PAPA....
Happy reading :)
Maafkan typo .-.
*****
Sebuah kehilangan mengajarkan seseorang menghargai kebersamaan. Sayang, terkadang seseorang harus kehilangan dulu baru akan menghargai kebersamaan, sampai berujung penyesalan. Setidaknya begitu yang Dima rasakan.
Rumput-rumput di taman rumahnya yang ia duduki menjadi saksi kegalauan gadis itu. Tiga hari sejak pelukan menenangkan, yang sekarang lebih senang Dima artikan pelukan perpisahan, Ghatsa benar-benar menjauh. Baik, mungkin awalnya ia terlalu percaya diri kalau cowok itu akan memberikannya ketenangan karena habis ter-bully, tapi, ya, memang dasarnya dia sok tahu atau lebih tepatnya terlalu berharap, jadi inilah yang dia dapat, kecewa.
Terkadang dalam hatinya selalu bertanya, kenapa ia dipertemukan kembali dengan seseorang yang ingin ia lupakan?
Lalu, kenapa juga dari banyak perasaan yang Dima alami, perasaan cinta itu mendominasi?
Bagaimana jadinya jika ia memilih mengakhiri hidupnya saja?
Oke, yang terakhir tadi segera ditepis jauh-jauh dari pikirannya. Gila saja, masa harus sampai berkorban nyawa demi cinta? Eh, kalau diingat, sih, dia pernah hampir kehilangan nyawa, juga hartanya yang paling berharga karena cinta. Baiklah, poin ini harus benar-benar dilupakan sebab menimbulkan sesak.
"Anak Papa kenapa?"
Tangan Dima yang sejak tadi amat kurang kerjaan, mencabut-cabuti rumput sembarang, terhenti. Menoleh ke samping kirinya dan melihat papanya juga duduk di atas rumput, sama sepertinya. "Dima enggak kenapa-napa, Pa," jawabnya dengan senyum merekah. Ia sangat suka mendapat tatapan hangat dari papanya. Ini sisi pria itu yang paling Dima sukai, Papa tegas, tetapi juga bisa mengayomi.
Yudi membelai rambut putrinya yang hitam dan panjang sepunggung itu. Ia ingat betul, semasa masih kanak-kanak, anak bungsunya ini selalu memintanya untuk mengikatkan rambut. "Mau Papa iketin nggak rambutnya?" tawarnya diikuti senyum lebar yang turut memunculkan beberapa kerutan di wajahnya.
Dima langsung menyunggingkan cengiran, ternyata papa masih ingat kebiasaannya. "Mau, tapi Dima nggak bawa iket rambut."
"Ini Papa bawa karet." Yudi menunjukkan karet gelang merah yang ada di tangan kirinya. Ia sendiri lupa dari mana benda itu berasal.
"Gimana kabar sekolah kamu?" tanya papa di sela kegiatan mengikat rambut putrinya.
"Masih berdiri kokoh, belum ambruk, Pa." Dima tak henti menarik bibirnya agar selalu tersenyum. Setelah sekian lama, ia kembali merasakan kehangatan perhatian Papanya.
Yudi menyentil kuping kiri anaknya. Kalau sudah senang, gadis yang rambutnya telah selesai ia ikat itu akan bertindak jahil. Dan sisi Dima yang seperti itu hampir tidak pernah diketahui siapa pun, kecuali keluarganya. "Pinter banget jawabnya, diajarin siapa, ha?"
"Nggak perlu diajarin, Dima udah pinter, Pa."
"Halah! Paling diajari Ghatsa."
Setelah nama itu tersebut, Dima bungkam. Bibir yang sejak tadi melengkung, mulai berubah datar.
"Kenapa?"
"Papa tau dari mana tentang Ghatsa?" Dima menyuarakan salah satu pertanyaan dari banyak pertanyaan di kepalanya.
"Kamu nggak lupa Papamu ini bisa melakukan apa saja demi orang tersayangnya baik-baik aja, kan?"
Tentu saja Dima tidak lupa. Bahkan Papanya bisa dikatakan overprotective pada dia, Kakak, dan Mamanya, terlebih setelah musibah yang menimpa kakaknya.
"Untuk bayar beberapa orang buat ngawasin kamu aja, Papa masih mampu."
Mata Dima sontak melebar. Jika dicerna lagi, kata-kata papanya itu menunjukkan kalau papa menyewa orang untuk memata-matainya!
"Jangan salahin Papa kalau mata-matai kamu. Papa hanya nggak mau kamu di luar pengawasan, apalagi Papa keseringan kerja di luar kota. Ini juga antisipasi supaya 'kejadian dulu' nggak terulang lagi. Papa tau, itu juga kesalahan Papa karena kurang memperhatikan kalian, apalagi saat masa remaja, masa di mana kalian pasti diterpa masalah, cinta utamanya."
Nah, ini hal lain yang selalu Dima kagumi dari Papanya dan ingin ia contoh. Papa selalu belajar dari pengalaman. Memang, sih, banyak orang-orang seperti itu, tapi baginya, Papanya tetap yang terbaik.
"Loh, loh, kamu kok nangis?" Yudi kelabakan melihat cairan mening mengalir di pipi Dima. Ia sejenak berpikir, memang ada yang salah dari perkataannya?
"Papa ...," isak Dima, "Dima pengen bahagiain Papa."
Meski sulit, Dima mengungkapkan keinginannya itu. Sungguh, pria yang membesarkannya sedari dulu ini paham perasaannya. Memang keluarga itu paling tulus dalam mencinta, mereka paham yang kita alami tanpa harus bercerita.
Sementara itu, Yudi tersenyum. Tatapannya juga lembut dan memberikan kehangatan bagi siapa saja yang melihat, kecuali jika mode tegasnya sedang keluar, pasti lain lagi. "Kamu selalu bikin Papa bahagia, kok."
Dima menggeleng kuat. Dirinya sadar, kebanyakan dari yang dilakukannya adalah membuat papa kecewa, bukan bahagia. Lihat saja kondisinya sekarang, malah sibuk memikirkan cinta daripada mengutamakan belajar agar membanggakan Papanya.
"Dengar, Papa selalu bangga sama putri-putri Papa. Semua perempuan di rumah ini adalah wanita-wanita hebat yang hadir di hidup Papa. Papa tau, kamu sudah berusaha untuk membuat keluarga bahagia, bahkan rela mengalah untuk Ana. Tapi, Papa juga nggak suka kamu kebanyakan sedih seperti ini. Perjuangkan apa yang layak diperjuangkan."
Dima tersentak. "Papa tau ...?"
"Sudah Papa bilang, semua udah dalam pengawasan Papa."
"Papa tau kalau Dima hampir meninggal karena Ana?"
Mata Yudi yang semula menatap putrinya lembut, membelalak. "Maksud kamu apa?!"
Dima menggigit bibir bagian dalamnya dengan keras. Pasti Papanya tidak tahu jika peristiwa mengenaskan itu hampir menimpanya. Tidak kuat ditatap tajam oleh sang Papa, Dima buka mulut untuk bicara. Menceritakan semua kronologi, hari di mana ia dijebak oleh Ana.
Rahang Yudi mengeras mendengar penuturan Dima. Pada hari itu ia memang tidak menyuruh mata-matanya untuk mengikuti putrinya karena yakin jika Ana tidak akan berbuat macam-macam, akan tetapi dugaannya salah. "Kurang ajar!" desisnya.
"Udah, ya, Pa, jangan emosi. Dima udah lupain hal itu, kok," bujuk Dima agar Papanya tidak berbuat macam-macam kepada sepupunya.
"Kamu beneran nggak papa?"
"Iya. Sempat takut, sih, tapi udah nggak papa, kan, ada Papa yang jagain Dima." Satu cengiran lebar Dima tunjukkan agar Papanya percaya bahwa dirinya baik-baik saja.
"Udah pinter banget, ya, ngomongnya, diajarin Ghatsa?" goda Yudi.
"Kok Ghatsa lagi, sih, Pa!" Dima memekik keras kala nama itu tersebut lagi. Kenapa Papanya seolah memberi lampu hijau begini untuk hubungannya dengan Ghatsa? Tapi kayaknya lampu hijau pun enggak berguna, orang Ghatsanya saja menjauh!
"Iyalah, kan, cowok itu pinter banget ngomongnya. Minta Papa doain dia jadi mantu Papa, minta doain supaya kamu suka sama dia. Nah, jadi pasti kamu belajar dari dia, pinter ngomong begini."
Kalau kalian ingin tahu, sisi Yudi yang seperti ini hanya muncul kala bersama keluarganya. Saat dengan orang lain, hanya aura tegas dan sesekali tatapan hangat. Sebenarnya, waktu itu Yudi cuma berniat menguji keberanian Ghatsa yang ingin menjemput putrinya. Setelah mendapat informasi dari berbagai pihak, pria yang usianya sudah memasuki 35 tahun itu percaya bahwa Ghatsa orang baik.
"Dima itu emang pinter, Pa. Mana mungkin belajar dari Ghatsa, orang otaknya dia aja tinggal separo!"
"Masa, sih?"
"Iyalah!"
"Tapi kamu suka, kan, sama dia." Mata Papa berkedip sebelah, tatapannya jail sekali.
"Papa!" pekik Dima, lagi. Tangannya tak segan mencubiti Papanya. Melupakan fakta bahwa pria ini adalah Papanya, pokoknya dia kesal!
"Aduh, aduh, sakit. Tega banget sama Papanya. Jangan-jangan sama Ghatsa juga gini?"
"Papa ...! Berhenti ngomongin Ghatsa!"
Yudi tak tahan dengan anakanya yang terus mencubitinya, alhasil pun mengalah , mengangkat jari tengah dan jari telunjuknya membentuk huruf V. "Iya-iya, nggak lagi."
Selepas itu, Dima berhenti. Ada angin segar yang ia rasakan menerpa hatinya. Papanya pasti sudah tidak trauma dengan kejadian dulu, maka dia juga harus bisa begitu. Pelan-pelan membuka diri untuk seorang pria, yang mau berjuang untuknya.
"Kamu boleh jatuh cinta, berjuang juga nggak papa, asal jangan lupa kalau ada Mama dan Papa yang ingin bahagia, cukup dengan prestasi kamu dan jadi anak kebanggaan Papa." Setelah mengatakan hal itu, Papa bangkit seraya mengecup singkat punca kepala putrinya dan meningalkan gadis itu, biar mencari keputusan sendiri.
"Gue ... harus berjuang?"
*****
Halo! Apa kabar kalian?
Gimana part kali ini?
Hehe, emang niatnya mau update setelah tanggal 18, tapi berhubung salah satu pembaca ada yang ulang tahun dan besok daku libur, jadi bisa update.
Yuk, ramein komentarnya~
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri dan tunggu part selanjutnya,ya~
Terima kasih sudah membaca❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro