Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PAKSA

Happy reading :)
Maafkan typo.-.

~

Beberapa hal memang harus dibiarkan tak lagi ada. Bukan karena apa. Hanya saja, rela itu pilihan utama agar tak ada lagi kecewa.

*****

Semilir angin membelai wajah dua insan yang menikmati hamparan rumput taman. Sesekali, Dima membenarkan anak rambutnya yang diterbangkan angin, agar tidak menghalangi wajahnya. Sebenarnya, tadi setelah membuat video, Dima berniat pulang, namun Ghatsa menahannya. Cowok yang kini duduk di sebelahnya itu tengah menatap ke arahnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.

"Duh ... lo ngapain nahan gue, sih? Gue mau pulang sekarang. Dicariin nyokap!" tegas Dima.

Ia sudah akan bangkit dari bangku taman, jika saja Ghatsa tak kembali menahan tangannya.

"Sebentar aja, gue pengen habisin sore ini sama lo. Karena, gue nggak yakin hari berikutnya, gue bisa sedekat ini sama lo." Ghatsa mengutarakan isi hatinya. Tatapannya berubah menjadi lebih lembut dan teduh. Sorot kerinduan jelas terpancar dari mata itu.

Tubuh Dima tidak melakukan perlawanan. Ia kembali di tempatnya tadi. Entah apa maksud ucapan Ghatsa, tetapi ada sesak dan bahagia yang datang bersamaan di hati Dima.

"Ti," panggil Ghatsa, setelah beberapa menit keduanya dilanda keheningan.

"Apa?" Dima menyahut dengan nada datar, meskipun tidak seketus biasanya.

"Kalo gue udah nggak gangguin lo kayak biasanya, bukan berarti gue berhenti buat minta lo balik sama gue, ya. Cuma keadaan sepertinya memaksa gue buat diem, nggak godain lo kayak biasanya. Tapi, gue selalu berharap lo mau balik sama gue, kayak dulu." Ghatsa menarik kedua sudut bibirnya untuk menampilkan senyum tipis. Matanya menatap lekat wajah Dima. Rindu dan ragu untuk maju, mau tidak mau harus memilih mundur, karena banyak hal selain ini yang harus dijadikan nomor satu.

Dima tak mampu menjawab. Ia bahkan menundukkan kepalanya. Tidak kuat ditatap seperti itu oleh Ghatsa. Ditambah kata-kata cowok itu, membuatnya semakin ingin menenggelamkan kepalanya di atas bantal, lalu menangis.

"Gue anter pulang, yuk!" Ghatsa berdiri. Tangannya diulurkan pada Dima yang masih menundukkan kepalanya. Sebab tak mendapat respon, Ghatsa jongkok dan duduk tepat di hadapan Dima. Cowok itu bisa melihat jelas kalau gadis yang masih ia cintai itu menahan tangisnya. "Lo tahu gunanya mulut buat apa?" tanya Ghatsa.

Dima menjawab lirih, "Buat ngomong dan nambah asupan tubuh."

"Itu lo tau. Kalo ada apa-apa ngomong, jangan dipendem sendiri apalagi sampe nangis. Terus kalau sedih, jangan lupa makan dan minum buat nambah asupan. Nangis juga butuh tempat cerita dan tenaga," kata Ghatsa. Ia menghapus air mata yang baru lolos mengalir di pipi Dima. "Yuk, pulang! Gue an-,"

"Kak Ghatsa!"

Suara teriakan keras, menyerukan nama Ghatsa itu mengalihkan perhatian keduanya. Dima pun mengangkat kepalanya untuk melihat si pemilik suara. Ghatsa juga bangkit dari posisi jongkoknya.

Ana terlihat berlari riang ke arah keduanya. Sesampainya di hadapan mereka, Ana menambah lebar senyumnya. "Halo Kak Dima!" sapanya.

"Hai," balas Dima singkat, "lo belum pulang?" lanjutnya.

Ana menggelengkan kepalanya. "Belum. Tadinya nunggu jemputan, tapi barusan papa kirim pesan kalau nggak bisa jemput. Nah, niat Ana tadi nyari tebengan. Jadi, masuk lagi ke sekolah. Siapa tahu ketemu murid lain. Eh, pas lewat sini lihat Kak Dima. Kak Ghatsa juga, jadi Ana ke sini," terang Ana. Matanya tak lepas dari Ghatsa. Padahal, cowok itu tengah bingung harus bersikap bagaimana.

"Jadi lo mau minta tolong Ghatsa buat nganterin lo?" Dima memerjelas maksud kedatangan Ana ke sini.

"Iya. Tapi, kayaknya Kak Ghatsa mau nganterin Kak Dima, ya? Kan, kali-,"

Dima menggeleng cepat. "Nggak, kok. Tadi gue abis ngerjain tugas kelompok sama Ghatsa, makanya belum pulang. Ini udah selesai, gue mau pulang juga," timpal Dima. Terpaksa berbohong. Sepertinya hari ini benar-benar menjadi awal dari hari termenyesakkan dalam hidup Dima. Ke depannya, dia yakin, ada banyak drama yang lebih menyesakkan. Tidak apa, semenyesakkan apa pun, jika mampu menguatkan diri sendiri, maka semua akan terasa lebih melegakan.

Ghatsa melotot mendengar penjelasan Dima. Namun, melihat gadis itu yang sudah menatap datar ke arahnya, tidak ada yang bisa dia lakukan lagi, selain pasrah.

"Beneran, Kak? Terus kakak pulangnya sama siapa?" Ana memastikan pernyataan Dima. Gadis ini tidak sadar kalau ada dua keping hati yang baru merasakan kecewa karena sebuah keadaan yang memaksa.

"Gue pulang sama ... " Dima menggantungkan kalimatnya sembari mengedarkan pandangannya. Tak sengaja, ia menangkap Dika tengah berjalan ke arah parkiran. "Dika!" seru Dima, "Pulang bareng, ya!"

Dima menampilkan seulas senyum tipis. "Gue duluan, ya," pamitnya. Meninggalkan Ghatsa dan Ana di tempatnya.

"Kak Ghatsa, anterin aku pulang, ya," pinta Ana pada cowok di sebelahnya yang masih menatap kepergian Dima.

Ghatsa mengangguk dengan senyum kaku. Semuanya harus berubah.

***

"Masuk dulu, Dik," ajak Dima, begitu keduanya sampai di halaman rumahnya. Mendapati respons anggukan dari Dika, maka Dima berjalan terlebih dahulu menuju teras rumahnya.

"Sini aja," ucap Dika. Cowok itu sudah duduk di salah satu dari dua kursi yang ada di teras rumah Dima.

Dima mengangguk. Ia menduduki kursi lainnya yang terpisah dengan satu meja oleh kursi Dika. "Gue bikinim minum, ya?" tawarnya.

"Nggak usah. Gue mampir cuma buat mastiin lo nggak kenapa-napa. Nggak perlu minum," timpal Dika.

Dima tersenyum tipis. Selalu saja begini. Dika berhasil membuat hatinya yang kalang kabut menjadi tenang. "Gue nggak papa, kok," balasnya.

Dika menggeleng. "Kata nggak papa dari cewek itu, kebohongan terbesar yang selalu ada," tuturnya, "lo ada masalah apalagi sama Ghatsa?"

"Lo tahu Ana, kan? Dia sahabat masa kecil Ghatsa. Sebelum ke sini, dia sering banget ceritain cowok yang ngelindungin dia waktu kecil. Dan dari semua cerita itu, gue simpulin kalau Ana suka sama cowok yang dia ceritain. Dan itu, Ghatsa," jelas Dima. Sedikit sesak di dadanya. Dua tahun ia berusaha untuk melupakan Ghatsa, seharusnya tahun ini ia benar-benar lepas dari bayang masa lalunya. Namun, ternyata semua yang terjadi di luar ekspektasi. Bahkan, kisah ini terlalu rumit untuk mencari bagian akhirnya.

"Lo har-,"

Ucapan Dika terpotong, ketika sebuah telepon masuk pada ponsel Dima. Buru-buru gadis itu mengangkat panggilannya, setelah mengetahui siapa peneleponnya. "Halo, Sus," sapanya. Kemudian, seseorang di seberang panggilan itu menjawab dan menjelaskan beberapa hal. "Saya segera ke sana, Sus," balas Dima.

Dika segera bangkit dari duduknya, melihat Dima yang grasak-grusuk. "Mau ke mana, Ma?"

"Tempat kakak."

*****

Halo! Jumpa lagi😁
Gimana part kali ini? Ramein komentar, yuk!
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri, ya!
Tengkyu❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro