu lagi, Dima pun menerima helm yang diserahkan Dika, lalu memakainya tanpa memedulikan jika nanti tatanan rambutnya rusak. Pikirnya, nanti bisa dibenerin lagi.
***
Motor yang dikemudikan Dika telah berhenti di halaman sebuah kafe yang sengaja disewa untuk merayakan ulang tahun Ana malam ini. Kafe ini lumayan terkenal di kalangan remaja, karena memang cocok jika dipakai untuk acara anak muda, selain nyaman, tempat ini juga sangat instragamable.
Ketika memasuki kafe, Dima dapat melihat Ana tengah berdiri di penjuru kafe dengan dress putih yang bagian belakangnya menjuntai panjang ke bawah, sementara bagian depan hanya sepanjang lututnya. Dima pun berjalan ke arah sepupunya itu untuk mengucapkan selamat dan memberi kado.
"Selamat ulang tahun yang ketujuh belas ya, Na," ucap Dima seraya memberikan kado yang dipegangnya dan menyalami Ana.
"Makasih banyak, Kak," balas Ana sambil menerima kado dari Dima, lalu meletakkan kado tersebut ke meja panjang di sebelahnya bersama kado lainnya.
Dima sempat mengedarkan pandangannya ke seluruh kafe untuk melihat tamu-tamu Ana. "Om sama tante nggak dateng, Na?" tanyanya begitu menyadari bahwa mama dan papa Ana tidak datang.
"Enggak, Kak. Mama sama Papa hari ini baru pulang dari London. Nanti Ana rayain sama mereka di rumah aja, kalo sekarang mah sama temen-temen dulu," timpal Ana yang dijawab anggukan dari Dima.
"Gue ke sana dulu, ya," pamit Dima sambil menunjuk sisi pojok kanan dari kafe. Setelah mendapat anggukan dari Ana, ia pun pergi ke sana dan duduk di kursi yang disediakan.
Menunggu itu membosankan. Iya, Dima baru merasakan. Di undangan, acara akan dimulai pada jam setengah sembilan, tetapi sekarang bahkan sudah jam sembilan dan acara belum dimulai.
"Sabar nunggunya. Nih, minum dulu."
Dima menerima minumam yang disodorkan oleh Dika. "Makasih, Dik. Ini nunggu apa, sih? Lama banget mulainya," gerutu Dima.
"Nunggu orang penting."
"Siapa?"
Bertepatan dengan pertanyaan yang Dima lontarkan, pintu kafe terbuka dan tiga orang cowok yang amat Dima kenali memasuki kafe. "Kok mereka di sini?" pekiknya. Untung saja ia berada di pojok dan volume bicaranya tidak terlalu keras, sehingga ia tidak jadi pusat perhatian.
"Kan lo tau Ana suka sama Ghatsa, jadi jelaslah geng STAR diundang. Ya, walaupun tujuan Ana tetep cuma ngundang Ghatsa," terang Dika. Cowok itu jadi menjelaskan banyak hal belakangan ini pada Dima. Memang kalau dengan gadis itu, Dika akan berubah jadi sosok lain. Bukan si cuek lagi.
Dima menghela napas. Mantannya benar-benar berada di mana-mana. Tadi dihukum bareng, sekarang pun harus bertemu lagi. Niat hati ingin move on, tapi malah dipertemukan terus. Beruntunglah seorang Retisalya Adima bukan tipe penikung, apalagi sama saudara sendiri.
"Ayo ke sana. Acaranya mau mulai, tuh," ajak Dika, kemudian diiyakan oleh Dima.
Riuh tepuk tangan mengiringi kegiatan tiup lilin yang baru saja dilakukan. Sekarang, si pemilik acara mulai memotong kue.
"Wah, potongan pertama buat siapa ya ...," ucap salah satu teman Ana.
Ana tersenyum. Ia menghadap ke arah Ghatsa berada. "Kue pertama ini buat Kak Ghatsa. Teman masa kecil aku yang udah mau dateng ke pesta ini. Makasih, Kak," kata Ana seraya memberikan potongan kue yang dipegangnya kepada Ghatsa.
Ghatsa kikuk. Ini selalu terjadi kalau Ana memperlakukan dia istimewa. Ghatsa hanya takut menyakiti hati gadis itu, jika Ana tahu bagaimana perasaan Ghatsa sesungguhnya.
Sementara itu, Dima mendadak merasakan dadanya sesak. Seharusnya tidak begini, tapi tak bisa dipungkiri kalau Dima masih belum terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sampai akhirnya ia merasakan sebuah tangan menggenggam jemari kanannya. Itu Dika. Cowok itu memberi senyum menguatkan.
Setelah potong kue, acara selanjutnya adalah buka kado. Tidak semua, hanya beberapa kado yang dipilih. Gadis itu mengambil tiga kado. Satu milik Ghatsa dan dua kado lainnya diambil secara asal.
"Punya Kak Ghatsa duluan dong, Na!" seru salah satu teman Ana.
Ana menuruti. Lagipula, memang dia ingin membuka kado itu. Ternyata isinya sebuah liontin dengan bandul berbentuk mawar. Gadis itu tersenyum sumringah. "Makasih, Kak. Boleh bantu pakaiin?"
Ghatsa mengangguk kaku, lalu memakaikan liontin itu di leher Ana.
"Ciee!" Begitu teman-teman Ana merespons adegan itu.
Sedangkan, Dima tersenyum getir. Menyadari betapa munafiknya ia selama ini. Sebenarnya belum benar-benar move on, tapi juteknya ke Ghatsa minta ampun. Salahnya sendiri.
"Kak Ghatsa ..." Ana menggenggam kedua tangan Ghatsa. Ia melanjutkan bicaranya, "makasih buat semuanya. Maaf waktu aku pergi ke London, kita jadi nggak pernah komunikasi. Tapi, aku seneng banget sekarang bisa ketemu kakak. Dan aku sadar, aku sayang sama kakak lebih dari sebatas sahabat. Aku pengen kita punya hubungan lebih, Kak.
Suasana mendadak hening. Dima melepaskan genggaman tangan Dika. Hatinya teriris. Batinnya menjerit ingin menghentikan semua ini. Namun, apa daya ... Ana terlalu berharga, karena gadis itu keluarganya.
"Sorry, Na."
Dua kata yang terlontar dari bibir Ghatsa itu memecah keheningan. Meskipun, yang lainnya masih terbengong melihat adegan itu.
"Gue udah suka sama cewek lain," sambung Ghatsa.
"Hah? Siapa?"
Ghatsa berjalan ke arah Dima. Menatap yakin ke bola mata gadis itu. Tanpa menunggu persetujuan, ia menggenggam jemari kanan Dima. "Gue suka sama dia."
Ana membelalak. "Maksud kakak? Kalian berdua ada hubungan apa? Kenapa Kak Dima nggak pernah kasih tau aku? Kalian berdua mau nge-prank? Aduh, nggak lucu banget, sih. Mentang-mentang aku ulang tahun. Sumpah, ini nggak lucu," bantah Ana histeris. Pikirnya, selama ini Ghatsa memiliki perasaan yang sama padanya, karena keduanya sudah dekat sejak kecil. Tapi, apa ini? Justru kakak sepupunya menikungnya.
"Dima yang buat gue sadar, kalo nggak seharusnya gue nunggu lo yang ninggalin tanpa kabar. Dia yang obatin luka gue dan sayangnya gue telat sadar kalo dia berharga sampe akhirnya dia pergi dari hidup gue. Lalu, gue lagi perjuangin dia, tapi lo dateng, Na---"
"Kak Ghatsa nyalahin aku, karena hadirnya aku jadi penghalang kalian bersatu? Emang siapa yang mau dateng sebagai perusak, Kak? Hah! Nggak ada! Harusnya yang dapet gelar perusak itu Kak Dima. Dia yang buat kakak berpaling dari aku. Ini bukan salah aku, Kak."
"Ana!" bentak Ghatsa, "Lo yang pergi. Jangan salahin yang dateng. Dia obat dari luka gue yang kehilangan lo, Na, bukan perusak!" Ghatsa sudah hilang kendali. Bahkan, simpatinya untuk Ana sudah meluntur.
Ana tertawa sinis. "Cih, gue nggak nyangka sama lo, Kak," ucapnya pada Dima. Ada sorot kemarahan di mata gadis yang seharusnya berbahagia di hari jadinya, malah berubah menjadi hari menyakitkan.
"Na ...," lirih Dima yang sejak tadi tidak buka suara.
"Apa, Kak? Mau bilang kalo ini nggak seperti yang gue bilang? Bullshit tau nggak! Lo.itu.perusak!"
"Jaga omongan lo, Na! Gue udah cukup sabar ngadepin lo selama ini. Dima yang nyuruh gue buat ngejauh dari dia, karena nggak mau bikin lo sakit hati. Dan balasan lo malah begini...? Lo bukan Ana yang gue kenal dulu," ucap Ghatsa dingin. Ia semakin mengeratkan genggamannya pada Dima.
"Wah ... wah ... wah ... jadi aku yang salah, Kak? Kak Ghatsa nyalahin aku? Padahal, dulu waktu kecil, kakak yang selalu lindungin aku dari cowok-cowok jahat. Dan sekarang kakak yang jahatin aku. Kenapa, Kak? Semua pasti gara-gara si perusak ini, kan?" Ana mendorong dan menampar Dima dengan cukup keras.
Merasakan perih yang menjalar di pipi dan hatinya, Dima segera meninggalkan kafe. Sudah cukup ia dipermalukan. Bukan tidak mau melawan, hanya ia sungguh tak ingin merusak hubungan persaudaraannya dengan Ana. Apa respons mama dan papanya jika tahu tentang hal ini? Padahal, Dima sendiri sudah menanamkan prinsip kalau dia akan menuruti perkataan orang tuanya, termasuk menjaga hubungan dengan semua saudaranya.
"Lo keterlaluan, Na." Ucapan itu bukan dari Ghatsa, melainkan Dika. Cowok itu berlari mengejar Dima, sebab sekarang sedang hujan dan ini malam hari. Sangat tidak baik untuk Dima.
"Gue minta maaf, Na, tapi mulai sekarang, gue bukan Ghatsanya lo lagi." Ghatsa pun juga keluar dari kafe. Diikuti Rey dan Anan. Meninggalkan pesta yang menjadi sumber masalah. Dan tidak memedulikan Ana yang kini tergugu dalam tangis.
"Mau cari Dima kemana, Dik?" tanya Ghatsa saat mereka masih di parkiran kafe.
"Kita pencar aja. Lo sama Rey, gue sama Anan. Nanti kalo ketemu Dima, kabarin."
"Oke."
Mereka bergegas meninggalkan halaman kafe. Seperti yang dikatakan tadi, Ghatsa mencari Dima bersama Rey. Keduanya telah sampai di taman kota, karena seingat Ghatsa, biasanya Dima ke sini kalau lagi ada masalah.
"Rey."
*****
Halo!
Gimana part kali ini? Kali ini lumayan panjang loh. Yuk, ramein komentar!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya, ya~
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro