NOSTALGIA?
Happy reading :)
Maafkan typo.-.
~
Jangan ngomong rindu. Takut keinget masa lalu.
*****
"GHATSA!"
Pekikan Ila itu jelas menarik perhatian Dima. Tugas yang sejak tadi ia geluti pun telah ditinggalkannya. Gadis itu segera mendekati Ila dan melempar tatapan bertanya.
"Eh? Iya, Ghat. Ini Dima," kata Ila menyahuti sebuah suara dari seberang sana. Ia memberikan ponsel yang dipegang kepada pemiliknya.
Dima masih bertanya tanpa suara ke Ila, namun gadis itu mengendikkan bahunya acuh.
"Ha-- halo," ucap Dima dengan sedikit gugup. Pasalnya, ini kali pertama ia telepon dengan Ghatsa setelah beberapa tahun lalu.
"Hai, Eti!" sapa seseorang dari sambungan telepon yang tak lain adalah Ghatsa.
"Ngapain lo nelepon gue?" ketus Dima. Mode juteknya sudah kembali.
"Lo nggak mau ngehargain usaha gue nyari kontak lo, Ti?"
"Gue nggak nyuruh."
"Iya, sih. Tapi ..."
"Tapi apa?"
"Tapi gue tau lo pengen hubungin gue. Makanya gue cari nomer lo."
" ... " Dima diam saja. Membiarkan mode pedenya Ghatsa diterbangkan angin.
"Ti?"
"Hm."
"Gue rindu."
Sedetik setelah pernyataan itu disampaikan, sambungan telepon terputus. Dima masih membeku di tempatnya.
Baper boleh nggak, sih? Kira-kira begitu jeritnya dalam hati.
Kenapa mantannya satu itu nggak berhenti bikin tingkah? Ada-ada saja tingkahnya. Masalahnya semua itu malah bikin hatinya perlahan mulai mengharap lagi. Oh, tidak. Ia tahu sakit dan akhir dari berharap yang tidak ingin diharapkan. Pastinya nyesek!
"Jadi, lo beneran belum move on dari Ghatsa?" Ila akhirnya buka suara setelah melihat ekspresi tegang yang muncul di raut wajah Dima seusai telepon dengan Ghatsa.
"Gue nggak tau, La," lirihnya. Ia membawa tubuhnya untuk berbaring di atas kasur. Posisinya tepat di samping Ila.
Ila memiringkan tubuhnya. Menyangga kepalanya dengan tangan kirinya. "Menurut gue, Ghatsa itu meskipun otaknya agak-agak, tapi dia tetep baik, Ma," tutur Ila. Tidak tahu dari mana ia mendapat kesimpulan itu. Cuma hatinya aja bilang begitu.
Hening. Belum ada jawaban dari Dima. Ila pun kembali membaringkan tubuhnya, menatap langit kamar Dima. "Kadang lo nggak bisa menghakimi satu cowok itu sama dengan cowok lain, hanya karena masa lalu yang lo anggap menyakitkan. Bahkan salah satu di antara mereka berniat mengobati luka masa lalu lo. Jangan nutup diri, Ma," terang Ila.
Dima mencerna setiap kata yang keluar dari bibir sahabatnya. Benar memang. Dima membenci Ghatsa bukan hanya karena masa lalu mereka, tetapi sebab musibah yang menimpa kakaknya. Bahkan Dima baru sadar jika kalimat tadi merupakan jajaran kata yang paling berpaedah dari bibir cerewet Ila. Biasanya gadis itu selalu mengatakan hal-hal mengesalkan. "Thanks, La. Tapi gue belum siap kalau terluka lagi. Gue juga harus tepatin janji ke papa gue," timpal Dima.
Ila kembali memiringkan tubuhnya dan membuat posisinya seperti tadi. "No problem, Ma. Itu wajar. Setiap orang perlu waktu masing-masing buat sembuhin luka dan trauma mereka. Apalagi lo punya janji tentang semua itu."
Dima pun mengikuti gaya Ila. Sehingga mereka kini berhadapan. "Lo malem ini mirip mario teguh, La," komentar Dima diikuti tawanya.
"Jangan mario teguh, dong. Mirip Mery Riana," sombong Ila sambil menaik turunkan alisnya.
"Mery Riana dari pluto?" Dima semakin tertawa keras. Ah ... Ila membuat kondisi hatinya membaik. Walaupun terkadang cerewet dan alay, Ila punya kalimat-kalimat menenangkan seperti tadi.
"Janji sama gue, lo bakal cerita ke gue apa pun yang terjadi nantinya."
Dima menghentikan tawanya, lalu menjawab perkataan Ila, "Gue janji."
Embusan angin malam ini bukan membuat dingin suasana kamar Dima, justru semakin hangat dengan obrolannya dengan Ila. Memang setelah hampir tiga tahu berteman dengan Ila, baru kali ini ia curhat seperti ini kepada Ila. Bukan sejak dulu Dima tidak mau curhat ke sahabatnya, hanya terkadang beberapa masalah ada baiknya disimpan sendiri agar tidak melukai siapa pun. Begitu pikirnya, ya, sebelum hari ini. Sebab hari ini pikirannya berubah. Ila, sahabatnya, semua cerita akan ia bagi pada gadis cerewet itu.
***
"La, bangun buruan ih!" perintah Dima sambil menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya yang masih tertidur. Baru tahu kalau Ila ini kebo sekali pas tidur. Masalahnya ini sudah jam enam, bisa-bisa telat mereka kalau Ila nggak bangun juga.
"Lima menit, Ma," sahut Ila dengan nada khas orang bangun tidur.
Dima mendengkus. Dari tadi lima menit mulu, sampai sekarang nggak bangun-bangun. "La, Rey jemput, tuh!" seru Dima. Selang beberapa waktu, senyum jail terbit di wajah Dima.
"Aduh, beneran, Ma? Astaga gue belum ngapa-ngapain. Bilangin ke Rey suruh tunggu." Ila kalang kabut. Cewek itu segera masuk ke kamar mandi, tanpa tahu kalau sedang dikerjai. Ah, biarlah. Yang penting tidak telat kalau untuk Dima.
Setelah melakukam sarapan yang ngebut, Dima dan Ila sudah bersiap untuk berangkat. Keduanya sedang memakai sepatu di ruang tamu. Tak lama, sebuah suara mengalihkan fokus dua gadis itu, "Ma." Mama Dima yang baru dari luar rumah untuk buang sampah, berjalan ke arah mereka dengan raut serius.
"Iya. Ada apa, Ma?" tanya Dima. Ia sudah menyelesaikan kegiatan memakai sepatunya.
"Kamu nggak lupa janji kamu sama papa, kan?"
"Nggak, kok. Kenapa?"
"Jangan terlalu dekat sama cowok. Boleh berangkat bareng, tapi jangan kelewatan dekatnya," tutur perempuan setengah baya itu sembari mengelus rambut putrinya dengan sayang.
Dima tampak berfikir sebentar. Sedikit konek, ia pun menjelaskan pada mamanya, "Oh, mama pasti lihat cowok di depan, ya? Itu Rey, pacar Ila. Mau jemput Ila, bukan Dima."
Ya, ternyata bercandaan yang Dima pakai untuk membangunkan Ila pagi tadi, benar-benar terwujud. Ila memang janjian untuk berangkat bersama denan Rey. Jadi, itu alasan Ila kalang kabut tadi.
"Bukan. Itu ... Ghatsa," timpal Nita, Mama Dima, bermaksud memberi penjelasan pada putrinya. Sebab, waktu buang sampah tadi, ia benar-benar melihat cowok yang dahulu sering jalan dengan putrinya semasa SMP, Ghatsa.
Sontak mata Dima melotot. Ia melemparkan tatapan tak paham pada Ila. Yang ditatap pun hanya mengendikkan bahu tak mengerti.
"Mama salah lihat kalik. Dima nggak dekat sama Ghatsa," bantah Dima. Otaknya sangat tidak bisa menerima penjelasan mamanya tadi.
"Iya, Tan. Mungkin tante salah ingat. Yang tante maksud itu pacar Ila, bukan Ghatsa." Ila pun turut buka suara.
"Maksud kamu tante rabun?" kesal Nita.
"Eh, hehe ... bukan gitu maksudnya, Tan. Siapa tahu mata tante agak gitu karena faktor umur."
Dima mengangguk menyetujui ucapan Ila, " Bener, Ma."
"Haduh ... kalian ngeyel banget. Udah, sana lihat sendiri. Pokoknya inget ucapan mama tadi, ya, Ma. Sudah sana," suruh Nita. Pasalnya, dua gadis di hadapannya itu susah sekali mengerti. Padahal, matanya ini masih sangat normal. Dasar dua bocah itu saja ngeyel!
Dima dan Ila bergegas keluar rumah. Benar saja, di halaman rumah terdapat dua buah motor sport terparkir dengan dua orang cowok duduk di masing-masing motor.
"Lo ngapain di sini?"
Tidak usah tanya siapa yang melontarkan pertanyaan sarkas seperti itu. Tentunya Dima dan ditujukan untuk Ghatsa.
Ghatsa menampilkan senyuman lebarnya. "Selamat pagi, Eti!" sapanya dengan nada yang kelewat ceria.
"Siapa yang nyuruh lo jemput gue?" Sepertinya Dima benar-benar tidak ingin bercanda kalau dengan Ghasta. Segala urusan dengan Ghatsa harus diselesaikan secepatnya, agar tidak kelewat baper apalagi flashback.
Ila dan Rey hanya cekikikan di tempatnya memerhatikan tingkah Ghatsa dan Dima yang benar-benar mirip kartun tom and jerry. "Dia mau jemput lo, Ma. Tadi maksa banget ke gue katanya pengen ikut ke sini buat jemput lo," timpal Rey membantu memberi penjelasan pada Dima, soalnya Ghatsa malah cengar-cengir tidak jelas tanpa menjelaskan.
"Ngapain jemput gue?"
"Mau ngajak nostalgia."
*****
Halo!😊
Gimana part kali ini?
Ditunggu komennya, ya~
Jangan lupa pencet bintang di pojok kiri❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro